SMF Usul Intervensi Kebijakan Sektor Perumahan Mengacu 4 Dimensi Sosio-Ekonomi
Pajak.com, Jakarta – PT Sarana Multigriya Finansial (Persero)/SMF menginisiasi Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Peran Sektor Perumahan sebagai pendorong Perekonomian dan Pengentasan Kemiskinan Nasional. Dalam acara tersebut, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan dibawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ini usul agar intervensi kebijakan sektor perumahan mengacu 4 dimensi sosio-ekonomi.
FGD yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kemenkeu, Kementerian PPN/Bappenas, perwakilan perbankan, BP Tapera, para pakar dan pengamat perumahan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi tantangan, merumuskan strategi, dan rekomendasi kebijakan terkait peran sektor perumahan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan untuk mendukung program pemerintah selanjutnya. Adapun FGD digelar di Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jakarta.
“SMF mengusulkan agar intervensi di sektor perumahan dapat berjalan efektif dan efisien dari sisi anggaran, intervensinya harus tersegmentasi berdasarkan 4 dimensi sosio-ekonomi, yaitu pertama, isu yang dihadapi, yaitu kelayakan hunian versus kepemilikan. Kedua, kemampuan ekonomi, miskin dan rentan versus masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) versus non-MBR. Ketiga, lokasi tinggal, perkotaan versus perdesaan non-pesisir versus perdesaan pesisir. Keempat, jenis pekerjaan, formal versus informal,” jelas Direktur Utama SMF Ananta Wiyogo dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (5/8).
Menurutnya, fokus utama intervensi pemerintah saat ini ada pada kelompok masyarakat miskin, rentan, dan masyarakat berhasilan rendah (MBR). Backlog kepemilikan dari ketiga kelompok tersebut sebesar 8,33 juta ruta dengan sebaran 6,38 juta di perkotaan, 1,19 juta di perdesaan pesisir, dan 0,75 juta di perdesaan non-pesisir. Sedangkan untuk isu kelayakan hunian dari ketiga kelompok tersebut berjumlah 19,81 juta ruta yang tersebar 9,32 juta di perkotaan, 6,84 juta di perdesaan pesisir, dan 3,66 juta perdesaan nonpesisir.
Terdapat 4 indikator dari kelayakan hunian, yaitu, akses air bersih, akses sanitasi layak, ketahanan bangunan, dan luas bangunan. Berdasarkan data Survei Sosio Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2023 yang diolah SMF mencatat bahwa sebanyak 26,92 juta rumah tangga Indonesia atau sekitar 36,85 persen masih tinggal di rumah tidak layak huni (RTLH). Sedangkan backlog kepemilikan mencapai angka 9,91 juta (13,56) rumah tangga.
Menurut Ananta, poin penting yang perlu diperhatikan adalah, terdapat irisan antara isu RTLH dan backlog kepemilikan, sehingga isu perumahan terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu masyarakat yang tinggal di hunian milik tidak layak sebanyak 22,43 juta rumah tangga (30,71 persen), masyarakat yang tinggal di hunian non milik tidak layak sebanyak 4.49 juta rumah tangga (6,15 persen), dan backlog kepemilikan 5,42 juta rumah tangga (7,42 persen). Sehingga jumlah rumah tangga Indonesia yang masih memiliki permasalahan perumahan mencapai angka 32,34 juta ruta (44.27 persen) pada tahun 2023.
“Untuk mendorong peran sektor perumahan dalam perekonomian nasional, pengentasan kemiskinan, dan menelesaikan isu perumahan, maka pemerintah perlu segera mengambil intervensi yang konkret, efektif, dan terfokus pada backlog kepemilikan dan kelayakan hunian di kelompok masyarakat miskin, rentan, dan berpenghasilan rendah melalui program FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) tapak/susun, rent to own tapak/susun, Kredit Bangun Rumah (KBR), rumah sosial, rumah sewa, bedah rumah, housing micro finance (HMF), Kredit Renovasi Rumah (KRR), dan program lainnya dengan memperhatikan tiga dimensi sosio ekonomi lainnya, yaitu lokasi, penghasilan, dan jenis pekerjaan, sehingga intervensi yang diimplementasikan juga efisien dari sisi anggaran.” jelas Ananta.
Kontribusi Sektor Perumahan Terhadap Sosio-Ekonomi
Berdasarkan simulasi dampak sosio-ekonomi yang dilakukan SMF, dalam 5 tahun ke depan diperkirakan sektor perumahan dapat berkontribusi pada peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga sebesar Rp 1.628 triliun dan berkontribusi dalam mengurangi angka kemiskinan sebanyak 5,23 juta orang (20,2 persen).
“Hasil kajian PT SMF bersama DTS Indonesia tahun 2023, menunjukkan bahwa untuk setiap Rp 1 triliun yang diinvestasikan pada sektor perumahan, dapat meningkatkan PDB sekitar Rp 1,9 triliun, pengurangan kemiskinan hingga 6.107 orang, dan berdampak pada 185 sektor lainnya, termasuk di dalamnya sektor pendidikan dan kesehatan, dua sektor penting dalam peningkatan kualitas SDM (sumber daya manusia) dan pengentasan stunting,” ungkap Ananta.
Untuk dapat mewujudkan dampak ekonomi dan sosial tersebut, ekosistem pembiayaan perumahan perlu mengorkestrasi strategi yang tersedia dari berbagai pemangku kepentingan dalam menyelesaikan permasalahan perumahan secara komprehensif. Selain itu, ekosistem pembiayaan perumahan juga perlu membuat masterplan perumahan yang mendorong kolaborasi dan sinergi para pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), lembaga swadaya masyarakat (LSM), publik, masyarakat dan pihak lainnya yang menjadi satu kesatuan dalam ekosistem perumahan.
“Terakhir, mengoptimalkan penggunaan APBN (Anggaran Pendapatan dan belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), serta melibatkan pendanaan yang bersumber dari pasar modal, dana CSR, hibah, lembaga donor, dan sumber pendanaan lainnya dalam merealisasikan inisiatif untuk mengatasi masalah sektor perumahan, mengentaskan kemiskinan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan,” imbuh Ananta.
Comments