Menu
in ,

Bappenas: Cukai Rokok Harus Naik

Pajak.com, Jakarta – Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Pungkas Bajuri mengatakan, untuk menurunkan prevalensi perokok pihaknya telah melakukan berbagai kajian, salah satunya dengan menaikkan tarif cukai tembakau. Kajian ini sejatinya telah dituangkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024.

Namun Pungkas (Bappenas) memastikan, kenaikan tarif cukai tembakau bukan bertujuan untuk mematikan industri rokok. Melalui RPJMN pemerintah berkeinginan dapat menurunkan prevalensi perokok di Indonesia, terutama untuk kalangan anak-anak usia 10-18 tahun dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen di 2024.

“Fokus utama RPJM menurunkan jumlah perokok utamanya anak-anak. Karena ini juga merupakan arahan Presiden Jokowi dan sudah masuk dalam kesepakatan bersama, maka harus dilaksanakan. Saya kira tidak ada yang tidak setuju bahwa rokok itu berbahaya. Oleh karena itu, ini seharusnya bisa menjadi panduan seluruh sektor,” jelasnya dalam webinar bertajuk Menakar Kembali Pentingnya Cukai Rokok bagi Ekonomi-Kesehatan Indonesia, pada (12/8).

Dengan demikian, yang perlu terus didiskusikan adalah mengenai berapa besaran tarif kenaikan pada setiap tahunnya. Sebab, tarif yang ditetapkan harus berdasarkan kesepakatan oleh banyak pihak, terlebih setiap kementerian dan lembaga (K/L) memiliki tugas dan fungsi yang berbeda. Misalnya antara kementerian kesehatan dengan kementerian keuangan.

“Saya kira akan lebih mudah untuk mendapatkan satu kesepakatan apabila kita berpikirnya lebih makro, ekonomi kita secara nasional. Kalau kita bicara per K/L ini memang masalah yang pelik. Intinya, kebijakan kenaikan tarif cukai sangat efektif untuk menurunkan prevalensi rokok, tapi tidak serta-merta menurunkan produksi rokok,” kata Pungkas.

Oleh karena itu, pemerintah akan mengambil kebijakan berdasarkan dialog dan berupaya menganalisis pelbagai aspek. Mulai dari aspek petani, industri hingga kesehatan.

“Memang tidak mudah. Ke petani, ingin tembakaunya laku. Ke industri rokok, ingin industrinya maju. Kementerian Kesehatan ingin prevalensi perokok turun,” tambahnya.

Bappenas pun telah melakukan kajian untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan itu. Pertama, cukai tembakau atau rokok harus naik, tapi teknisnya harus disimplifikasi. Kedua, harus diubah pemanfaatan hasil dari cukai. Misalnya, dengan memberikan bantuan kepada industri rokok hingga petani tembakau.

“Jadi kenaikan cukai, penyederhanaan tarif bisa milis dengan baik, milis yang dimaksud adalah cukai bertahap, tarif dihitung bertahap, dan simplifikasi dihitung baik. Dengan skenario itu sebenarnya kita bisa bantu petani, uang ketika cukai naik, revenue naik, uangnya sebagian untuk industri dan sebagian untuk petani. Jadi ini bagaimana membantu mereka, karena petani hanya ingin sejahtera,” ungkap Pungkas.

Di kesempatan yang sama, Direktur Sumber Daya Manusia Universitas Indonesia Abdillah Ahsan menyarankan agar pemerintah menaikkan tarif cukai di atas 20 persen. Kenaikan yang tinggi perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat prevalensi perokok saat ini.

“Naikkan cukai rokok di atas 20 persen lalu memberlakukan simplifikasi sampai dua golongan, saya yakin Pemerintah Indonesia akan merasakan keuntungannya, baik dari sisi berkurangnya beban ekonomi kesehatan akibat konsumsi rokok, juga dari sisi solusi krisis ekonomi di masa pandemi saat ini,” tegasnya.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani mengatakan, Kemenkeu telah menetapkan kebijakan tarif cukai hasil tembakau tahun 2021. Tarif cukai rokok naik 12,5 persen mulai 1 Februari 2021. Namun, untuk tahun 2022 pihaknya masih melakukan pembahasan, terkait aspek kesehatan, tenaga kerja, industri, dan penerimaan negara.

“Hal tersebut harus di-review dan dipersiapkan dulu oleh pemerintah. Berbagai aspek perlu dikaji secara mendalam, sejalan dengan kondisi aktual penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi secara berkelanjutan,” kata Askolani.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version