Menyambut Pilar Dua
John Hutagaol, Rafael Tambunan dan Mailani
1. Pendahuluan
The G20/OECD Inclusive Framework yang beranggotkan 137 yurisdiksi anggota berhasil mencapai konsensus global atas Pilar Dua pada Oktober 2021. Konsensus global ini menggambarkan komitmen kolektif untuk membangun sistem perpajakan global yang lebih adil, transparan, dan koheren. Pilar Dua bertujuan untuk mengatasi permasalahan dan tantangan global dalam sistem perpajakan, khususnya terkait penghindaran pajak (tax avoidance) oleh perusahaan multinasional (Multi National Enterprise-MNE).
Sebagaimana diketahui bahwa MNE yang memiliki skala usaha yang besar (economic scale) memiliki kesempatan untuk memanfaatkan celah-celah kelemahan dalam ketentuan perpajakan internasional dengan mengalihkan labanya ke yurisdiksi yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax jurisdictions) atau dahulu dikenal juga dengan sebutan tax havens. Praktik penghindaran pajak ini berdampak negatif bagi banyak yurisdiksi termasuk Indonesia karena mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan pajak (tax revenue forgone) dalam jumlah yang besar. Dalam laporan “The State of Tax Justice 2020” yang diterbitkan oleh Tax Justice Network, hilangnya potensi penerimaan pajak secara global sekitar US$427 miliar setiap tahun akibat penghindaran pajak oleh MNE dan Orang Pribadi Kaya (high wealth individuals).
Konsensus global diperlukan untuk menciptakan kerangka kerja yang seragam, sehingga mencegah yurisdiksi anggota untuk saling bersaing menurunkan tarif pajak (race to the bottom) atau sering disebut harmful tax competition, dan juga memastikan bahwa semua yurisdiksi anggota mendapatkan bagian pendapatan pajak yang adil atas penghasilan dari kegiatan usaha MNE.
Konsensus Pilar Dua merupakan salah satu tonggak penting dalam menciptakan landskap perpajakan internasional yang lebih adil dan koheren. Langkah ini menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan kepentingan antar yurisdiksi, kolaborasi global dapat dicapai untuk mengatasi permasalahan dan tantangan global secara bersama. Dengan adanya konsensus global ini yang dinyatakan dalam Multilateral Convention, Pilar Dua memberikan landasan dan kepastian hukum bagi perusahaan dan yurisdiksi dalam menerapkan ketentuan perpajakan internasional (international taxation rules).
2. Muatan Pokok Pengaturan Pilar Dua
Pokok pengaturan Pilar Dua mencakup tarif pajak minimum global, prosedur penerapannya, safe harbour rule, transparansi dan pelaporan. Pertama, tarif pajak minimum global ditetapkan sebesar 15% yang berlaku untuk perusahaan multinasional (MNE) dengan peredaran usaha konsolidasi global di atas €750 juta. Tujuannya memberikan disinsentif bagi MNE untuk mengalihkan labanya (profit shifting) ke yurisdiksi yang menerapkan tarif pajak rendah. Praktik ini lazim disebut sebagai based erosion and profit shifting (BEPS).
Kedua, dalam rangka memastikan bahwa tarif pajak minimum global diterapkan secara konsisten di seluruh yurisdiksi maka diterapkan Income Inclusion Rule (IIR) dan Under Tax Payment Rule (UTPR). Sesuai Income Inclusion Rule (IIR), yurisdiksi tempat induk perusahaan terdaftar berhak memungut pajak tambahan atas laba entitas anak (subsidiary company) yang dikenai pajak di bawah tarif minimum global. Jika laba yang dihasilkan oleh entitas anak di yurisdiksi tertentu dikenai tarif pajak efektif (effective tax rate/ETR) di bawah 15%, maka yurisdiksi induk dapat memungut pajak tambahan untuk “menggenapi” pajak yang kurang dibayarkan. Contohnya, jika suatu entitas anak dikenai pajak dengan tarif 10% di yurisdiksi tertentu, maka yurisdiksi tempat induk perusahaan terdaftar dapat memungut tambahan pajak sebesar 5% untuk mencapai tarif pajak minimum global 15%.
Kedua, Undertaxed Payment Rule (UTPR) diterapkan bila IIR tidak diterapkan. UTPR memberikan hak kepada negara-negara tempat MNE beroperasi untuk memungut pajak tambahan jika laba dikenai pajak lebih kecil dari tarif pajak minimum global di yurisdiksi induk atau entitas anak. Sehingga UTPR sebagai pelengkap ketentuan IIR untuk memastikan bahwa laba tidak lolos dari pengenaan pajak minimum global.
Ketiga, Safe Harbour Rules memberikan pengecualian bagi yurisdiksi atau perusahaan yang telah memenuhi tarif pajak minimum, dengan tujuan untuk mengurangi beban administrasi (administrative burden) dan memberikan kepastian hukum (legal certainty) bagi yurisdiksi yang telah mematuhi tarif pajak minimum.
