Meluruskan Salah Kaprah Soal Penyesuaian Tarif PPN
Oleh Yacob Yahya, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Akhir-akhir ini publik marak bersuara ihwal rencana penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1%. Sejak diperkenalkan melalui modernisasi ketentuan perpajakan pada dekade 1980-an, baru kali ini kita menyesuaikan tarif PPN. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN/PPnBM), tarif PPN yang kita kenal adalah 10%. Tarif tersebut bertahan hampir empat dekade. Barulah saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN meningkat secara bertahap. Pertama, mulai 1 April 2022, ia naik dari 10% menjadi 11%. Berikutnya, paling lambat 1 Januari 2025, tarif PPN disesuaikan menjadi 12%.
Tiap kali tarif pajak disesuaikan, di situ pula diskusi publik jadi marak. Maklum saja, karena pajak menyangkut hajat hidup orang banyak. Ibarat sekeping uang logam yang memiliki dua sisi, pajak kerap dianggap membebani, tapi sekaligus pula banyak yang mengamini betapa besar manfaatnya untuk rakyat dan pembangunan.
Diskusi publik sah-sah saja. Tampaknya baru kali ini pajak sedemikian rupa intensnya dibahas oleh khalayak. Sisi positifnya, masyarakat sadar bahwa wacana pajak begitu penting bagi kehidupan. Namun sisi negatifnya, kita mestinya tak perlu terjebak pada sumpah-serapah dan umpatan yang kontraproduktif. Banyak kita jumpai komentar yang cenderung kasar di media sosial. Alih-alih menumbuhsuburkan demokrasi, situasi seperti ini malah menyulut mobokrasi –wabil khusus di dunia maya.
Oleh karena itu, wacana soal penyesuaian tarif PPN 1%, perlu kita dudukkan dengan pikiran yang jernih. Ada sejumlah hal yang perlu diluruskan soal diskusi ini.
Sudah Melalui Jalur Konstitusional
Sempat mencuat seruan lawan kenaikan tarif PPN di media sosial dengan semboyan “no taxation without representation”. Sebelum memajaki rakyatnya, pemerintah butuh persetujuan rakyatnya. Jargon yang lahir pada era Revolusi Amerika pada abad ke-18 itu memang benar adanya.
Republik Indonesia pun menganut hal tersebut. Oleh para founding fathers, filosofi tersebut telah diabadikan di dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945, yang belakangan diamandemen menjadi Pasal 23A, yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Mengapa harus undang-undang? Karena ia merupakan kesepakatan antara pemerintah (eksekutif) dan parlemen (legislatif) yang mewakili rakyat.
Kenaikan tarif PPN merupakan amanat UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Warga negara pun dijamin haknya untuk menguji materi suatu undang-undang yang telah disahkan ke Mahkamah Konstitusi (judicial review). Semestinya jalur konstitusional seperti ini yang ditempuh, bukan melalui seruan boikot dengan narasi seolah-olah negara zalim terhadap rakyatnya.
Pajak atas Konsumsi, Pajak yang Paling Netral
Gale (2020) justru menyarankan bahwa kenaikan tarif PPN merupakan solusi yang tepat atas tambahan sumber penerimaan negara. Ditinjau dari karakteristik dan sejarahnya, dibandingkan dengan jenis pajak lain yang telah diterapkan berabad lalu, PPN justru lahir awal abad ke-20, dan baru diberlakukan di berbagai negara lima dekade yang lalu. PPN juga menunjukkan telah sukses diterapkan di 168 negara. Pada 2016, PPN berkontribusi atas lebih dari 20% penerimaan pajak di negara OECD.
Dalam konteks Indonesia, PPN mulai berlaku sejak 1984, melalui UU 8/1983. Ditinjau dari realisasi penerimaan selama 2020-2023 (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, diolah), serta target penerimaan 2024-2025 (UU APBN, diolah), PPN tumbuh signifikan. Pada 2020, PPN membukukan penerimaan Rp453,59 triliun. Pada 2021, PPN mencatatkan penerimaan Rp548,40 triliun (tumbuh 20,90%). Kemudian, PPN menorehkan penerimaan Rp694,78 triliun (tumbuh 26,69%) pada 2022 dan Rp749,87 triliun (tumbuh 7,93%) pada 2023. Tahun ini, target penerimaan PPN dipatok Rp811,36 triliun (tumbuh 8,20%) dan tahun depan Rp945,12 triliun (tumbuh 16,49%).
PPN merupakan pajak yang paling netral karena pada prinsipnya ia adalah pajak atas konsumsi –siapapun konsumennya, baik orang kaya maupun kalangan kurang mampu. PPN tidak terdistorsi dari struktur penghasilan dan biaya –yang berlaku dalam pajak penghasilan secara umum. PPN cenderung lebih mudah diadministrasikan dan diawasi.
