Pajak Minimum Global Jangan Sampai Hambat Investasi!
Pajak Minimum Global Jangan Sampai Hambat Investasi! Semakin mendekati mulai berlakunya ketentuan penerapan pajak minimum global sesuai Pilar 2 Inclusive Framework, Kementerian Keuangan berusaha menyiapkan alternatif bentuk insentif pajak sebagai pengganti insentif – insentif yang nantinya tak akan lagi efektif.
Sebagaimana disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal, saat ini Kementerian Keuangan sedang melakukan riset dan evaluasi kebijakan insentif alternatif supaya para investor tidak kabur ketika nanti diterapkan Pilar 2 IF. Setiap negara yurisdiksi memang diharuskan membuat aturan domestiknya sendiri saat mengadopsi Pilar 2 IF supaya memenuhi asas kepastian pajak.
Untuk diketahui, Pilar 2 berisi tentang kebijakan besaran pajak minimum global bagi perusahaan multinasional/Multinational Enterprises (MNE) dengan tarif 15%. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh banyaknya MNE yang berlomba – lomba mengurangi tax base serta pajak yang dibayar dengan cara mengalihkan profitnya ke negara – negara pengampu pajak (tax haven) atau negara dengan tarif pajak rendah.
Akibatnya, para MNE ini dapat menghimpun laba yang besar dengan membayar pajak minimal. Imbasnya bagi iklim perpajakan global, sebagian potensi penerimaan pajak global yang seharusnya dapat dipungut menjadi hangus.
Penerapan pilar ini juga menutup upaya para MNE untuk melakukan profit shifting, serta adanya perang tarif pajak yang biasanya dimenangkan oleh negara tax haven. Di satu sisi, bagi Indonesia dan negara dengan tarif pajak relatif tinggi lainnya, kebijakan ini mendatangkan keuntungan.
Pengalihan laba yang selama ini dilakukan oleh para MNE atas penghasilan yang diperoleh dari Indonesia dapat dikurangi, dan basis pajak akan semakin luas. Dilansir Tax Justice Network, Indonesia menghadapi kerugian sekitar Rp68 triliun per tahunnya akibat penghindaran pajak. Penerapan pilar ini diharapkan dapat menjinakkan para MNE nakal yang dengan sengaja mengalihkan labanya dari Indonesia.
Namun perlu diperhatikan, penerapan Pilar 2 ini menjadikan insentif pajak yang sebelumnya dapat diberikan bagi para perusahaan tak lagi efektif. Apabila tetap bersikeras menerapkan insentif ini, Indonesia justru akan kehilangan penerimaan pajak dengan sia – sia.
Bila dengan adanya insentif dari Indonesia membuat besaran pajak efektif yang ditanggung oleh sebuah MNE menjadi kurang dari 15%, hak pemajakan atas kekurangan tarif tersebut menjadi beralih kepada negara residen atau negara tempat induk perusahaan tersebut. Negara residen tersebut dapat mengenakan pajak dengan nama top up tax, dan si MNE akan merasa bahwa insentif yang diberikan tidak terasa.
Berdasarkan keterangan tersebut, setidaknya terdapat 3 insentif yang kurang efektif dilakukan nantinya apabila Pilar 2 telah berlaku. Insentif tersebut adalah tax holiday, tax allowance, dan super tax deduction atas kegiatan riset dan pengembangan (R&D), yang ketiganya merupakan insentif yang bertujuan mengakselerasi investasi.
Tax holiday merupakan fasilitas pengurangan PPh sebesar 50% hingga 100% dari PPh badan yang terutang. Diberikannya fasilitas ini dapat mengurangi tarif pajak efektif yang ditanggung oleh MNE, sehingga nantinya akan dikenai top up tax di negara residen.
Tax allowance merupakan fasilitas pengurangan penghasilan neto sebesar 30% untuk suatu perusahaan apabila perusahaan tersebut melakukan investasi berupa aktiva tetap berwujud, dan diberikan bertahap selama 6 tahun. Jadi, setiap tahunnya pengurangan penghasilan neto yang diperoleh adalah 5% dari nilai investasi tersebut.
Insentif ini juga dapat mengalihkan hak pemajakan Indonesia dan menguntungkan negara residen. Super tax deduction untuk kegiatan R&D pun sama – sama tak efektif. Dengan adanya insentif pengurangan penghasilan bruto hingga 300% dari biaya R&D, nominal potensi pajak yang hilang cukup besar bila diterapkan bersamaan dengan Pilar 2.
Demi menghadapi hal ini, dibutuhkan reformasi insentif pajak untuk para perusahaan, terutama insentif yang ditujukan untuk kegiatan investasi. Jangan sampai penerapan insentif bersamaan dengan Pilar 2 ini mengakibatkan penerimaan pajak hilang sia – sia, namun investasi stagnan bahkan turun.
OECD sendiri merekomendasikan solusi jangka pendek berupa penerapan pajak minimum domestik. Dengan penerapan pajak ini, penghasilan neto fiskal yang sebelumnya tidak dipajaki akibat adanya insentif dapat langsung dipajaki dengan mekanisme top up tax. Dengan begitu, negara sumber dapat memajaki terlebih dahulu sebelum negara residen ataupun negara lainnya.
Comments