Keempat, transparansi dan pelaporan mewajibkan MNE untuk menyiapkan dan menyajikan Laporan per negara (Country-by-Country Reporting-CbCR) yang mencakup informasi pajak, pendapatan, dan aktivitas ekonominya di setiap yurisdiksi tempat MNE beroperasi. Tujuan CbCR adalah untuk memastikan transparansi dan meningkatkan kemampuan otoritas pajak untuk mendeteksi dan mencegah praktik penghindaran pajak. CbCR berisikan jumlah pendapatan, laba sebelum pajak, dan pajak yang dibayarkan di setiap yurisdiksi, aktivitas ekonomi utama di masing-masing lokasi, dan informasi tentang jumlah karyawan dan aset material di setiap yurisdiksi. Selanjutnya, CbCR dapat memberikan gambaran yang jelas bagi otoritas pajak tentang distribusi laba dan pembayaran pajak perusahaan, sehingga memperkuat kemampuan negara-negara untuk mendeteksi dan menangani praktik Based Erosion and Profit Shifting (BEPS).
3. Hal-hal yang perlu dipersiapkan
Dalam rangka mengimplementasikan Pilar Dua, ada beberapa hal yang perlu disiapkan oleh setiap yurisdiksi, yaitu ketentuan domestik (domestic regulation) dan administrasi perpajakan (tax administration) serta kerjasama dan kolaborasi internasional. Pertama, ketentuan perpajakan harus mengadopsi penerapan IIR dan UTPR agar selaras dengan standar internasional yang mengacu pada pedoman OECD dan mempertimbangkan perjanjian pajak bilateral (tax treaty) yang ada. Selain itu, ketentuan domestik juga mengatur tentang penerapan Safe Harbour Rules yang memberikan pengecualian bagi yurisdiksi atau perusahaan yang telah memenuhi tarif pajak minimum global.
Kedua, penguatan administrasi perpajakan dengan memanfaatkan secara masif dan maksimal penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sehingga memiliki kapasitas yang memadai dalam mengadministrasikan penerimaan dan mengawasi kepatuhan MNE. Administrasi perpajakan ini mencakup struktur, SDM, database dan bisnis proses.
Ketiga, kolaborasi dan kerjasama global dengan berpartisipasi aktif dalam the Inclusive Framework on BEPS maupun dengan organisasi administrasi pajak regional seperti SGATAR (Study Group on Asian Tax Administration and Research), ATAF (African Tax Administration Forum) dan CIAT (Inter-American Center of Tax Administrations) untuk saling bertukar informasi dan pengalaman serta saling mendukung dan membantu agar penerapan Pilar Dua dapat berjalan sesuai koridornya.
Kerjasama ini mencakup pembagian data, analisis kebijakan, dan harmonisasi ketentuan regional. Selain itu, dukungan teknis dari OECD antara lain berupa pelatihan dan panduan dalam pengembangan regulasi domestik yang sejalan dengan standar internasional.
4. Kesiapan Indonesia
Sebagai anggota G20 dan juga the Inclusive Framework on BEPS sejak tahun 2016, Indonesia mempersiapkan diri untuk menerapkan ketentuan Global anti Based Erosion (GloBE) pada Pilar Dua. Pertama dari sisi regulasi, Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan sebagai landasan hukum.
Pasal 32A Undang-Undang HPP memberikan kewenangan bagi Indonesia untuk menetapkan kebijakan perpajakan internasional dalam rangka menerapkan Multilateral Convention seperti Pilar Dua BEPS 2.0. Peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 misalnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) diperlukan untuk mengatur ketentuan Pilar Dua yaitu IIR dan UTPR. Selain itu, kajian dampak kebijakan Pilar Dua atas sejumlah kebijakan perpajakan termasuk insentif berupa tarif pajak misalnya tax holiday dan tax allowance perlu dilakukan untuk penyempurnaan regulasi agar selaras dengan Pilar Dua. Selanjutnya sesuai Pasal 17 ayat 1 huruf b Undang-Undang HPP dinyatakan bahwa tarif umum PPh Badan di Indonesia adalah 22% dan sesuai Pasal 17 ayat 2 huruf b, perusahaan terbuka (Tbk) yang mendapatkan fasilitas dikenai PPh Badan dengan tarif 19%. Kedua tarif PPh tersebut masih di atas tarif minimum global.
Kedua dari sisi administrasi perpajakan, pada awal tahun 2025 Indonesia meluncurkan Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP–CoreTax Administration System/CTAS) yang menyederhanakan, mengintegrasikan dan mengotomasi bisnis proses sehingga cepat dan tanggap dalam memberikan layanan dan sekaligus pengawasan kepatuhan pajak. PSIAP diharapkan mampu dan efektif mengawasi kepatuhan perusahaan grup maupun MNE. Ketiga, pelatihan bagi pegawai pajak untuk memahami ketentuan mengenai Global Anti Based Erosion (GloBE).
