Menu
in ,

Dibalik Lonjakan Harga Kedelai Internasional

Dibalik Lonjakan Harga Kedelai Internasional

FOTO: IST

Lonjakan harga kedelai internasional berhasil membuat Indonesia berpikir keras. Lonjakan harga ini salah satunya dipicu oleh aksi China mengimpor kedelai dalam jumlah besar, yakni sekitar 100 juta ton kedelai dari para pemasok utama kedelai impor seperti Amerika Serikat (AS). Jumlah ini menurut Menteri Perdagangan Indonesia Muhamad Lutfi setara dengan sekitar 60% pasokan kedelai global. Tentu saja, sesuai dengan kurva ekonomi, kenaikan permintaan akan membuat harga naik. Aksi China ini sontak membuat harga kedelai internasional mengalami kenaikan dan membuat Indonesia cukup pusing. Mengutip CNBC (22/02/2022), per 22 Februari 2022 harga kedelai mencapai US$ 15,86 per bushel (27,2155 kilogram) atau sekitar Rp 8.000-Rp 9.000 per kilogram. Sebenarnya untuk apa China mengimpor kedelai dalam jumlah besar tersebut? Mengapa Indonesia terpengaruh? Dan bagaimana sebaiknya menyikapi ketergantungan terhadap impor kedelai?

China memang menjadi negara pengimpor kedelai per tahunnya, dan selalu berhasil membuat harga kedelai internasional meningkat. Mengutip Reuters (14/1/2022), realisasi impor kedelai China pada 2020 dan 2021 berturut-turut mencapai 100,33 dan 96,52 juta ton. Sedangkan untuk tahun 2022, realisasi impor kedelai China di 2022 mencapai 98,5 juta ton. Sekitar 90% dari jumlah impor tersebut ditujukan untuk pakan ternak babi dan juga minyak nabati. Pemberian pakan ternak berupa kedelai ini merupakan bagian dari reformasi peternakan babi di China supaya lebih bersih dan modern, karena sebelumnya terkena wabah demam babi Afrika pada 2018 dan 2019.

Menurut Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Indonesia Oke Nurwan, di 2022 ini China memborong kedelai impor dari Amerika Latin dan Amerika Serikat, padahal biasanya dari Argentina dan Brazil. Terganggunya produksi di Argentina dan Brazil mendorong China beralih mencari negara pemasok kedelai lain. Akibatnya, Indonesia yang selama ini juga menggantungkan impor kedelai dari AS terkena imbas kenaikan harga kedelai akibat pemborongan yang dilakukan oleh China. Jika dirupiahkan, para pengrajin tahu dan tempe harus menebus kedelai impor dengan harga Rp11.000/Kg-nya, sudah termasuk biaya logistik, biaya impor, dan lain – lain. Harga ini jauh lebih mahal dari harga normal di sekitari Rp6.000-7.000/Kg.

Kebutuhan kedelai dalam negeri Indonesia per tahunnya sekitar 2 hingga 3 juta ton. Dari jumlah ini, sekitar 90% diimpor dari AS, dan hanya sekitar 300.000 ton yang merupakan produksi dalam negeri. Rendahnya kapasitas produksi kedelai dalam negeri ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Yang pertama adalah terus berkurangnya luas lahan tanam kedelai, yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan. Mengutip The Conversation (13/01/2021), di 2018 hanya ada sekitar 680 ribu hektare lahan yang ditanami kedelai, jauh dari kebutuhan lahan penanaman kedelai untuk memenuhi permintaan dalam negeri yakni setidaknya 2,5 juta hektare.

Yang kedua, harga jual kedelai lokal yang cukup rendah apabila dibanding dengan biaya menanam yang tinggi. Patokan harga jual kedelai yang ditetapkan pemerintah untuk kedelai lokal adalah sekitar Rp 8.500 per kilogram di tingkat petani, sedangkan biaya produksi berada di rentang Rp 6.000-Rp 7.000 per kilogramnya. Margin keuntungan yang didapat dari patokan harga tersebut cukup tipis untuk petani, apalagi adanya persaingan dengan kedelai impor yang harganya lebih rendah (saat normal) dengan kualitas lebih baik. Akibatnya, petani menjadi malas untuk menanam kedelai.

