Menu
in ,

Stop Kereta Cepat, APBN 2022 Fokus Perlindungan Sosial

Pajak.com, JakartaEkonom Universitas Indonesia Faisal Basri meminta agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 fokus mendanai perluasan program perlindungan sosial (perlinsos), bukan untuk membangun kereta cepat Jakarta-Bandung. Pemerintah harus lebih selektif dalam menggunakan anggaran di tengah ketidakpastian akibat pandemi COVID-19.

Pemerintah fokus anggaran APBN untuk perlindungan sosial (perlinsos), hentikan kereta cepat, kita tidak mati ya karena itu. Pembangunan kereta cepat kabarnya mau pakai SILPA (sisa lebih pembiayaan anggaran). Gila enggak? SILPA mau dipakai kereta cepat, tapi 9 juta rakyat yang harusnya mendapat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dihapus oleh Bu Risma,” kata Faisal Basri dalam webinar Bincang APBN 2022, pada (18/10).

Sebagai informasi, Menteri Sosial Tri Rismaharini telah menghapus lebih dari 9 juta masyarakat miskin dari daftar penerima bantuan iuran (PBI) JKN tahun 2021. Kementerian Sosial (Kemensos) merilis bahwa 9 juta data yang dihapus karena terdiri dari data 434.835 orang meninggal, data ganda sebanyak 2.584.495, dan data mutasi sebanyak 833.624, dan data tidak sesuai lainnya.

Namun, Faisal tetap menilai, sebanyak 143 juta rakyat Indonesia masih berstatus rentan dan penuh kekhawatiran. Kelompok masyarakat ini memiliki pendapatan sekitar Rp 25 ribu sebelum pandemi dan semakin terpuruk setelah dilakukan beragam pembatasan mobilitas.

Selain itu, menurutnya, proyek yang dirasa kurang urgen lainnya adalah pembangunan lumbung pangan dan pemindahan ibu kota baru di Kalimantan.

“Enggak perlu uang dari pemerintah asal pemerintahnya sediakan lahan jalan itu, cuma nanam singkong. Negara hari begini bikin food estate menghasilkan singkong, kemahalan APBN-nya. Rakyat bisa bikin tidak pakai food estate,” ujarnya.

Faisal berharap, kementerian keuangan seharusnya bisa menjadi rem bagi seluruh kementerian/lembaga dan dapat memberi pandangan secara rasional mengenai kebijakan maupun anggaran kepada presiden.

“Kementerian keuangan bukan mengiyakan yang diinginkan para menteri dan presiden. Tunjukkan konsekuensinya. Seperti dulu Pak Budiono (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian periode 2005—2008) dan Bu Sri Mulyani berani mengatakan ‘tidak’ pada pembangunan monorel,” kata Faisal.

Menurut alumnus Universitas Vanderbilt Amerika Serikat ini, jika pemerintah tidak berpihak pada rakyat, maka proses pemulihan ekonomi nasional tidak akan membentuk pola huruf W, melainkan berpola huruf K. Artinya, pemulihan ekonomi tidak merata, sebagian masyarakat ada yang mengalami perbaikan ekonomi yang cepat dan sebagian lagi semakin terpuruk.

Faisal juga menilai bahwa target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen pada tahun 2022 yang dipatok pemerintah masih mementingkan sisi kuantitas. Padahal yang dibutuhkan saat ini adalah pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

“Target itu untuk permudah kementerian keuangan menaksir dapat pajak gitu ya, tax ratio, itu di sana. Prediksi pemulihan ekonomi tahun 2022 sebesar 5,2 persen hanya sebatas angka. Target yang dibuat pemerintah hanya untuk menyusun APBN pemerintah di tahun selanjutnya saja, misalnya pertahanan buat 1,5 persen dari PDB (produk domestik bruto), dan seterusnya,” ujarnya.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version