Menu
in ,

UU HKPD Dorong Pemda dan DJP Tukar Data Perpajakan

Pajak.com, Jakarta – Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Astera Prima mengatakan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (HKPD) dorong pemerintah daerah (pemda), Direktorat Jenderal Pajak (DJP), maupun Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) untuk melakukan pertukaran data perpajakan. Sinergi ini memiliki beragam manfaat, antara lain meningkatkan rasio pajak dan retribusi daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD), penerimaan pajak nasional, serta membangun layanan publik yang lebih baik.

“Kita mendorong adanya kerja sama pertukaran data yang selama ini sudah banyak dilakukan. Kalau tidak salah, ada hampir 300 daerah ikut MoU (Memorandum of Understanding) antara pemda, DJP, DJPK,” ungkap Prima dalam webinar bertajuk Outlook Pajak Daerah Pasca UU HKPD, (30/3).

Ia menjelaskan, UU HKPD memungkinkan pertukaran data perpajakan sebagai syarat pemda melakukan rekonsiliasi fiskal dengan pemerintah pusat untuk mencairkan Dana Bagi Hasil (DBH).

“Terdapat lebih dari Rp 20 triliun dari pajak daerah ataupun pusat yang bisa dikumpulkan dengan melakukan rekonsiliasi fiskal tersebut. Kami juga mendorong DJP untuk melakukan penagihan aktif dan banyak hal terkait capacity building. Sebagai bagian dari Kemenkeu, kami selalu memberi dukungan kepada DJP dari segi fasilitas dan monitoring,” ujar Prima.

Selain itu, pertukaran data perpajakan dapat berpotensi meningkatkan PAD, sehingga pemda tidak tergantung oleh dana transfer dari pemerintah pusat. Di sisi lain, UU HKPD juga mendorong penggunaan belanja daerah yang lebih baik, berkualitas, dan sinergis. Dengan begitu, terjadi pemerataan standar layanan publik di seluruh daerah.

“Implementasi UU HKPD diharapkan dapat membuat pelayanan masyarakat di seluruh Indonesia memiliki kualitas yang sama baiknya. Menurunkan ketimpangan horizontal antar daerah dan ketimpangan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah menjadi induk dari pilar untuk meratakan kesejahteraan masyarakat,” harap Prima.

Ia menekankan, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, penerimaan pajak dan belanja harus seimbang. Kemenkeu mencatat, 34 persen hingga 36 persen Dana Alokasi Umum (DAU) masih difokuskan untuk belanja pegawai, sedangkan belanja infrastruktur hanya 11 persen.

“Belanja di daerah perlu diperbaiki fokusnya, karena di situ terlihat dari jumlah program saja hampir 30 ribu dan kegiatannya hampir 300 ribu di seluruh Indonesia. Kalau dibagi ke 562 provinsi/kabupaten/kota, maka perlu dilakukan fokus agar belanja lebih nendang,” tegas Prima.

UU HKPD pun bisa mendorong kembali rasio pajak daerah yang sempat turun akibat dampak pandemi COVID-19. Kemenkeu mencatat, pada 2016 rasio pajak daerah dan retribusi daerah terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) tercatat sebesar 1,35 persen, kemudian sempat naik menjadi 1,42 persen pada 2019, namun turun menjadi 1,2 persen di 2020.

“Jadi, dengan adanya desentralisasi fiskal yang dilakukan telah menunjukkan keberhasilan dari 2016 ke 2019. Tapi tahun 2020, karena ada COVID-19, kita semua mengalami kontraksi, rasio pajak daerah turun. UU ini (UU HKPD) dapat menyelesaikan tantangan terbesar PDRB terkait ketentuan dan tata cara perpajakan pajak daerah. Sinergi pusat dan daerah perlu diperbaiki,” kata Prima.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Kapasitas dan Pelaksanaan Dana Transfer DJPK Kemenkeu Bhimantara Widyajala menambahkan, pihaknya akan mengupayakan aturan turunan UU HKPD dapat diselesaikan tepat waktu—sebelum akhir tahun 2022.

“Sebelum akhir tahun, target kita bisa diselesaikan. Jadi kita masih punya waktu sembilan bulan ke depan dan saya kira itu waktu yang cukup untuk dapat menyelesaikan rancangan peraturan pemerintah (RPP) secara keseluruhan,” kata Bhimantara.

Ia mengungkap, proses penyusunan aturan turunan memerlukan waktu yang tidak singkat karena jumlahnya cukup banyak dengan permasalahan yang kompleks. Selain itu, Kemenkeu juga perlu mendengarkan aspirasi dari banyak pihak agar aturan itu dapat adil dari semua sisi.

Terdapat lima hal terkait RPP UU HKPD di bidang pajak dan retribusi daerah. Pertama, pengaturan pajak dan retribusi daerah dalam UU HKPD sedikit berbeda dengan UU Nomor 28 Tahun 2009. Dalam UU HKPD tidak hanya mencakup penerimaan pajak daerah, namun juga ada transfer ke daerah dan dana desa (TKDD).

“Sehingga seluruh ketentuan materil terkait pemungutan pajak dan retribusi daerah harus mencakup dalam UU HKPD dan terdapat beberapa delegasi pengaturan pajak ke RPP dalam UU HKPD,” jelas Bhimantara.

Kedua, terdapat setidaknya sembilan pasal dalam UU HKPD yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut, baik yang bersifat pengaturan materil maupun pengaturan formil. Ketiga, RPP UU HKPD di bidang pajak dan retribusi daerah bertujuan untuk mengatur lebih lanjut dan detail terkait teknis pelaksanaan pemungutan penerimaan, sebagai rujukan pemda dalam penyiapan peraturan daerah (perda) dan peraturan kepala daerah (perkada).

Keempat, saat ini draf RPP telah disusun tim perumus dan telah diusulkan penyusunannya melalui surat izin Prakarsa S-157/MK.07/2021. Kelima, pengaturan simplifikasi jenis pajak dan retribusi dalam UU HKPD, serta pengaturan dalam RPP diharapkan akan meningkatkan tax compliance Wajib Pajak daerah yang berujung pada peningkatan penerimaan daerah.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version