Menu
in ,

5 Kesalahan Milenial dalam Mengatur Keuangan

Pajak.comJakarta – Jalan menuju kemandirian finansial tidaklah mudah, dan biasanya membutuhkan kesabaran dan ketekunan sejak dini. Bagi generasi milenial yang lahir antara tahun 1980 sampai 2000 atau biasa disebut generasi milenial, saat ini berada di kisaran usia 22 hingga 42 tahun. Mereka biasanya masih berusaha untuk membangun karier—atau terlalu sibuk bekerja, sehingga fokus pada masa pensiun atau menabung untuk masa depan mungkin tidak tampak seperti prioritas utama.

Namun, membuat uang yang salah bergerak atau salah mengelola keuangan sejak dini bisa menjadi beban di kemudian hari dan seringkali menjadi penyesalan karena mendapati Anda tidak memiliki apa-apa di masa tua. Jadi, sudah seyogianya Anda sebagai generasi muda bisa menghindari lima kesalahan paling umum yang dilakukan ketika mengatur keuangan dan membangun kehidupan finansial. Berikut ulasannya.

1. Menunda membuat tabungan pensiun

Seperti yang disebutkan di atas, para pekerja yang terlalu sibuk meniti karier kerap lupa untuk jeda sejenak dan berpikir untuk memiliki tabungan pensiun. Sejatinya, merencanakan pensiun adalah tentang menemukan keseimbangan antara menyisihkan uang untuk nanti dan memiliki cukup uang untuk membayar kebutuhan saat ini.

Beberapa perencana keuangan mengingatkan bahwa usia 25 tahun adalah saat yang tepat untuk membuat tabungan pensiun. Semakin dini Anda membuka tabungan pensiun maka semakin besar tabungan yang bisa dinikmati di masa pensiun.

Aturan umumnya adalah menyisihkan dana untuk ditabung setidaknya 15 persen dari penghasilan Anda setiap tahunnya. Namun, kebanyakan milenial tidak memulai cukup uang untuk menerapkan strategi tersebut. Padahal dengan adanya bunga majemuk, tabungan dalam jumlah kecil pun akan tumbuh secara eksponensial dalam jangka waktu yang lebih lama.

Dalam laporan terbaru dari Natixis, sebanyak 60 persen responden mengatakan mereka harus bekerja lebih lama dari yang diperkirakan untuk pensiun, dan 40 persen mengatakan bahwa “akan butuh keajaiban” bagi mereka untuk dapat pensiun dengan aman.

Intinya, beberapa orang menunda tabungan untuk pensiun karena mereka berpikir pensiun masih jauh. Sayangnya, kalau menunggu terlalu lama untuk memulai, mereka mungkin kesulitan saat mengejar ketinggalan dalam memenuhi dana pensiun yang ideal di masa depan.

2. Menjadi korban inflasi gaya hidup

Inflasi gaya hidup atau lifestyle inflation diartikan sebagai kondisi perubahan perilaku dan kebiasaan yang mengakibatkan pengeluaran terus meningkat seiring dengan bertambahnya penghasilan. Jadi, ini kerap terjadi kepada milenial yang terus meningkatkan pengeluaran seiring bertambahnya penghasilan mereka.

Ada pengeluaran yang sifatnya mungkin hanya sesekali saja, seperti mentraktir ulang tahun, dan membuat pesta untuk merayakan diterima kerja atau promosi pekerjaan. Ada juga pengeluaran yang sifatnya bisa terus menerus, seperti menggunakan merek pakaian yang lebih mahal, mengganti jenama skincare yang lebih baik, atau mengganti motor menjadi mobil.

Hal ini diperparah oleh media sosial yang secara algoritmanya terus menuntun mereka untuk mengikuti perkembangan orang lain—atau gaya hidup terkini. Ketakutan akan ketinggalan mode, dikombinasikan dengan mentalitas ‘saya layak mendapatkannya’, telah menyebabkan lebih banyak milenial menghabiskan sebagian besar penghasilan mereka untuk hal-hal yang memberikan kepuasan untuk jangka pendek.

