Pajak Parkir dan Retribusi Jalan: Solusi Kemacetan atau Beban Tambahan?
Kemacetan lalu lintas menjadi salah satu masalah yang hampir setiap hari dihadapi oleh penduduk di kota-kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta, Surabaya, Medan. Di DKI Jakarta sebagai salah satu kota termacet di Inonesia, setiap pagi hari saat akan mulai beraktivitas dan sore hari saat akan kembali ke rumah, jalanan penuh sesak dengan kendaraan pribadi, angkutan umum, sepeda motor, hingga kendaraan berat yang mengakibatkan perjalanan menjadi lambat dan tidak nyaman.
Berdasarkan data Global Traffic Scorecard 2024 yang dirilis oleh INRIX, Jakarta mendapatkan predikat kota paling macet dunia pada posisi ke 7. Dari hasil studi tersebut bisa digambarkan bahwa selama setahun setiap pengemudi di Jakarta menghabiskan waktu selama 89 jam akibat terjebak macet di perjalanan. Angka tersebut meningkat sebesar 37% dibandingkan tahun 2023 yang diestimasikan setiap pengemudi kehilangan waktu dalam perjalanan sebanyak 65 jam.
Berbagai kebijakan telah diterapkan oleh pemerintah DKI Jakarta seperti kebijakan ganjil – genap atau dengan menerapkan pajak parkir dan retribusi jalan. Diharapkan dengan adanya kebijakan tersebut lalu lintas di DKI Jakarta bisa lancar dan teratur sehingga para pengendara pun tidak kelamaan dan merasa jenuh di jalanan. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah kebijakan ini benar-benar bisa mengurangi kemacetan atau justru hanya menambah beban bagi masyarakat?
Sebelum membahas dampak dari dua hal tersebut, perlu untuk memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pajak parkir dan retribusi jalan.
1. Pajak Parkir
Pajak parkir adalah pungutan yang dikenakan kepada pengelola tempat parkir yang dikelola oleh pihak swasta, seperti di pusat perbelanjaan, gedung perkantoran, dan fasilitas umum lainnya. Pajak ini kemudian ditambahkan dalam tarif parkir yang harus dibayar oleh pengguna kendaraan. Dasar hukum pajak parkir diatur dalam:
● Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang menyatakan bahwa pajak parkir merupakan pajak daerah yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah.
● Peraturan Daerah (Perda) di masing-masing daerah, yang menentukan besaran tarif pajak parkir yang berlaku.
2. Retribusi Parkir dan Retribusi Jalan
Retribusi parkir merupakan biaya parkir yang dikenakan oleh pemerintah daerah untuk parkir di tepi jalan umum atau fasilitas parkir milik pemerintah. Retribusi jalan juga dapat diartikan sebagai pungutan yang dikenakan kepada kendaraan yang melewati jalan tertentu, terutama jalan-jalan dengan tingkat kepadatan tinggi. Dasar hukum retribusi ini mengacu pada:
● UU No. 28 Tahun 2009 yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk memungut retribusi parkir.
● Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan, yang mengatur pemanfaatan dan pengelolaan jalan.
● Perda masing-masing daerah, yang mengatur tarif retribusi dan ketentuan lainnya sesuai kebutuhan daerah tersebut.
Pemerintah menerapkan pajak parkir dan retribusi jalan dengan beberapa tujuan, antara lain:
1. Mengurangi Kemacetan
Dengan adanya biaya tambahan untuk parkir dan penggunaan jalan tertentu, diharapkan masyarakat akan berpikir dua kali sebelum menggunakan kendaraan pribadi. Harapannya, mereka akan lebih memilih transportasi umum sehingga jumlah kendaraan di jalan berkurang.
2. Meningkatkan Pendapatan Daerah
Pajak dan retribusi ini menjadi sumber penerimaan bagi pemerintah daerah. Dana yang telah terkumpul dapat digunakan untuk meningkatkan fasilitas layanan publik seperti perbaikan jalan, pelebaran jalan, membangun transportasi umum, atau meningkatkan fasilitas lainnya.
3. Mendorong Penggunaan Transportasi Umum
Dengan adanya pengenaan pajak parkir serta tambahan retribusi parkir dan jalan, mungkin masyarakat mungkin akan berpikir dua kali untuk membawa kendaraan pribadi saat pergi ke mall, kafe, tempat wisata, dan lainnya dikarenakan adanya tambahan biaya yang perlu dibayar jika membawa kendaraan pribadi. Misalkan saja, jika pergi ke mall tarif parkir yang dikenakan biasanya progresif. Tarif parkir 1 jam pertama akan lebih tinggi sedangkan tarif parkir jam – jam selanjutnya akan lebih rendah. misal tarif parkir mobil 1 jam pertama Rp5.000,00, lalu Rp3.000,00 untuk jam – jam berikutnya. Bagi orang yang memperhitungkan cost dan benefit pasti akan lebih memilih untuk naik kendaraan umum. Karena tidak ada biaya parkir dan biaya BBM yang perlu dikeluarkan. Di DKI Jakarta tarif parkir diatur dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2017 tentang Tarif Layanan Parkir, Denda Pelanggaran Transaksi dan Biaya Penderekan /Pemindahan Kendaraan Bermotor. Untuk tarif parkir ditentukan berdasarkan golongan jalan, jenis kendaraan, dan jangka waktu parkir.
