Menu
in ,

Neraca Perdagangan Nasional Surplus $ 2,9 M

Neraca Perdagangan Nasional Surplus

FOTO: KLI Kemenkeu 

Pajak.com, Jakarta – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan, neraca perdagangan Indonesia masih mencatatkan kinerja positif pada Mei 2022. Neraca Perdagangan Nasional surplus 2,9 miliar dollar AS, meskipun laju inflasi global dan kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed. Kepala BKF Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu mengungkapkan, The Fed resmi mengerek suku bunga acuan sebesar 0,75 persen, yang merupakan kenaikan suku bunga The Fed terbesar sejak 1994. Dengan demikian, kenaikan suku bunga The Fed itu akan menjadi bagian dari risiko global yang dapat memengaruhi kinerja perdagangan nasional.

Sekilas mengulas, apa itu neraca perdagangan? Neraca perdagangan adalah selisih antara nilai ekspor dan nilai impor suatu negara dalam suatu periode tertentu. Ketika nilai ekspor lebih besar dari nilai impor disebut sebagai surplus perdagangan. Sementara, apabila nilai impor lebih besar dari nilai ekspor, maka disebut defisit perdagangan.

“Tingginya surplus neraca perdagangan Indonesia, dipengaruhi dengan relaksasi kebijakan pelarangan ekspor CPO (Crude Palm Oil) sejak 23 Mei 2022 seiring stabilnya harga minyak goreng dalam negeri. Ini diperkirakan akan meningkatkan kembali kinerja ekspor dan akan menjadi salah satu pendorong kinerja pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) kuartal II-2022. Pelonggaran restriksi mobilitas di Tiongkok, juga diharapkan dapat meningkatkan kembali kinerja ekspor ke Tiongkok meskipun pemulihan aktivitas di negara tersebut masih membutuhkan waktu. Dengan berbagai faktor, pemerintah optimistis kinerja perdagangan akan semakin menguat, meningkatkan posisi keseimbangan eksternal dan terus mendorong penguatan pemulihan ekonomi nasional,” ujar Febrio dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com(17/6).

Ia memerinci, kinerja ekspor Indonesia pada Mei 2022 tercatat senilai 21,51 miliar dollar AS atau tumbuh 27 persen dibandingkan tahun lalu. Adapun ekspor minyak dan gas (migas) mampu tumbuh 35,9 persen, sementara ekspor nonmigas mengalami pertumbuhan 36,4 persen. Dari sisi produksi, kinerja ekspor pertambangan tumbuh paling tinggi yakni 114,2 persen, sedangkan ekspor pertanian tumbuh 20,32 persen dan manufaktur tumbuh 7,78 persen.

“Kenaikan harga komoditas global yang terjadi saat ini berdampak pada kinerja ekspor terutama komoditas energi, mineral dan logam. Kinerja impor juga masih mencatatkan pertumbuhan 30,74 persen, meski secara bulanan pada Mei 2022 terjadi perlambatan 5,81 persen. Perlambatan secara bulanan terutama terkait dengan gangguan rantai pasok global, yakni akibat kebijakan lockdown ketat di Tiongkok,” ungkap Febrio.

Hal senada juga terjadi pada kinerja impor yang masih mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 30,74 persen. Meskipun secara bulanan, kinerja impor mengalami perlambatan di bulan Mei 2022 sebesar -5,81 persen. Hal ini sejalan dengan pergerakan indikator purchasing managers index (PMI) manufaktur yang melambat, meski masih dalam zona ekspansif, terutama terkait dengan gangguan rantai pasok global.

“Kebijakan lockdown ketat di Tiongkok, membuat rantai pasok terganggu. Secara tahunan impor migas tumbuh 62,64 persen dan impor nonmigas tumbuh 25,33 persen. Komoditas yang masih mendorong peningkatan impor Mei 2022 antara lain, gula dan kembang gula, bahan bakar mineral, dan daging hewani. Sementara itu, impor bahan baku tumbuh 33,95 persen, barang modal 29,18 persen, dan barang konsumsi 7,83 persen,” urai Febrio.

Ia menilai, pertumbuhan impor barang modal dan bahan baku menunjukan masih kuatnya permintaan dalam negeri seiring masih berlanjutnya ekspansi aktivitas industri. Sementara itu, pertumbuhan konsumsi yang tumbuh lebih tinggi di bulan Mei 2022 jika dibandingkan April 2022 mengindikasikan semakin kuatnya pemulihan daya beli masyarakat.

Kendati demikian, pemerintah akan terus memonitor dan mewaspadai berbagai potensi risiko global yang berdampak pada kinerja perdagangan Indonesia, khususnya perkembangan terakhir terkait dinamika inflasi di AS serta respons lebih agresif dari The Fed.

“Perdagangan menghadapi tantangan yang besar dari dinamika perekonomian global, yang bergerak dinamis baik karena pandemi COVID-19 maupun efek perang Rusia dan Ukraina. Kebijakan The Fed dapat memengaruhi kinerja perdagangan sehingga perlu mendapatkan perhatian. The Fed resmi mengerek suku bunga acuan mereka 0,75 persen. Kenaikan suku bunga The Fed menjadi yang terbesar sejak 1994. Kenaikan suku bunga acuan ini dalam jumlah besar ini sekaligus menjadi langkah agresif The Fed untuk menahan inflasi di Amerika Serikat yang terus mendaki di luar perkirakan,” jelas Febrio.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version