5. Penutup
Konsensus global atas Pilar Dua mengenai GloBE melengkapi ketentuan anti avoidance rules yang dibutuhkan untuk mencegah praktik perencanaan pajak yang agresif (aggressive tax planning) secara global. Komitmen global dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan dan tantangan perpajakan global. Meskipun saat ini G20/OECD the Inclusive Framework yang beranggotakan 147 Yurisdiksi sedang membahas dan berupaya untuk mencapai konsensus global atas Pilar Satu BEPS 2.0 yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas transaksi ekonomi digital.
Dengan tercapainya global concensus atas Pilar Dua, Indonesia bersama yurisdiksi anggota the Inclusive Framework on BEPS wajib untuk mengkonvergensi ketentuan Pilar Dua ke dalam ketentuan perundang-undangan domestiknya (domestic legislation framework). Kesiapan masing-masing yurisdiksi anggota berbeda-beda satu dengan yang lainnya, misalnya antar negara-negara maju dengan negara-negara berkembang dan juga sesama negara berkembang misalnya Indonesia dengan Malaysia. Pilar Dua mengakibatkan dampak yang luas bagi negara-negara yang selama ini menggunakan struktur dan tarif pajak yang rendah sebagai daya tarik investasi yang mengakibatkan distorsi ekonomi global. Tidak dapat disangkal bahwa negara-negara berkembang seperti Indonesia sangat terdampak atas penerapan Pilar Dua, sehingga perlu terobosan kebijakan pajak strategis untuk menempatkan Indonesia tetap menarik di mata para investor global.
Daftar Pustaka
Referensi Buku dan Artikel
OECD. (2021). Tax Challenges Arising from Digitalisation – Economic Impact Assessment: Inclusive Framework on BEPS. Paris: OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/0e3cc2d4-en OECD. (2021). Statement on a Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy. OECD Publishing.
Avi-Yonah, R. S. (2019). Global Taxation After the Pandemic: A New Dawn for International Taxation. University of Michigan Legal Studies Research Paper, No. 20-006.
Picciotto, S. (2017). Taxing Multinational Enterprises as Unitary Firms. International Center for Tax and Development Working Paper.
United Nations. (2021). United Nations Handbook on Selected Issues in Protecting the Tax Base of Developing Countries. New York: United Nations Department of Economic and Social Affairs.
Referensi Laporan
OECD. (2015). Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy, Action 1 – 2015 Final Report. Paris: OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/9789264241046-enOECD. (2020). Inclusive Framework on BEPS Progress Report 2019-2020. Paris: OECD Publishing.
IMF. (2021). Tax Policy for Inclusive Growth in Developing Asia. IMF Working Paper WP/21/32.
Tax Justice Network. (2020). The State of Tax Justice 2020: Tax Justice in the time of COVID-19. Tax Justice Network. Retrieved from https://taxjustice.net/reports/the-state-of-tax-justice-2020/.
Referensi Regulasi
Pemerintah Indonesia. Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021.
OECD/G20. (2021). Framework for Global Minimum Tax Rules under Pillar Two. Paris: OECD Publishing.
Pemerintah Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Pedoman Penyampaian Laporan Per Negara (Country-by-Country Reporting).
Referensi Jurnal
Devereux, M. P., & Vella, J. (2018). Debating the Future of the International Corporate Tax System. Oxford Review of Economic Policy, 34(3), 419-441.
Hongler, P., & Pistone, P. (2015). Blueprints for a New PE Nexus to Tax Business Income in the Era of the Digital Economy. IBFD White Paper.
Clausing, K. A. (2020). Profit Shifting Before and After the Tax Cuts and Jobs Act. National Tax Journal, 73(4), 1233-1266.
Referensi Online
OECD. (2021). Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Overview. Retrieved from https://www.oecd.org/tax/beps/
PwC. (2022). Pillar Two Rules: What MNEs Need to Know. Retrieved from https://www.pwc.com/gx/en/services/tax/publications/global-minimum-tax-rules-pillar-two.html
Deloitte. (2021). Understanding Global Minimum Tax and Its Implications. Retrieved from https://www2.deloitte.com/global/en/pages/tax/articles/global-minimum-tax.html
Referensi Konferensi dan Presentasi
OECD/G20 Inclusive Framework. (2021). Presentation on the Two-Pillar Solution to Address Tax Challenges Arising from Digitalisation. Presented at the OECD Public Consultation.
* John Hutagaol adalah Guru Besar Perpajakan dan sekarang menjabat sebagai Tenaga Pengkaji Bidang PPSDM pada Direktorat Jenderal Pajak
* Rafael Tambunan dan Mailani adalah Staf pada Tenaga Pengkaji Bidang PPSDM
Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis
Comments