Menu
in ,

AS Resesi, Menkeu Beberkan Dampak Bagi Indonesia

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, secara analisis teknikal, Amerika Serikat (AS) sudah masuk ke dalam jurang resesi karena dua kuartal berturut-turut di 2022 mengalami kontraksi. Pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal II-2022 tercatat minus 0,9 persen, sementara kuartal I-2022 juga minus 1,6 persen. Sri Mulyani pun membeberkan dua dampak resesi AS terhadap Indonesia.

Sebelumnya, apa itu resesi? Menurut National Bureaus of Economic Research (NBER) AS, resesi adalah penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh ekonomi, berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam Produk Domestik Bruto (PDB) riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir-eceran. Pengertian yang lebih sederhana dan lazim digunakan adalah teori dari Julius Shiskin pada tahun 1974, yang menyatakan resesi adalah penurunan PDB selama dua kuartal berturut-turut.

Adapun dampak resesi AS bagi Indonesia, yaitu pertama, perlu diketahui bahwa AS merupakan mitra dagang Indonesia. Bila AS mengalami pelemahan ekonomi, permintaan terhadap ekspor Indonesia juga bisa menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam ini tercatat sebesar 2,6 miliar dollar AS di 2021. Sementara, nilai impor Indonesia dari AS sebesar 944,8 juta dollar AS. Maka, di 2021 Indonesia cetak surplus neraca perdagangan dengan AS sebesar 1,7 miliar dollar AS.

“Pagi ini (29 Juli 2022), jika Anda membaca berita, AS negative growth kuartal II-2022, technically masuk resesi. RRT (Republik Rakyat Tiongkok) seminggu yang lalu keluar dengan growth kuartal kedua yang nyaris nol. Apa hubungannya dengan kita lagi? AS, RRT, Eropa adalah negara tujuan ekspor Indonesia. Jadi kalau mereka melemah, permintaan terhadap ekspor turun, harga komoditas juga turun,” ungkap Sri Mulyani, Dies Natalis Ke-7 PKN STAN, yang digelar secara virtual (29/7).

Sebagai informasi, RRT juga telah merilis pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2022 yang menurun ke 0,4 persen dari pertumbuhan pada kuartal I-2022 di 2,5 persen.

Kedua, inflasi di AS membuat otoritas moneter di berbagai negara melakukan respons kebijakan, yakni mengetatkan likuiditas dan meningkatkan suku bunga. Hal ini menyebabkan arus modal AS keluar dari pelbagai negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) hingga 21 Juli 2022, aksi jual investor asing menembus Rp 138,60 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Kepemilikan asing dalam SBN juga sudah menurun dari 38,5 persen pada 2019 menjadi hanya 15,39 persen per Juli 2022

“Kalau seandainya kenaikan suku bunga dan likuiditas cukup kencang, maka pelemahan ekonomi global pasti terjadi,” kata Sri Mulyani.

Secara simultan, kondisi geopolitik Rusia-Ukraina turut memperparah gejolak harga komoditas di seluruh dunia, mengingat kedua negara itu merupakan produsen terbesar energi dan pangan di dunia.

“Perangnya di Eropa, tapi dampaknya ke seluruh dunia. Krisis pangan, energi terjadi. Karena Rusia produsen energi yang termasuk terbesar di dunia. Maka inflasi yang muncul karena pemulihan ekonomi tidak diikuti supply, ditambah disrupsi perang, dunia tidak baik-baik saja. Inflasi di berbagai negara melonjak tinggi,” kata Sri Mulyani.

Di sisi lain, ia memastikan, kondisi Indonesia masih cukup kuat, tecermin dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang surplus Rp 73,6 triliun per Juni 2022. Realisasi penerimaan pajak di semester I-2022 (Januari-Juni) tercatat sebesar Rp 868,3 triliun atau mencapai 58,5 persen dari target Rp 1.485 triliun yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2022. Realisasi penerimaan pajak ini tumbuh 55,7 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Laju inflasi di tanah air pun masih cukup terjaga, yakni di level 4,35 persen hingga Juni 2022, jauh lebih rendah dibandingkan banyak negara lain yang inflasinya melambung hingga di atas 50 persen. Kendati demikian, Sri Mulyani memastikan, pemerintah akan tetap waspada terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi.

“Kita tidak jemawa. Kita tahu situasi masih akan sangat cair dan dinamis. Berbagai kemungkinan terjadi dengan kenaikan suku bunga, capital outflow terjadi di seluruh negara berkembang dan emerging termasuk Indonesia dan itu bisa memengaruhi nilai tukar suku bunga dan bahkan inflasi di Indonesia,” tambahnya.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version