Penerapan kebijakan serupa di negara lain dapat digunakan sebagai benchmarking untuk menentukan kebijakan seperti apa yang tepat diterapkan di Indonesia. Kebijakan yang diterapkan di London, Inggris, adalah sistem Congestion Charge sejak 2003, yaitu kebijakan diterapkan saat kendaraan yang masuk ke pusat kota dikenakan biaya tambahan.
Hasilnya, jumlah kendaraan berkurang hingga 30% dalam beberapa tahun pertama. Lalu di Singapura, diterapkan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP), yaitu berupa biaya yang dikenakan untuk kendaraan yang melewati jalan tertentu pada jam sibuk. Kebijakan ini membantu dapat mengurangi kepadatan lalu lintas di negara tersebut.
Sedangkan di Indonesia sendiri, dalam beberapa kota seperti Jakarta sudah mulai menerapkan tarif parkir yang lebih mahal pada area tertentu sebagai upaya untuk mengurangi kemacetan. Namun, peran pemerintah masih perlu diperluas lagi untuk mengetahui tingkat efektivitas kebijakan tersebut. Banyak tantangan penerapan kebijakan pajak parkir, salah satunya kekhawatiran adanya pajak akan menambah beban masyarakat, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah.
Bagi masyarakat golongan menengah ke atas mungkin tidak akan peduli dengan adanya biaya tambahan tersebut, tetapi bagi masyarakat menengah ke bawah akan menambah beban ekonomi.
Selain itu, tantangan penerapan kebijakan tersebut dikarenakan transportasi umum yang belum memadai. Di DKI Jakarta sendiri, meskipun sudah banyak masyarakat yang menggunakan transportasi umum, dikarenakan jumlah armada transportasi umum yang tidak mencukupi untuk jumlah penduduk yang begitu besar. Akibatnya, masih banyak penduduk yang menggunakan kendaraan pribadi karena transportasi umum yang tidak mencukupi jumlah penduduk.
Ketidaksiapan pemerintah dalam mencukupi jumlah transportasi umum tersebut menyebabkan masyarakat tetap menggunakan kendaraan pribadi meskipun biaya parkir dan restibusi meningkat. Hal itu menyebabkan tingkat kemacetan tidak menurun padahal sudah dirancang kebijakan yang tujuannya untuk menurunkan kemacetan.
Sehingga supaya kebijakan pajak parkir tersebut berjalan efektif, maka perlu bebrapa hal yang bisa dipertimbangkan
1. Peningkatan kualitas transportasi umum
Sebelum adanya pengenaan pajak tersebut, pemerintah harus mempersiapkan terlebih dahulu kecukupan dan tingkat kenyamanan fasilitas transportasi umum.
2. Perbaikan infrastruktur
Peningkatan infrastruktur seperti pembangunan jalan supaya mobilitas masyrakat lebih lancar.
3. Penerapan teknologi untuk lalu lintas
Penerapan sistem parkir otomatis atau manajemen lalu lintas berbasis sensor untuk meningkatkan efisiensi.
Pajak parkir dan retribusi jalan bisa menjadi solusi untuk mengurangi kemacetan tetapi harus diterapkan dengan persiapan yang matang. Supaya dalam penerapannya tidak ada hambatan. Pemerintah harus memastikan bahwa tujuan adanya kebijakan tersebut bukan hanya semata-mata untuk meningkatkan pendapatan daerah (PAD), tetapi juga harus mempertimbangkan fungsi reguleren dan redistribusi juga.
Dalam hal ini, tujuan adanya pajak parkir selain untuk menambah PAD tetapi harus diutamakan untuk tujuan mengurangi kemacetan dan juga untuk mengurang tingkat polusi udara yang berbahaya bagi Kesehatan masyarakat. Perlu dipertimbangkan juga adanya earmarking dari pajak parkir untuk dana kesehatan, terutama bagi penyakit yang disebabkan oleh adanya tingkat polusi udara. Oleh karena itu fungsi pajak semua terpenuhi mulai dari budgetair, reguleren, dan redistribusi. Sehingga bisa menciptakan kota yang lebih tertib dan ramah lingkungan.
Pandangan dan opini dalam artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan atau kebijakan PAJAK.COM.
Comments