Mereka biasanya meremehkan berapa banyak yang dapat mereka hemat jika membawa bekal sendiri ketimbang terus mencoba makanan kekinian, dan bagaimana pengeluaran yang berlebihan dapat secara serius menggagalkan rencana keuangan lainnya. Keputusan tinggal di walk-up apartment daripada gedung dengan lift mungkin tidak akan terasa berbeda ketika Anda masih muda, padahal itu bisa menghemat banyak uang. Idealnya, milenial mesti menjaga biaya sewa di bawah 25 persen dan biaya makanan di bawah 15 persen dari pendapatan kotor bulanan.

3. Tidak memiliki dana darurat yang cukup

Satu hal yang mesti Anda ingat selalu: dana darurat dapat menyelamatkan hidup jika kehilangan pekerjaan, jatuh sakit, atau memiliki keperluan tak terduga lainnya yang harus ditanggung. Di sisi lain, dana darurat juga dianggap sebagai penyangga keuangan yang penting dan dapat mencegah Anda terjerat utang.

Namun, milenial terkadang bisa terlalu percaya diri dan mengabaikan risiko tersebut. Bahkan, terasa tidak mengherankan melihat banyak generasi milenial tanpa dana darurat sama sekali.

Sebetulnya, jumlah berapa pun adalah awal yang baik, tetapi umumnya, yang masih melajang perlu menyisihkan enam bulan pengeluaran untuk keadaan darurat. Untuk pasangan berpenghasilan ganda, jumlahnya harus setidaknya tiga bulan.

4. Mencampur semua pos pengeluaran 

Anda mungkin telah memiliki tujuan dan rencana keuangan yang jelas sehingga penentuan rencana finansial seperti yang ingin dilakukan bisa berjalan baik. Anda dapat membagi porsi keuangan dengan metode 50:30:20 dari total pemasukan yang dimiliki setiap bulannya.

Sebanyak 50 persen untuk biaya hidup sehari-hari dalam satu bulan; 30 persen untuk tabungan, investasi, dan kebutuhan finansial lainnya; sementara 20 persen sisanya untuk kebutuhan konsumtif. Namun, kaum milenial hanya membagi spending plan bulanannya saja tetapi tidak memisahkannya menjadi masing-masing pos pengeluaran dalam tabungan mereka.

Kalau penghasilan masih saja dikelola dalam satu rekening, rencana pengeluaran yang sudah direncanakan sebelumnya hampir pasti tidak bisa berjalan sesuai target. Maka, agar metode yang dipakai semakin rapi dan teratur, Anda juga perlu membagi masing-masing pos pengeluaran ke dalam masing-masing rekening.

Saat ini telah banyak perbankan yang menyediakan fitur memiliki beberapa tabungan digital dalam satu aplikasi, sehingga Anda tak perlu repot lagi pergi ke bank dan mengurus pembukaan rekening baru. Dengan cepat dan ringkas, Anda bisa mengatur keuangan dan membagi pendapatan bulanan ke masing-masing posnya dari ujung jempol saja.

5. Menyimpan terlalu banyak aset volatil seperti kripto

Ya, mendengar kata kripto saja generasi milenial seolah tak mau ketinggalan beritanya. Meski beragam investasi baru seperti NFT, Special Purpose Acquisition Company (SPAC), dan aset kripto dapat memberikan potensi pertumbuhan yang menarik; mengabaikan volatilitasnya dapat sangat membahayakan kesehatan keuangan Anda.

Sekali lagi berkat media sosial, kemungkinan banyak generasi milenial mendapati orang yang fokus dengan aset-aset itu menjadi kaya dengan cepat, tentu dapat menggugah rasa penasaran mereka untuk mencoba dan mempertaruhkan penghasilan atau bahkan tabungan secara habis-habisan.

Beberapa perencana keuangan menyebutnya sebagai shiny object syndrome. Sindrom distraksi ini semakin sulit kita hindari di zaman digital saat ini dan membuat kita sulit untuk fokus kepada rencana keuangan jangka panjang. Investasi berisiko tinggi dan volatilitas tinggi semakin menarik bagi investor muda yang ingin membangun kekayaan dengan cepat, dan dapat membuat metode pembangunan kekayaan jangka panjang yang lebih mapan seperti saham tampak membosankan.

Tak ada salahnya untuk berinvestasi aset kripto atau NFT, tetapi sangat berbahaya untuk memasukkan semua uang Anda ke dalam aset berisiko tersebut apalagi tanpa literasi yang cukup. Ketika menyangkut perencanaan keuangan, ini lebih tentang mempersiapkan yang terburuk daripada mengejar keuntungan tertinggi.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version