Menu
in ,

Green Energy dan Tingginya Biaya Energi Panas Bumi

Green Energy dan Tingginya Biaya Energi Panas Bumi

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Pada pertemuan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP 21) – United Nations Climate Change Conference (UNFCCC) Paris akhir 2015 lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen pada tahun 2030 mendatang. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pengembangan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (green energy), di antaranya pengembangan energi panas bumi (geothermal). Namun, pengembangan panas bumi di dalam negeri masih terganjal dengan tingginya biaya yang diperlukan.

Energi panas bumi adalah sumber energi yang relatif ramah lingkungan (green energy) karena berasal dari panas dalam bumi. Air yang dipompa ke dalam bumi oleh manusia atau sebab-sebab alami (hujan) dikumpulkan ke permukaan bumi dalam bentuk uap, yang bisa digunakan untuk menggerakkan turbin-turbin untuk memproduksi listrik. Memang, biaya eksplorasi dan juga biaya modal pembangkit listrik geotermal lebih tinggi dibandingkan pembangkit-pembangkit listrik lain yang menggunakan bahan bakar fosil. Namun, setelah mulai beroperasi, sebenarnya biaya produksinya rendah dibandingkan dengan pembangkit-pembangkit listrik berbahan bakar fosil.

Mengutip data Jakarta Drilling Society, untuk mengembangkan potensi panas bumi di Indonesia, diperlukan 4 juta dollar AS–5 juta dollar AS agar bisa mendapatkan 1 megawatt (MW) listrik.

Vice Chairman Jakarta Drilling Society Ashadi membeberkan, dari estimasi jumlah nilai investasi yang diperlukan untuk pengembangan energi panas bumi itu, pengeboran atau drilling adalah proses yang paling banyak menelan biaya. Biaya untuk tahapan drilling mencapai 40 persen dari total investasi yang diperlukan.

Menurut Ashadi, sebelumnya bahkan biaya untuk menghasilkan 10 MW kurang lebih memerlukan investasi 40 juta dollar AS. Namun dengan adanya economic of skill maka cost of manufacturing jadi lebih murah.

“Yang tadinya 4 juta dollar AS–5 juta dollar AS bisa ditekan menjadi 3 juta dolla AS–4 juta dollar AS per MW,” katanya pada rekaman video media training dikutip Minggu (27/9/2021).

Chairman Jakarta Drilling Society Yudi Hartono menambahkan, perkiraan rentang biaya drilling cost berkisar antara 30–60 persen dari kebutuhan biaya keseluruhan proyek panas bumi. Menurutnya, biaya itu mencapai 60.000 dollar AS–80.000 dollar AS per hari.

“Biaya pengeboran di setiap lapangan panas bumi bisa mencapai 1,8 juta dollar AS–11 juta dollar AS,” terangnya.

Alhasil, tingginya budget untuk pengembangan energi panas bumi itu membuat pemerintah menggelontorkan sejumlah insentif untuk mempercepat investasi pada industri berbasis energi baru terbarukan (EBT) ini. Salah satunya, yakni government drilling, yakni suatu program yang diharapkan mampu mengurangi risiko hulu pengeboran. Langkah itu diharapkan dapat menarik minat investor mengembangkan energi panas bumi.

Sebagai informasi, sekitar 40 persen cadangan energi geothermal dunia terletak di Indonesia. Angka itu menempatkan Indonesia pada posisi second largest atau terbesar kedua dunia setelah AS dari sisi cadangan geothermal. Berdasarkan catatan Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per Desember 2020, sumber daya panas bumi Indonesia mencapai sebesar 23.965,5 MW atau sekitar 24 giga watt (GW). Sayangnya, besarnya cadangan panas bumi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini bisa dilihat dari kapasitas terpasang PLTP di Indonesia. Hingga 2020, kapasitas terpasang PLTP Indonesia baru mencapai 2.130,7 MW. Artinya, pemanfaatannya baru 8,9 persen dari sumber daya yang ada.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version