Menu
in ,

Startup Lakukan PHK Massal, Gejala Bubble Burst?

bubble burst

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Belakangan ini, terdapat sejumlah perusahaan rintisan atau startup asal Indonesia yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal kepada para karyawannya dalam waktu berdekatan. Publik pun menyebut industri rintisan tengah dihadang fenomena bubble burst.

Beberapa perusahaan rintisan itu yakni Zenius, platform edukasi yang mem-PHK sekitar 200 pekerja; LinkAja yang mengubah struktur organisasi sehingga harus mengurangi banyak karyawannya; serta rintisan TaniHub yang merumahkan pekerjanya akibat penghentian layanan business to consumer dan memfokuskan kepada business to business. 

Di sisi lain, jumlah startup di Indonesia semakin bertambah, sedangkan modal semakin menipis juga disinyalir menyulitkan kinerja keuangan di perusahaan-perusahaan rintisan itu. Biasanya, perusahaan rintisan teknologi terlalu agresif dalam berekspansi di awal, alhasil mereka terpaksa mengurangi karyawan yang sebelumnya mereka rekrut secara besar-besaran.

Konon, startup global seperti Vtex, Paypal, hingga Snap juga melakukannya. Dari laporan agregator layoff.fyi, terungkap bahwa startup di sektor teknologi ini memangkas total lebih dari 15 ribu pekerjanya di beberapa negara pada Mei lalu. Sejatinya, apa yang dimaksud dengan fenomena ledakan gelembung atau bubble burst?

Dikutip dari Investopedia, bubble burst adalah sebutan untuk pertumbuhan ekonomi, ditandai dengan meningkatnya nilai pasar secara cepat—terutama kelas aset—melebihi nilai fundamentalnya dengan margin yang besar. Alih-alih menjadi intrinsik, permintaan spekulatif lantas memicu harga melambung.

Akibatnya, keadaan itu memicu meletusnya gelembung atau bubble burst, dan terjadi aksi jual besar-besaran sehingga harga turun, bahkan dengan cukup dramatis. Di banyak kasus, gelembung spekulatif diikuti oleh kehancuran sekuritas. Selain itu, perilaku pasar yang tinggi juga menjadi penyebab bubble burst.

Fenomena bubble burst disebut-sebut juga memiliki dampak, karena terjadi setiap harga barang melonjak tinggi di atas nilai riil suatu barang. Peristiwa ini juga dikaitkan dengan perubahan perilaku investor meski hal ini masih bisa diperdebatkan.

Gelembung pasar ekuitas dan ekonomi dapat menyebabkan sumber daya berubah ke area yang pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Sehingga pada akhir gelembung, sumber daya dipindahkan lagi yang menyebabkan harga berkurang.

Kerusakan akibat bubble burst akan tergantung kepada sektor ekonomi yang terlibat dan tingkat partisipasi. Sepanjang sejarahnya, ada beberapa peristiwa yang diduga menjadi penyebab bubble burst. Misalnya, bubble burst pertama dikaitkan dengan kemerosotan jual-beli tulip di Belanda selama tahun 1634-1637 yang disebut Tulip Mania.

Pada saat itu, tingginya permintaan bunga tulip menyebabkan petani bereksperimen dengan spesies dan warna. Hal ini membuat tulip menjadi objek spekulasi. Tulip menjadi komoditas sangat berharga, sehingga orang benar-benar menggadaikan rumah mereka untuk membeli umbi bunga tulip, dengan harapan bunga-bunga itu dapat dijual kembali dengan harga lebih tinggi.

Namun, kepercayaan konsumen terkikis tiba-tiba. Saking banyaknya pedagang membuat tulip tidak berharga dan pasarnya pun rontok. Banyak yang menganggap fenomena ini menyebabkan penurunan ekonomi selama satu tahun di seluruh Belanda. Pada kasus lain, bubble burst pernah menyerang industri internet pada 1990-an.

Kejadian luar biasa ini dikenal juga dengan istilah dotcom bubble. Istilah ini juga bisa diartikan sebagai gelembung spekulasi yang muncul pada rentang 1998–2000. Pertumbuhan internet yang begitu pesat membuat banyak bursa saham di negara-negara industri naik tajam dari segi ekuitas. Kala itu, industri berbasis internet sekaligus bidang-bidang yang berkaitan juga mengalami pertumbuhan secepat kilat.

Namun, fenomena ini tidak serta-merta berbanding lurus dengan kesuksesan perusahaan-perusahaan rintisan digital. Karena terlalu bersemangat menggelontorkan dana besar secara serampangan, akibatnya perusahaan-perusahaan digital itu punya nilai pasar jauh di atas nilai mereka yang sesungguhnya. Akhirnya, banyak perusahaan yang sebelumnya sukses dengan cepat, kemudian hilang begitu saja.

Menyoroti peristiwa yang tengah viral di kalangan warganet ini, Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Fintech Indonesia Rudiantara mengatakan hal itu bukan menggambarkan kondisi bubble burst melainkan riak atau letupan kegagalan startup digital. Menurutnya, adalah sesuatu yang wajar apabila ada letupan-letupan di industri rintisan.

Sebagaimana bisnis pada umumnya, tidak semua perusahaan startup bisa sukses. Ia menyebut, ada sekitar 10 persen startup digital yang tidak bisa melewati tahun pertama, sedangkan 90 persen lainnya tidak bisa melewati 5 tahun selanjutnya.

Angka 10 persen yang berhasil melewati 5 tahun itu, sudah dianggap cukup bagus, karena jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 5-6 tahun yang lalu, yang angkanya mentok di 5 persen. Itu pun belum menjamin rintisan bisa melewati 5 tahun pertamanya bisa sukses.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version