in ,

Kontroversi Meroketnya Transaksi dan Pengenaan Pajak E-Commerce

Pajak bukanlah hal asing lagi di telinga masyarakat bernegara, sebab sejak dikatakan merdeka, negara berhak memberikan regulasi pajak kepada warganya. Meskipun tidak bersifat wajib bagi beberapa negara, pajak berperan sangat penting bagi pengembangan negara, terutama Indonesia. Sejumlah 70% dari pendapatan negara Indonesia bersumber dari pajak, dimana artinya jumlah tersebut akan sangat berbahaya ketika negara dihadapkan dalam masalah besar seperti pandemi Covid-19.

Dilansir dari data realisasi APBN Kemenkeu tahun 2020, terjadi penyusutan sebesar 19,6% atas realisasi penerimaan pajak dibandingkan tahun 2019. Sementara itu, realisasi pendapatan negara di awal pandemi terpantau turun 15,9%  atau sejumlah Rp 312,8 Triliun. Penerimaan terbanyak di tahun tersebut berasal dari PNBP yang berjumlah Rp 111,2 Triliun. Padahal, pengeluaran negara selama pandemi jauh lebih besar hingga menyebabkan naiknya defisit anggaran 6,1% dari PDB yang digunakan untuk penanganan wabah Covid-19 serta pemulihan ekonomi yang membutuhkan biaya besar sebab adanya pembatasan aktivitas sosial.

Shortfall senilai Rp 1.072,1 Triliun yang terjadi merupakan kontraksi atas realisasi Pajak Penghasilan (PPh) senilai Rp 594 Triliun, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM) sebesar Rp 450,3 Triliun. Menyusutnya angka PPh disebabkan adanya perlambatan profitabilitas badan usaha, potongan angsuran dari 30% menjadi 50%, serta penurunan tarif PPh badan dari 25% menjadi 22%. Sementara di sektor PPN dan PPnBM, berkurangnya minat konsumsi negeri atas adanya pembatasan sosial dan dipercepatnya insenif restitusi memberikan efek yang besar bagi jalannya perekonomian negeri. Berdasarkan data terbaru Kemenkeu 2021, masih terjadi kontraksi senilai 0,74% di kuartal I 2021. Lalu pertanyaannya adalah kebijakan fiskal apakah yang mampu mempercepat pemulihan ekonomi negeri akibat pandemi?

Tidak disangka, potensi solusi besar datang dari transaksi perekonomian e-commerce kuartal I 2021. BI mencatat adanya pemasukan yang sangat pesat senilai 63,36% atau Rp 186,75 Triliun. Penggunaan e-commerce yang mulai diterima di seluruh kalangan generasi menimbulkan sebuah kebudayaan belanja baru yang diprediksi akan terus naik. Padahal, BI memperkirakan total transaksi di akhir tahun 2021 hanya akan bertumbuh sekitar 39,1% yoy atau Rp 307 Triliun, lebih tinggi dari ramalan tahun sebelumnya yang bernilai 33,2%. Target tersebut sangat mungkin diraih ketika dicocokkan dengan data Hootsuite We Are Social 2021 yang menyebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat pertama (88,1%) penggiat transaksi e-commerce dunia. Laman money.kompas.com juga menyatakan bahwa kenyamanan belanja online tersebut didasari atas 5 fitur yang sangat menguntungkan konsumen, yaitu 69% konsumen menyukai fasilitas gratis ongkir, 64% menyukai adanya voucher diskon, 55% menyukai karena kemudahan dalam pembayaran, 53% atas cepatnya pelayanan, serta 50% lainnya menyukai dari ulasan para tokoh publik yang digemari. Keseluruhan faktor tersebut sangat menunjang kebijakan fiskal pemerintah untuk meningkatkan pendapatan APBN dari pajak, terutama pajak e-commerce.

Namun rupanya, pengenaan pajak e-commerce belum diketahui luas oleh khalayak masyarakat. Sejak ditetapkannya di tahun 2017 pada Peraturan Presiden No. 74 Tahun 2017 yang telah dimuat pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 210/PMK.010/2018 Tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce). Namun, peraturan tersebut dibatalkan atas Peraturan Menteri Keuangan No.31/PMK.010/2019 mengenai Pencabutan Peraturan Menteri Keuangan No.210/PMK.010/2018 atas alasan penyesuaian dengan keadaan Indonesia. Akan tetapi atas reaksi publik dan lembaga konvensional yang merasa tidak diadili sebab tidak adanya kebijakan pajak bagi e-commerce, peraturan tersebut dicanangkan kembali dan berlaku pada 1 April 2019 hingga sekarang.

Fenomena booming e-commerce menimbulkan ambiguitas di berbagai sisi, baik dari pemerintah maupun pemilik usaha konvensional. Pasalnya, kurangnya kesadaran masyarakat pembuka usaha di platform e-commerce atas pajak ini menimbulkan rasa ketidakadilan bagi pengusaha konvensional yang terpaksa tutup bahkan merugi akibat adanya pembatasan sosial. Sementara, para penjual sampingan yang berada di e-commerce mendapatkan pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan pemasukan para pengusaha konvensional. Namun siapakah yang sebenarnya mendapatkan porsi pajak untuk membayar pajak e-commerce ini? Apakah para pekerja yang di-PHK dan beralih sementara menjadi penjual online ataukah pengusaha besar yang mengambil keuntungan di e-commerce karena pengeluaran yang kecil dibandingkan melalui penjualan konvensional?

Pelaku usaha yang dikenakan pajak e-commerce merupakan kelompok pedagang atau penyedia jasa yang memasarkan produknya di e-commerce, penyedia platform marketplace, dan e-commerce yang berada di luar platform marketplace (Dewi, 2020). Berdasarkan PMK Nomor 210/PMK.010/2018 dijelaskan bahwa seluruh kelompok tersebut wajib memiliki NPWP dan menyetorkan PPh dan PPN dengan batas tertentu, kecuali e-commerce di luar platform marketplace seperti kelompok yang beraktivitas melalui online retail, classified ads, daily deals, dan media sosial harus membayar tambahan wajib pajak berupa PPnBM. Para pedagang di marketplace wajib membayar tarif senilai 0,5% dari omzet apabila pendapatan tidak melebihi Rp 4,8 Miliar dalam setahun. Ketika omzet yang diperoleh melebihi angka tersebut, artinya pemilik usaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang wajib membayarkan PPN. Sementara itu, kelompok yang termasuk dalam kelompok penyedia platform marketplace bukan hanya penyedia produk, akan tetapi pelaku usaha di bidang over the-top transportasi juga turut dikenai pajak dengan melaporkan seluruh transaksi yang terjadi. Implikasi tersebut telah tertuang pada Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 4 UU No.36 Tahun 2008 mengenai Pajak Penghasilan dan Pasal 2 ayat (5) UU No. 36 Tahun 2008 tentang PPh yang berkaitan dengan harta berwujud dan tidak yang turut menjadi penghambat pemberlakuan pajak e-commerce ini.

Sehubungan dengan diluncurkannya UU ITE No. 11 Tahun 2008 beserta diaturnya aktivitas e-commerce pada UU No. 12 Tahun 2002 mengenai Hak Cipta, UU No.14  Tahun 2001 tentang Paten, UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek, UU Telekomunikasi No.36 Tahun 1999, dan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, masalah mengenai pembajakan transaksi internet dan sulitnya membedakan bentuk transaksi penentu direct dan indirect tax terhadap produk yang sangat heterogen, menjadi faktor ketidakteraturan pelaksanaan penarikan pajak ini. Tidak adanya pembatasan dalam jual beli serta kurangnya software yang memadai menimbulkan masalah baru dalam menentukan negara manakah yang berhak menetapkan dan memungut pajak dalam konteks direct tax. Permasalahan ini tidak akan kunjung selesai ketika pemerintah tidak kunjung melakukan perbaikan pada infrastruktur, menawarkan bahkan menetapkan pembayaran non-tunai untuk pembelian di e-commerce, serta tidak berkontribusi dalam memberikan edukasi mendalam kepada khalayak mengenai kepercayaannya dalam keamanan transaksi online (Sudrajat, 2020). Peningkatan kepercayaan dan pengetahuan masyarakat mengenai sistem belanja dan pembayaran elektronik akan sangat membantu pelaksanaan penarikan pajak e-commerce yang nantinya akan berdampak pada pemulihan ekonomi dan kemajuan pembangunan infrastruktur di NKRI.

Sumber Referensi:

Dewi, R. C. (2020). Analisis Yuridis Terhadap Prosedur Perpajakan di E-Commerce. Justice Pro : Jurnal Ilmu Hukum, 4 (2), 52-62.

Faqir, A. A. (2021, July 15). Realisasi Pendapatan Negara 2020 Turun 15,9% Persen Jadi Rp 1.647,7 T. Retrieved August 11, 2021, from liputan6.com: https://www.liputan6.com/bisnis/read/4607713/realisasi-pendapatan-negara-2020-turun-159-persen-jadi-rp-16477-t

Lidwina, A. (2021, June 4). Penggunaan E-Commerce Indonesia Tertinggi di Dunia. (D. J. Bayu, Editor) Retrieved August 11, 2021, from databoks.katadata.co.id: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/06/04/penggunaan-e-commerce-indonesia-tertinggi-di-dunia

Masdi, A. (2021, June 2). Menakar Penerimaan Pajak di Tahun Pandemi. Retrieved August 11, 2021, from kemenkeu.go.id: https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/menakar-penerimaan-pajak-di-tahun-pandemi/

Pink, B. (2021, July 23). BI Kerek Lagi Prediksi Nilai Transaksi E-commerce 2021, Bisa Tembus Rp 395 Triliun. Retrieved August 11, 2021, from nasional.kontan.co.id: https://nasional.kontan.co.id/news/bi-kerek-lagi-prediksi-nilai-transaksi-e-commerce-2021-bisa-tembus-rp-395-triliun

Sudrajat, A. (2020). Pajak E-Commerce, Pemecahan dan Solusinya. Jurnal Pajak Vokasi (JUPASI), 2 (1), 22-36.

Ulya, F. (2021, February 5). Studi : Saat Pandemi, Masyarakat Lebih Senang Belanja Produk Lokal dan Online. Retrieved August 11, 2021, from money.kompas.com: https://money.kompas.com/read/2021/02/05/1548000726/studi-saat-pandemi-masyarakat-lebih-senang-belanja-produk-lokal-dan-online

Sumber Foto:

https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.motocms.com%2Fblog%2Fen%2Fecommerce-tax-rules%2F&psig=AOvVaw0MFHaf_D1o2R1BlPEMzXhI&ust=1628751508721000&source=images&cd=vfe&ved=0CAsQjRxqFwoTCNCH5s6yqPICFQAAAAAdAAAAABAD (Retrieved August 11, 2021)

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *