in ,

Aturan dan Cara Hitung Pajak Penghasilan Jasa Katering

Katering
FOTO: IST

Aturan dan Cara Hitung Pajak Penghasilan Jasa Katering

Pajak.comJakarta – Tren industri kuliner semakin meningkat, ditengarai oleh bergesernya pola konsumsi masyarakat selama pandemi COVID-19 merebak di Indonesia. Banyak pemain-pemain muda yang berkecimpung di bisnis ini, mulai dari ghost kitchen, aneka jajanan dengan layanan pesan-antar, hingga katering.

Bagi Anda yang memilih katering sebagai ranah usaha tata boga, ada baiknya juga mengetahui aspek perpajakannya. Salah satu aspek perpajakan dalam bisnis katering yakni Pajak Penghasilan (PPh). Lalu bagaimana aturan dan cara hitung PPh jasa katering?

Aturan

PPh jasa katering diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 141 Tahun 2015 (PMK 141/2015), yang menyebutkan bahwa jasa katering atau tata boga termasuk dari jenis jasa lain yang masuk dalam objek PPh Pasal 23.

Adapun aturan yang dimaksud adalah Pasal 23 Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 (UU No. 36/2008). Yang perlu diingat, ada jenis usaha yang tidak termasuk dalam pengertian jasa boga atau katering yaitu penjualan makanan dan/atau minuman yang dilakukan melalui tempat penjualan berupa toko, kios, dan sejenisnya untuk menjual makanan dan/atau minuman, baik penjualan secara langsung maupun penjualan secara tidak langsung/pesanan.

Baca Juga  Pelaporan SPT Tahunan Kalselteng Tumbuh Positif 15,68 Persen

Sementara yang termasuk dalam pengertian jasa boga atau katering punya beberapa kriteria. Pertama, sebagai jasa penyediaan makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan, penyimpanan, dan penyajian, untuk disajikan di lokasi yang diinginkan oleh pemesan. Kedua, penyajian makanan dan/atau minuman di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dapat dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.

Cara hitung

Menurut UU No. 36/2008, tarif yang dikenakan dalam usaha tata boga atau jasa katering adalah 2 persen dari jumlah bruto bila Wajib Pajak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan lebih tinggi 100 persen atau sebesar 4 persen bila Wajib Pajak tidak memiliki NPWP.

Namun, ada beberapa hal yang tidak termasuk dalam jumlah bruto. Berikut ini adalah jumlah bruto yang tidak termasuk dalam penghitungan PPh 23:

1. Pembayaran gaji, upah, honorarium, dan tunjangan sebagai imbalan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak (WP) penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa.

Baca Juga  Kanwil DJP Jaksus Edukasi Atlet “e-sport” untuk Sadar Pajak

2. Pembayaran kepada penyedia jasa atas pengadaan atau pembelian barang atau material terkait jasa yang diberikan.

3. Pembayaran kepada pihak ketiga yang dibayarkan melalui penyedia jasa.

4. Pembayaran kepada penyedia jasa yang merupakan penggantian (reimbursement) atau biaya yang dibayarkan penyedia jasa.

Selain itu, tidak semua pengusaha jasa katering atau tata boga secara otomatis dikenakan PPh Pasal 23, walaupun penghasilan dari jasa katering atau tata boga termasuk dalam jenis jasa lain yang dikenakan PPh Pasal 23. Pasal 23 UU No. 36/2008 menyebutkan atas penghasilan yang berasal dari imbalan sehubungan dengan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.

Artinya, apabila subjek pajaknya merupakan Wajib Pajak orang pribadi maka dikenakan PPh Pasal 21 (dengan tarif PPh Pasal 17 Undang-Undang PPh dikalikan 50 persen dikalikan penghasilan brutonya). Dengan demikian, pengenaannya untuk penghasilan Rp 0–50 juta tarifnya 5 persen dikalikan 50 persen yakni 2,5 persen.

Namun, apabila subjek pajaknya badan atau bentuk usaha tetap (BUT), maka jasa katering ini dikenakan tarif perhitungan PPh Pasal 23. Pengusaha yang bergerak dalam bidang usaha jasa katering atau jasa boga ini akan memperhitungkan kewajiban perpajakannya di akhir tahun.

Baca Juga  Manfaat dan Syarat Mendapatkan Izin Pusat Logistik Berikat

Wajib Pajak orang pribadi harus menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dengan formulir 1770 paling lama tanggal 31 Maret, sedangkan Wajib Pajak badan harus menyampaikan SPT Tahunan dengan formulir 1771 paling lama tanggal 30 April.

Atas kegiatan pengadaan konsumsi baik makanan dan minuman oleh bendahara pemerintah atau instansi melalui penyedia jasa boga atau katering terutang PPh Pasal 23. Dengan demikian, bendahara pemerintah atau instansi pemerintah bersangkutan memiliki kewajiban untuk memotong dan menyetorkan PPh Pasal 23 atas kegiatan pengadaan konsumsi.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *