Menu
in ,

Ada 4 Faktor Tekanan Tambahan pada Inflasi Domestik

Pajak.com, Jakarta – Lonjakan harga komoditas yang terjadi belakangan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa inflasi domestik yang sempat berada pada level terendah dalam dua tahun terakhir, akan segera meningkat seperti yang terjadi di beberapa negara saat ini. Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky memproyeksikan, setidaknya ada empat faktor yang akan memberikan tekanan tambahan pada inflasi domestik ke depan.

Pertama, dari sisi cost-push inflation, tekanan semakin meningkat seiring dengan tren kenaikan inflasi Indeks Harga Produsen (IHP) sejak awal tahun lalu, yang jauh melebihi tren inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) yang relatif stagnan. Riefky mengungkapkan, data terakhir mencatat inflasi IHP tumbuh 8,77 persen (yoy) pada triwulan-IV 2021, lebih tinggi dibandingkan dengan 7,25 persen (yoy) pada triwulan-III 2021, dan jauh lebih tinggi dari inflasi IHK yang saat ini tercatat sebesar 2,64 persen pada Maret 2022.

Riefky menilai, meskipun pada dasarnya kedua indeks tersebut dibangun dari keranjang barang dan jasa yang berbeda, tetapi jika harga produsen naik tajam maka hal ini akan diikuti oleh lonjakan tingkat inflasi di tingkat konsumen dan sebaliknya.

“Secara garis besar, produsen saat ini dihadapkan pada kenaikan biaya input akibat kenaikan tajam harga komoditas global, yang akan dibebankan kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi,” kata Riefky melalui keterangan pers yang diterima Pajak.com, Jumat (06/5).

Kedua, adanya demand-pull inflation masih akan berlanjut seiring meningkatnya permintaan domestik, terkait pelonggaran pembatasan COVID-19 dan tren musiman perayaan Ramadan dan Idulfitri.

Ketiga, penghapusan kebijakan kontrol harga pada beberapa komoditas sebagai akibat dari lonjakan berkelanjutan harga komoditas dan energi global, yang diperburuk oleh invasi Rusia ke Ukraina. Ia berpandangan hal ini akan memicu tingkat harga domestik agregat melonjak mengikuti mekanisme pasar.

Keempat, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen yang mulai berlaku pada bulan April 2022. Namun, Riefky meyakini dampak kenaikan tarif PPN terhadap inflasi akan terbatas.

Mempertimbangkan keempat faktor tersebut, Riefky meminta agar pemerintah memantau secara ketat semua ancaman inflasi di bulan-bulan mendatang. Pasalnya, jika didiamkan hal ini akan mengganggu upaya kemajuan pemulihan ekonomi dan menggerus daya beli masyarakat—terutama masyarakat rentan.

“Akhir-akhir ini, adanya kenaikan harga komoditas yang mengganggu pemulihan ekonomi global; memberikan dampak ke pelaku usaha dan rumah tangga rentan, serta memicu kekhawatiran bahwa inflasi global akan berlangsung lebih lama, dengan konsekuensi yang luas diproyeksikan terjadi di banyak negara,” jelasnya.

Di samping itu, ia juga mengemukakan pentingnya menjangkar ekspektasi inflasi jangka panjang untuk memiliki inflasi yang terkendali. seperti yang dilakukan Bank Indonesia (BI) dengan menjangkar ekspektasi inflasi pada target inflasinya.

Menurutnya, jika ekspektasi inflasi jangka panjang terjangkar dengan baik, maka ekspektasi jangka panjang seharusnya tidak bereaksi terhadap ekspektasi jangka pendek. Karena, guncangan yang memengaruhi ekspektasi jangka pendek seharusnya tidak memengaruhi ekspektasi dalam jangka panjang. Maka dari itu, Riefky menilai penting bagi BI untuk terus mengomunikasikan secara luas kerangka kebijakan kepada publik.

Selain itu, mempertimbangkan reli harga energi dan komoditas yang tampaknya tidak akan berhenti dalam waktu dekat, Riefky memandang agar BI dapat merevisi perkiraan inflasi untuk tahun fiskal 2022 dan tahun fiskal 2023 ke atas.

“Agar masyarakat menggunakannya sebagai tolak ukur kegiatan ekonomi mereka, seperti pelaku usaha menetapkan harga yang tepat dan rumah tangga merencanakan pengeluarannya dengan lebih baik, mencegah inflasi agar tidak spiral,” imbuhnya.

Menyoal seberapa banyak penyesuaian yang perlu diputuskan, ia menggiring BI agar menggunakan koordinasi kebijakan yang luas dengan otoritas fiskal. Pasalnya, besaran subsidi yang diberikan, khususnya subsidi BBM akan berimplikasi pada inflasi.

“Dengan demikian, dialog reguler tentang waktu yang tepat untuk penyesuaian harga yang diatur, dapat mengurangi tekanan inflasi dan membantu BI memperkirakan inflasi,” tutupnya.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version