in ,

Indonesia Diproyeksi Bakal Kehilangan Penerimaan Negara Rp 203,50 Triliun Jika Tidak Ada Produksi Migas

Indonesia Kehilangan Penerimaan Negara
FOTO: IST

Indonesia Diproyeksi Bakal Kehilangan Penerimaan Negara Rp 203,50 Triliun Jika Tidak Ada Produksi Migas

Pajak.com, Jakarta – Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi risiko kehilangan penerimaan negara yang signifikan, yaitu sebesar Rp 203,50 triliun, jika sektor minyak dan gas bumi (migas) berhenti berproduksi pada 2050 mendatang.

Menurut proyeksi ReforMiner Institute, tanpa adanya produksi migas, Produk Domestik Bruto (PDB) nasional diperkirakan akan berkurang sekitar Rp 413,25 triliun. Komaidi menjelaskan bahwa hal ini disebabkan oleh ketergantungan Indonesia pada sektor migas, baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor.

Tidak hanya itu, hilangnya produksi migas juga akan berdampak pada investasi nasional. Diperkirakan akan terjadi penurunan investasi sebesar Rp 208,64 triliun, yang bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Selain potensi penurunan PDB, penerimaan negara, dan investasi, Indonesia juga diperkirakan akan menghadapi peningkatan kebutuhan devisa impor. Berdasarkan estimasi dari Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kebutuhan devisa impor bisa melonjak hingga Rp 3.924,36 triliun pada tahun 2050 jika tidak ada produksi migas. Angka ini bahkan lebih tinggi berdasarkan data Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yaitu mencapai Rp 2.484,8 triliun per tahun.

Baca Juga  Pemerintah Bakal Tarik Pinjaman dari Luar Negeri Rp 128 Triliun d

“Sekitar 40 persen cadangan devisa kita setiap tahun digunakan untuk impor minyak dan gas. Karena itu, sering kali Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), kalau rupiahnya melemah, yang ditelepon pertama adalah Dirut Pertamina, jangan banyak-banyak dong butuhnya, gitu (untuk membatasi kebutuhan impor demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah),” kata Komaidi dalam Executive Forum yang digelar oleh Kementerian Investasi/BKPM, Senin (18/11).

Dalam konteks konsumsi energi, ia menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen di Asia Pasifik dan Afrika biasanya diikuti oleh peningkatan konsumsi energi sebesar 1,5-2 persen. Artinya, di Indonesia, dengan target pertumbuhan ekonomi mencapai 8 persen, kebutuhan energi diperkirakan akan meningkat antara 15-20 persen.

Baca Juga  Pemerintah Antisipasi Lonjakan Konsumsi BBM dan Listrik Saat Libur Tahun Baru 2025

“Artinya, kalau Indonesia targetnya 8 persen, paling tidak antara 15-20 persen yang diperlukan, gitu. Sampai 18 persen energinya. Nah, ini kan luar biasa, begitu,” imbuhnya.

“Dengan efisiensi energi yang belum seperti Eropa dan Amerika Serikat (AS), aturan mainnya kira-kira begini, 1 persen pertumbuhan ekonomi itu butuh daya pendukung pertumbuhan konsumsi energi sebesar 1,5-2 persen,” jelasnya.

Lebih lanjut, penggunaan energi baru terbarukan (EBT) tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran migas dalam waktu dekat. Tantangan seperti kapasitas yang terbatas, masalah intermittent (ketidakstabilan pasokan), dan kebijakan harga masih menjadi hambatan utama dalam transisi menuju EBT.

Menurutnya, sekitar 80 persen dari energi terbarukan yang ada saat ini diarahkan untuk sektor listrik, yang membutuhkan dukungan kebijakan yang lebih kuat.

Baca Juga  Layanan Pertanahan 2024 Capai 8 Juta Berkas, PNBP Tembus Rp 2,9 Triliun

“Sementara, sekitar 80 persen energi baru terbarukan rata-rata ujungnya ke listriknya. Jadi ini yang saya kira mapping-nya kira-kira demikian,” jelasnya.

Untuk diketahui, Indonesia tengah bertransformasi menuju masa depan yang lebih hijau dengan target net zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Pengurangan emisi menuju NZE 2060 ditargetkan mencapai 93 persen dari skenario Business as Usual (BaU).

Target tersebut akan dicapai dengan memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan serta menerapkan program efisiensi energi.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *