Menu
in ,

Mengenali Aspek Perpajakan Cashback

Siapa yang tak pernah mendengar istilah “Cashback”? Semakin kesini istilah ini semakin sering kita temui, terutama apabila kita melakukan transaksi digital. Lalu apa yang sebenarnya dimaksud sebagai cashback? Cashback adalah suatu kondisi di mana pembeli diberikan pengembalian berupa uang tunai ataupun dalam bentuk lain setelah memenuhi syarat tertentu yang ditentukan oleh penjual ataupun penyelenggara cashback.

Cashback biasa digunakan untuk menarik minat konsumen dengan mekanisme yang bervariasi. Alih – alih mengurangi jumlah uang yang dikeluarkan pembeli untuk mendapatkan suatu produk, cashback memberikan imbalan setelah melakukan transaksi bersyarat, namun dengan harga tetap. Adapun jenis – jenis cashback yang umum saat ini adalah cashback kartu kredit, cashback toko online, cashback kendaraan bermotor, dan cashback property. Pertanyaannya, bagaimanakah aspek perpajakan dari cashback?

Dasar hukum yang pertama adalah Pasal 4 ayat (1) Undang – Undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana terakhir diubah dengan Undang – Undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pada pasal tersebut disebutkan bahwa penghasilan didefinisikan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak. Dari definisi ini, cashback dapat digolongkan sebagai penghasilan yang diterima oleh pembeli, sehingga termasuk objek pajak.

Selanjutnya terkait peraturan teknis yang mengatur tentang hadiah dan sejenisnya, yang pertama Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-11/PJ/2015, terdapat empat jenis hadiah kena pajak. Hadiah kena pajak tersebut wajib dilakukan pemotongan pajak oleh pemberi hadiah yang mana meliputi hadiah undian, hadiah atau penghargaan perlombaan, hadiah sehubungan dengan pekerjaan atau jasa, serta hadiah/penghargaan/imbalan terkait prestasi. Dari empat penggolongan tersebut, cashback tidak disebutkan termasuk diantaranya. Pada pasal 4 ayat (1) peraturan yang sama, disebutkan pula bahwa hadiah langsung yang diberikan kepada semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir tidak dilakukan pemotongan pajak. Sehingga, pemotongan pajak memang tidak dilakukan untuk cashback. Kesimpulan ini berlaku apabila cashback yang berlaku merupakan cashback yang sifatnya tanpa syarat pembelian dan penjualan tertentu.

Peraturan teknis lainnya yang berkaitan dengan cashback adalah Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-24/PJ/2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Imbalan yang Diterima oleh Pembeli Sehubungan dengan Kondisi Tertentu dalam Transaksi Jual Beli. Pada poin materi pasal 3 peraturan tersebut, disebutkan bahwa penjual dapat memberikan imbalan kepada pembeli atas tercapainya syarat tertentu yang berupa syarat jumlah pembelian, syarat jumlah penjualan dan/atau syarat jangka waktu pelunasan. Imbalan tersebut kemudian dianggap termasuk dalam pengertian penghargaan, yakni bonus yang diberikan oleh penjual kepada pembeli sehubungan dengan tercapainya syarat tertentu. Kemudian atas penghargaan tersebut, penjual wajib melakukan pemotongan PPh dan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas imbalan bersyarat tersebut. Sehingga berdasarkan definisi diatas, atas cashback bersyarat wajib dilakukan pemotongan PPh oleh pemberi cashback.

Untuk pemotongan PPh, dibagi menjadi 3 jenis, yakni PPh pasal 21, pasal 23, dan pasal 26. Apabila penerima cashback bersyarat merupakan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenakan pemotongan PPh pasal 21 sesuai tarif progresif pasal 17 UU PPh. Kemudian apabila penerima cashback merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri serta BUT, maka dikenakan pemotongan pajak PPh pasal 23 sebesar 15%. Dan apabila penerima cashback merupakan Wajib Pajak luar negeri, maka dikenakan pemotongan PPh pasal 26 sebesar 20%. Adapun dasar pengenaan pajak (DPP) atas pemotongan pajaknya adalah senilai cashback yang diberikan kepada pembeli.

Sedangkan pemungutan PPN hanya akan dikenakan apabila cashback yang diberikan merupakan barang kena pajak (BKP) sebagaimana diatur dalam UU nomor 8 tahun 1983 tentang PPN sebagaimana terakhir diubah dengan UU nomor 7 tahun 2021 tentang HPP. Contohnya adalah pemberian cashback berupa TV, motor, ataupun barang lain yang diberikan saat pembelian properti. Pemungutan PPN dilakukan apabila penjual merupakan pengusaha kena pajak (PKP), serta wajib membuat faktur pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas cashback tersebut.

Sehingga, apabila dihubungkan kedua peraturan teknis tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa cashback tidak bersyarat tidak dikenai pemotongan pajak dan cashback bersyarat seharusnya dikenai pemotongan pajak. Namun dalam prakteknya, pemotongan pajak atas cashback masih kurang populer dan belum dijalankan sesuai dengan peraturan – peraturan tersebut. Hal ini bisa jadi disebabkan karena masyarakat masih awam dengan mekanisme cashback yang saat ini makin bervariasi

Dipotong atau tidaknya cashback yang Anda terima oleh pembeli, ia masih tetap memenuhi definisi penghasilan dalam UU PPh, sehingga merupakan objek pajak. Atas penghasilan tersebut, sebaiknya Anda laporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Anda. Hal ini kembali ke kesadaran masing – masing wajib pajak dalam mekanisme self assesment pemenuhan kewajiban perpajakan. Sehingga, jadilah wajib pajak yang taat, dan laporkan penghasilan – penghasilan Anda dengan benar dan lengkap dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Anda. Orang bijak taat pajak!

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version