Bukan Ukuran Maju-Tidaknya Sebuah Negara
Sebagian masyarakat berpendapat bahwa jika PPN menjadi 12%, Indonesia bakal jadi negara kedua se-Asia Tenggara dengan tarif PPN tertinggi. Ia setara dengan Filipina, negara yang saat ini tengah berkutat dengan isu gonjang-ganjing politik dan korupsi. Sementara itu, negara maju Singapura menerapkan tarif PPN yang lebih rendah. Bahkan, Brunei Darussalam konon tidak menerapkan PPN. Oleh karena itu, mereka menyimpulkan bahwa semakin maju sebuah negara, semakin kecil tarif PPN-nya.
Padahal tidak selalu begitu. Negara Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, dan Denmark mematok PPN 25%; Inggris menerapkan PPN 20%; dan Selandia Baru memberlakukan PPN 15%. Rata-rata tarif PPN di dunia pun berkisar 15%. Dengan demikian, tarif 12% yang akan diusung oleh Indonesia, tergolong masih kompetitif dibandingkan dengan tarif rata-rata dunia (Global VAT Compliance, 2024, diolah).
Tabel Tarif PPN di Beberapa Negara
Negara | Tarif PPN | Negara | Tarif PPN |
Hungaria | 27% | Meksiko | 16% |
Kepulauan Faroe | 25% | Venezuela | 16% |
Swedia | 25% | Ekuador | 15% |
Brazil | 17% – 25% | Selandia Baru | 15% |
Uruguay | 22% | Saudi Arabia | 15% |
Argentina | 21% | Mesir | 14% |
Bulgaria | 20% | Kosta Rika | 13% |
Maroko | 20% | China | 6% – 13% |
Rusia | 20% | Kazakhstan | 12% |
Turkiye | 20% | Filipina | 12% |
Inggris Raya | 20% | Uzbekistan | 12% |
Aljazair | 19% | Indonesia | 11% |
Chile | 19% | Lebanon | 11% |
Kolombia | 19% | Australia | 10% |
Tunisia | 19% | Kepang | 10% |
Georgia | 18% | Korea Selatan | 10% |
Pakistan | 18% | Malaysia | 10% |
Peru | 18% | Singapura | 9% |
Sri Lanka | 18% | Vietnam | 8% |
Mauritania | 16% | Thailand | 7% |
Sumber: Global VAT Compliance (2024), diolah
Bukan Naik 9%, Justru “Hanya” 0,9%
Sempat beredar pula “utak-atik gatuk” bahwa kenaikan tarif PPN bukan 1%, melainkan 9%. Kalangan tersebut berpendapat bahwa kenaikan 1% dibagi tarif sebelumnya 11% sama dengan 9,09%. Jelas ini merupakan logika yang menyesatkan.
Pertama, tarif pajak dihitung dari dasar pengenaan pajaknya (DPP), bukan dibandingkan dengan tarif sebelumnya. Kedua, secara riil, justru kenaikan yang dirasakan malah “hanya” 0,9%. Ilustrasinya sebagai berikut.
Harga sebuah barang kena pajak adalah Rp400.000. Dengan PPN 11% yang saat ini berlaku, pembeli membayar Rp444.000. Tahun depan, saat PPN 12%, pembeli akan membayar Rp448.000. Dibandingkan dengan harga yang ditanggung pembeli pada tahun ini Rp444.000, kenaikan harga Rp4.000 untuk tahun depan itu sebesar 0,9% (4.000/444.000).
Keadilan Pajak untuk Semua, Tingkat Kemiskinan Menurun
Belakangan, mencuat pula wacana pengampunan pajak jilid ketiga muncul dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2025. Narasi yang berkembang adalah rakyat kecil dipajaki 12%, pengemplang pajak kelas kakap diampuni.
Ini juga merupakan narasi yang dibangun dengan logika yang rapuh. Soalnya, program pengampunan pajak juga dapat diikuti oleh seluruh kalangan, tidak hanya untuk wajib pajak tertentu.
Lagipula, berkaca pada tax amnesty jilid pertama 2016-2017, pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) justru menikmati tarif tebusan yang sangat ringan. Yakni, tarif 0,5% untuk pengungkapan nilai harta Rp4,8 miliar sampai dengan Rp10 miliar, dan 2% untuk pengungkapan nilai harta di atas Rp10 miliar. Tarif tersebut juga “flat”, tidak naik seiring periode sebagaimana yang berlaku bagi peserta tax amnesty non-UMKM. Pengungkapan harta pada periode 1 Juli-30 September 2016 diberlakukan tarif 2% untuk harta dalam negeri dan 4% untuk harta luar negeri; periode 1 Oktober-31 Desember 2016 dikenakan tarif 3% untuk harta dalam negeri dan 6% untuk harta luar negeri; dan periode terakhir 1 Januari-31 Maret 2017 berlaku tarif 5% untuk harta dalam negeri dan 10% untuk harta luar negeri.
