Menu
in ,

UI: Perkuat Sistem Administrasi, Bukan Naikkan Tarif Pajak

UI Perkuat Sistem Administrasi, Bukan Naikkan Tarif Pajak

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Perwakilan Tax Center Universitas Indonesia (UI) Vid Adrison berpendapat, metode untuk meningkatkan penerimaan pajak bukan melalui kenaikan tarif, melainkan memperkuat sistem administrasi. Pemerintah seharusnya dapat fokus membangun sistem yang bisa mewajibkan seluruh warga negara memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku.

“Untuk meningkatkan tax revenue di Indonesia itu sebenarnya kita fokus ke sistem administrasi pajak bukan ke tarif. Salah satu yang bisa dilakukan itu adalah memasukkan lebih banyak orang ke dalam sistem pajak,” kata Vid dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panita Kerja Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara virtual, pada Senin (12/7).

Ia mengutip data dari Komite Pengawas Perpajakan (Komwasjak) yang menunjukkan, bahwa dari 270 juta jumlah penduduk Indonesia, hanya 45 juta orang yang mempunyai NPWP per tahun 2021.

“Faktanya di Indonesia sekarang itu sampai kemarin, baru 45 juta (orang) yang masuk ke dalam sistem pajak, yang punya NPWP. Bandingkan dengan 270 juta orang yang ada di Indonesia dan 130 juta pekerja, itu jauh lebih rendah. Dari jumlah 130 juta pekerja hanya 34,6 persen yang punya NPWP. Selama jumlah kepemilikan NPWP kita masih kecil, maka tax ratio kita pasti akan lebih rendah,” jelas Vid.

Di sisi lain, menurut Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI ini fenomena itu menimbulkan ketidakadilan bagi WP yang patuh. Terlebih, warga negara yang tidak memiliki NPWP pun masih bisa menikmati fasilitas yang sama, seperti membuat SIM (surat izin mengemudi), membuka rekening bank, dan sebagainya. Misalnya, si A berpenghasilan Rp 70 juta setahun dan memiliki NPWP karena merupakan pegawai formal. Sementara si B berpenghasilan Rp 120 juta pekerja informal dan tidak memiliki NPWP. Keduanya sama-sama bisa mengakses fasilitas pelayanan publik.

“Anggap saya adalah B, saya bekerja memiliki restoran Padang dan menghasilkan Rp 120 juta per tahun, dan saya tidak punya NPWP. Apakah saya bayar pajak? Tidak. Apa implikasi saya tidak memiliki pajak? Apakah saya tidak bisa urus SIM dan paspor? Masih bisa. Segala bentuk dokumen yang dibutuhkan warga negara, masih bisa diurus oleh orang yang tidak memiliki pajak (NPWP). Dengan demikian, sebetulnya (di Indonesia) memiliki NPWP menjadi beban bukan kebutuhan,” katanya.

Oleh karena itu, Vid memandang, rencana menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) orang karya menjadi 35 persen atau pajak pertambahan nilai (PPN) jadi 12 persen, justru akan meningkatkan potensi praktik penghindaran atau penggelapan pajak. Apalagi saat ini praktik semacam itu masih menjadi tantangan terbesar pemerintah.

“Kenapa? Saya dulu dipajaki (PPN) 10 persen, sekarang ada pemajakan yang lebih tinggi, jadi beban pajak saya lebih tinggi. Tapi di sisi lain masih banyak orang yang tidak memiliki NPWP atau tidak bayar pajak. Wajib Pajak akan berfikir seperti itu,” jelas Vid.

Dalam pemaparannya, ia pun menyebutkan teori kebijakan publik yang memiliki dua tujuan, yakni perbaikan efisiensi ekonomi dan keadilan. Tujuan itu dapat terwujud jika WP merasakan dampak dari regulasi dan administrasi perpajakan yang adil.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version