Yang ketiga adalah kondisi iklim Indonesia yang memengaruhi produktivitas tanaman kedelai. Kedelai asalnya adalah tanaman sub-tropis, yang memiliki perubahan suhu lebih beragam. Di Indonesia yang hanya memiliki dua musim, kondisi ini membuat pertumbuhan kedelai menjadi tidak maksimal. Kedelai juga merupakan jenis tanaman yang membutuhkan kelembapan tanah cukup, kadar keasaman netral, dan suhu relatif tinggi.

Sedangkan di Indonesia, curah hujan yang tinggi di musim hujan dapat mengakibatkan tanah menjadi penuh air dan menyebabkan pencucian unsur hara tanah, sehingga membuat keasaman tanah menurun. Hal ini akan menghambat pertumbuhan kedelai. Di Indonesia, kedelai juga biasanya ditanam di lahan bekas penanaman padi sebagai bagian dari pola rotasi tanam. Lahan bekas tanaman padi ini biasanya mengandung pupuk anorganik, yang dapat mengurangi unsur hara tanah dan membuat tanah menjadi tidak netral.

Apabila tak mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas dari kedelai dalam negeri, dapat dipastikan kedepannya produksi kedelai dalam negeri akan stagnan dan bahkan menurun. Sehingga, Indonesia akan terus bergantung terhadap impor kedelai yang harganya juga tergantung pada harga kedelai internasional. Dalam menyikapi lonjakan harga kedelai internasional tersebut, Indonesia harus memberikan subsidi harga apabila telah mencapai batasan tertentu.

Kedepannya, Indonesia harus mampu menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan para petani kedelai untuk memproduksi kedelai lokal. Sarana prasarana tersebut salah satunya adalah lahan tanam. Strategi yang dapat diterapkan pemerintah adalah melakukan ekstensifikasi lahan penanaman kedelai, sekaligus dengan fasilitas pembiayaan dalam mengelola kedelai yang selama ini menjadi pertimbangan utama para petani kedelai.

Mengutip Katadata (19/02/2022), Kementerian Pertanian akan meningkatkan produksi kedelai dalam negeri dengan memfasilitasi pembiayaan pengembangan kedelai seluas 52 ribu hektare. Fasilitas pembiayaan ini akan diberikan dalam bentuk kredit usaha rakyat (KUR), dan digunakan untuk pengembangan kedelai yang tersebar di beberapa provinsi potensial. Dalam pengembangan kedelai ini haruslah menggunakan lahan yang khusus untuk penanaman kedelai, supaya pertumbuhan kedelai menjadi optimal.

Strategi lainnya adalah melakukan pengapuran untuk lahan bekas penanaman padi. Pengapuran dilakukan dengan cara menambahkan Kalsium pada tanah untuk menaikkan kadar keasaman tanah yang kurang asam. Strategi ini merupakan strategi yang bagus diterapkan saat ini, dimana lahan khusus penanaman kedelai masih minim, sehingga harus menggunakan lahan bekas penanaman padi, jagung, atau tanaman palawija lainnya.

Tentu saja, kedua strategi diatas harus dibarengi dengan pembinaan para petani kedelai untuk menjadikan tanaman kedelai sebagai tanaman utama, bukan tanaman sampingan saja. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian juga perlu memberikan pembinaan bagaimana penggunaan benih dan pupuk yang baik. Swasembada kedelai memang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia untuk melepaskan diri dari ketergantungan impor kedelai yang harganya selalu fluktuatif. Jika tidak segera diambil langkah strategis, kedelai lokal akan semakin tertinggal dan merugikan Indonesia.

 

* Penulis Adalah Mahasiswa PKN STAN, Jurusan D-III Perpajakan

*Informasi yang disampaikan dalam Artikel ini sepenuhnya merupakan Tanggung Jawab Penulis

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version