Kedua, daya beli masyarakat tetap terlindungi dengan berbagai skema bebas/tidak dikenakan PPN untuk sejumlah kebutuhan pokok, atau skema PPN Ditanggung Pemerintah (PPN) untuk barang tertentu.
Gale (Ibid) menyarankan bahwa kenaikan tarif pajak demi menambah penerimaan negara, perlu dibarengi dengan kebijakan perlindungan sosial untuk masyarakat dengan tingkat penghasilan menengah ke bawah. Sejumlah barang dan jasa yang dikecualikan dari PPN juga dapat diformulasikan.
Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat menemui Presiden Prabowo Subianto (5/12). Dari hasil pertemuan tersebut, disebutkan bahwa PPN 12% akan diterapkan secara selektif hanya untuk barang mewah. Sementara itu, barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat tetap tidak dikenakan PPN.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, memberikan pernyataan bahwa besar kemungkinan kenaikan tarif PPN diundur, sembari pemerintah menyiapkan program perlindungan sosial yang tepat (27/11). Subsidi listrik, misalnya. Luhut mewanti-wanti bahwa bentuk subsidi bukan uang tunai melainkan berupa potongan tagihan listrik, karena penerima subsidi berpotensi terjerumus pada judi online.
Tentunya pemerintah Indonesia sadar akan hal itu. Banyak barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokok tidak dikenai atau dibebaskan dari PPN. Misalnya, sembako, jasa pendidikan, jasa kesehatan, buku pelajaran umum, jasa transportasi, dan sebagainya. Skema PPN DTP juga masih digulirkan untuk pembelian rumah tapak atau rumah susun, juga kendaraan listrik. PPN DTP ini diprioritaskan untuk diperpanjang tahun depan.
Badan Pusat Statistik (2024) mencatat jumlah penduduk miskin pada 2019 sebanyak 25,14 juta jiwa (9,41%). Terpukul badai pandemi Covid-19, jumlah penduduk miskin melonjak pada 2020 menjadi 26,42 jiwa (9,78%). Pada 2021, kondisi masih belum pulih sehingga penduduk miskin bertambah menjadi 27,54 juta jiwa (10,14%). Sejak 2022, saat berlakunya tarif PPN 11% serta seiring pandemi Covid-19 berangsur terkendali dan kondisi ekonomi pulih, penduduk miskin berkurang menjadi 26,16 juta jiwa (9,54%) dan dua tahun berturut-turut selanjutnya, jumlah penduduk miskin semakin menyusut. Pada 2023 menjadi 25,90 juta jiwa (9,36%) dan pada 2024 terdapat 25,22 juta jiwa (25,22%).
Hal ini menunjukkan bahwa program-program perlindungan sosial serta pemulihan ekonomi nasional senantiasa hadir untuk seluruh rakyat dengan formulasi yang tepat sasaran.
Berkaca pada Situasi 2022
Kekhawatiran akan memburuknya dampak ekonomi sebenarnya tidak tercermin dari kondisi kenaikan tarif PPN gelombang pertama pada 2022 lalu. Pada April 2022 –pascaberlakunya tarif PPN 11%– laju inflasi masih cenderung terkendali, yakni 0,95%. Inflasi tahun ke tahun (year on year) April 2022 terhadap April 2021 tercatat 3,47%. Menurut kelompok pengeluaran, dua komponen yang berkontribusi paling besar terhadap inflasi adalah makanan, minuman, dan tembakau (0,46%), disusul transportasi (0,29%) (Badan Pusat Statistik, 2022, diolah).
Sebagaimana diatur dalam ketentuan, bahan kebutuhan pokok termasuk pangan, dan jasa transportasi, bukanlah objek yang dikenakan PPN. Saat itu, inflasi terkerek lantaran menyambut Idulfitri.
Hingga akhir tahun, inflasi yoy Desember 2022 terhadap Desember 2021 tercatat 5,51%. Raihan ini cenderung terkendali, mengingat kita berhasil membukukan pertumbuhan ekonomi 5,31%. Menurut asumsi dasar APBN 2022, inflasi diharapkan pada kisaran 3% dan pertumbuhan ekonomi ditargetkan 5,2%. Penyumbang inflasi terbesar adalah komponen kenaikan harga BBM dan transportasi liburan sekolah, Natal, dan Tahun Baru. Kita juga ingat bahwa saat itu, kita menikmati pelonggaran mobilisasi, seiring dengan melandainya pandemi Covid-19, menuju masa pemulihan dan endemi setahun kemudian. Perlu dicatat, negara barat mengalami inflasi yang lebih tinggi pada 2022, seperti Amerika Serikat (7,11%), Inggris (9,3%), dan Jerman (10,05%) (Badan Pusat Statistik, Ibid).
*Artikel opini ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Comments