Aspek Pajak JHT dan Besaran Tarifnya
Pajak.com, Jakarta – Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan salah satu program dari pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan berupa manfaat uang yang diberikan kepada pesertanya yang telah memasuki usia pensiun. Dana yang diterima oleh peserta JHT ini termasuk dalam objek pajak yang dikenakan Pajak. Apa saja aspek pajak JHT dan berapa besaran tarifnya?
Untuk diketahui, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Program Hari Tua, JHT adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.
Program ini menjadi pengganti terputusnya penghasilan tenaga kerja karena meninggal, cacat, atau hari tua. JHT menggunakan sistem tabungan pensiun yang bersifat wajib. Jadi, peserta perlu melakukan iuran setiap bulan.
Mengutip laman resmi BPJS Ketenagakerjaan, peserta program JHT terdiri dari dua. Pertama, peserta penerima upah, yaitu pekerja yang bekerja pada perusahaan maupun perseorangan. Termasuk di dalamnya adalah orang asing yang telah bekerja di Indonesia lebih dari enam bulan.
Kedua, peserta JHT bukan penerima upah. Kategori ini, mencakup pemberi kerja, pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri, dan pekerja bukan penerima upah selain pekerja mandiri.
Berhubung JHT berupa pemberian dana yang telah dikumpulkan, maka dana ini merupakan objek pajak, yang atas penerimaannya dikenakan Pajak Penghasilan (PPh).
Aspek perpajakan untuk JHT ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 16/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus.
Menurut Pasal 2 Ayat (1) PMK 16/PMK.03/2010, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, dikenakan PPh Pasal 21 yang bersifat final.
Adapun besaran tarif PPh Pasal 21 yang dikenakan tercantum dalam Pasal 4 Ayat (1) PMK 16/PMK.03/2010. Dalam pasal tersebut dijelaskan, tarif PPh Pasal 21 untuk JHT dibagi menjadi dua, sesuai penghasilan bruto (manfaat JHT) yang diterima.
Pertama, atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50 juta, dikenakan tarif PPh Pasal 21 sebesar 0 persen. Kedua, untuk penghasilan bruto di atas Rp 50 juta, tarif PPh Pasal 21 ditetapkan sebesar 5 persen.
Sebagai informasi, besaran tarif PPh Pasal 21 yang bersifat final ini hanya dikenakan apabila manfaat JHT dibayarkan sekaligus. Namun demikian, dalam hal pencairan manfaat JHT, peserta bisa memilih agar manfaat yang terkumpul dibayarkan bertahap. Jika manfaat JHT dibayarkan secara bertahap, maka perhitungan PPh Pasal 21 final hanya berlaku hingga tahun kedua.
Sedangkan, untuk manfaat JHT yang dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, tarif PPh Pasal 21 yang dikenakan mengacu pada Pasal 17 UU PPh, yang telah diubah dengan UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Mengacu Pasal 17 UU HPP, tarif PPh Pasal 21 yang ditentukan dibagi dalam lima kelompok. Pertama, tarif 5 persen untuk penghasilan kena pajak hingga Rp 60 juta. Kedua, tarif 15 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 60 juta sampai dengan Rp 250 juta.
Ketiga, tarif 25 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta. Keempat, tarif 30 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 500 juta sampai dengan Rp 5 miliar. Kelima, tarif 35 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar.
Comments