Menu
in ,

BKF: PPN Sembako Premium Berlandaskan Keadilan

Pajak.com, Jakarta – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kembali memastikan, usulan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sembako premium merupakan upaya pemerintah mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan.

Analis Kebijakan Ahli Madya Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Kemenkeu Rustam Effendi menuturkan, selama ini pemerintah telah memberikan beragam insentif perpajakan untuk sembilan bahan pokok alias sembako. Semua jenis sembako di pasar tradisional hingga modern tidak dikenakan PPN.

“Selama ini cenderung tidak ingin membebani rakyat sampai buah-buahan impor pun yang mahal-mahal, ada yang sekilo Rp 6 juta tetap mendapat insentif PPN. Nah, ini menimbulkan ketidakadilan,” jelas Rustam dalam diskusi virtual bertajuk “Bicara Bukti, Sudah Adil dan Optimalkah PPN?”, pada Jumat (25/6).

BKF mencatat, peran rumah tangga kelas menengah dalam konsumsi mengalami peningkatan secara konsisten terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada 2002, kontribusi kelas menengah terhadap konsumsi tercatat hanya sebesar 21 persen, lalu meningkat menjadi 47 persen. Berdasarkan catatan Bank Dunia, konsumsi dari rumah tangga kelas menengah tercatat tumbuh 12 persen setiap tahunnya—terhitung sejak 2002.

Kendati konsumsi rumah tangga terus mengalami pertumbuhan, aturan PPN belum mampu menangkap potensi pajak secara optimal. Oleh karena itu, Rustam menilai, sudah sepatutnya sembako premium dikenakan PPN dan diusulkanlah dalam Rancangan Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU) KUP. Upaya ini sekaligus sebagai alternatif bagi otoritas untuk memperluas basis pajak dan mereformasi sistem perpajakan, sehingga mampu menjadi sumber penerimaan pajak baru di tengah defisit APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) yang masih menghantui. Seperti diketahui, APBN 2020 terpaksa mematok defisit di atas 3 persen.

“Jangan sampai nanti misalnya kalau ada krisis berikutnya, kita pakai opsi melebarkan defisit. Nah (krisis) ini juga pengalaman yang luar biasa menurut saya,” tambahnya.

Kendati demikian, Rustam menegaskan, usulan itu masih dalam tahap diskusi dan kajian bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam RUU KUP secara detail pemerintah telah memberi opsi, yaitu otoritas akan menarik tarif yang lebih rendah untuk barang strategis dan menarik pajak lebih tinggi untuk barang mewah. Dalam draf RUU KUP pun pemerintah mengusulkan untuk menarik pajak hanya 5 persen kepada barang/jasa tertentu atau bahkan memberikan insentif.

“(Dalam RUU) bukan cuma pengaturan tarif umum, paling rendah, paling tinggi, ada juga yang namanya insentif untuk barang strategis. Coba bayangkan barang apa yang lebih strategis daripada kebutuhan pokok?,” kata Rustam.

Sejatinya, penjelasan senada juga sudah diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Sidang Paripurna DPR. Ia menegaskan, pemerintah tidak akan memungut PPN untuk sembako yang biasa masyarakat konsumsi.

Misalnya, untuk komoditas beras, pemerintah masih akan membebaskan PPN untuk merek lokal, seperti Rojolele, Pandan Wangi, atau lainnya. Sementara, yang akan dipungut PPN adalah beras premium seperti basmati dan shirataki. Pasalnya, harga beras ini bisa 5-10 kali lipat dari harga beras lokal.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version