in ,

Perjalanan Kripto dari Transaksi Pizza hingga Jadi Sorotan Pemerintah Global

Kripto Pizza
FOTO: IST

Perjalanan Kripto dari Transaksi Pizza hingga Jadi Sorotan Pemerintah Global

Pajak.com, Jakarta – Tax Compliance and Audit Advisor TaxPrime Januar Ponco menyoroti fenomena kripto yang menarik perhatian masyarakat dunia. Ia menilai, kripto seperti barang elektronik yang intangible, yang tidak dapat dilihat atau disentuh, namun memiliki daya tarik yang kuat.

Popularitas kripto mulai melonjak sejak peristiwa ikonik pembelian pizza menggunakan Bitcoin pertama di dunia, yaitu sebanyak 10 ribu Bitcoin pada 22 Mei tahun 2010. Sejak saat itu, setiap tanggal 22 Mei, dikenang sebagai Bitcoin Pizza Day, sebuah momen penting dalam sejarah kripto.

“Pada kenyataannya, kripto ini sangat menarik perhatian dari banyak orang di dunia. Itu terbukti dari awalnya tahun 2008, dulu itu waktu pertama kali ada kripto itu, ada transaksi orang beli pizza dengan harga 10 ribu Bitcoin pada tahun 2010,” kata Ponco kepada Pajak.com, dikutip pada Sabtu (30/11).

Baca Juga  PLN Pastikan Pelanggan Listrik 2.200 VA ke Bawah akan Menikmati Diskon 50 Persen Tanpa Ribet

Menurut Ponco, kripto pada dasarnya lahir dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap nilai mata uang konvensional yang ada saat ini. Ponco menjelaskan bahwa, awalnya masyarakat menganggap uang yang kita gunakan sehari-hari hanyalah kertas yang diberi label nilai tertentu, seperti 100 dollar Amerika Serikat (AS) atau Rp 100 ribu.

“Tapi intinya bahwa kripto itu adalah tadinya mau diciptakan sebagai alat tukar alternatif yang menggantikan uang,” jelas Ponco.

Keraguan atas nilai intrinsik uang ini memicu sebagian orang untuk menciptakan mata uang digital yang berbasis blockchain. Teknologi blockchain ini memungkinkan kripto menjadi alternatif alat tukar yang mandiri, tanpa kontrol dari bank sentral atau pemerintah, sehingga menarik perhatian banyak pihak.

Baca Juga  Indeks Kepercayaan Industri per Desember 2024 Turun Imbas Kebijak

Seiring perkembangan waktu, kripto tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar, namun juga berkembang menjadi aset investasi. Proses jual beli aset kripto di pasar global menciptakan mekanisme pasar yang khas, di mana harga akan naik ketika permintaan tinggi dan pasokan terbatas.

Ponco menjelaskan, bahwa fluktuasi harga yang ekstrem ini sering kali disebut sebagai “bubble” dalam dunia investasi, yang kemudian dapat “pecah” dan menyebabkan harga turun drastis. Ketika harga menurun, banyak orang akan menjual aset kripto mereka, menyebabkan pasokan meningkat dan harga terus jatuh.

“Kalau di dalam investasi itu istilahnya bubble. Kalau Bubble itu pecah, harganya turun,” ungkapnya.

Nilai pasar aset kripto yang terus bertumbuh, memunculkan berbagai tantangan bagi pemerintah di seluruh dunia. Pada tahun 2022, volume transaksi aset kripto secara global tercatat mencapai 42,7 triliun dollar AS. Angka yang sangat besar ini memancing perhatian pemerintah, yang mulai khawatir akan dampaknya terhadap stabilitas nilai tukar konvensional yang ada di pasar.

Baca Juga  Sri Mulyani Optimistis Indonesia Bisa Jadi Pemain Penting di Tengah Ketegangan Geopolitik

Ponco pun mengingatkan, bahwa jika terlalu banyak dana berpindah ke aset kripto, maka stabilitas uang di pasar konvensional dapat terganggu. “Jadi segitu besarnya marketnya kripto pasti akan membuat government manapun akan melirik, memperhatikan ada apa nih? Karena kan kalau pertanyaannya untuk apa pemerintah itu memikirkan kayak gitu ya, kan banyak implikasinya kalau uang semua lari ke sana nanti uang yang ada di pasar nanti gimana? Kira-kira pikiran pemerintah begitu,” pungkasnya.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *