Tren IPO Meningkat! Advisor Ini Bongkar Strategi Optimalkan Fasilitas Fiskal Perusahaan Terbuka
Pajak.com, Jakarta – Lonjakan minat perusahaan untuk melantai di bursa membawa peluang sekaligus tantangan baru dalam pengelolaan pajak. Di tengah tren peningkatan IPO (Initial Public Offering), pemanfaatan fasilitas fiskal yang tersedia bagi perusahaan terbuka (Tbk) menjadi kunci efisiensi beban pajak dan kepatuhan yang optimal. Melihat momentum ini, Direktur Taxco Solution Vergia Septiana mengungkap strategi-strategi praktis yang dapat digunakan oleh emiten baru maupun lama untuk memaksimalkan insentif dan fasilitas perpajakan yang masih berlaku.
Vergia mengatakan bahwa selain mendapatkan dana segar, perusahaan IPO mendapat fasilitas fiskal berupa pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 3 persen sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dari yang sebelumnya 22 persen menjadi 19 persen.
Ia memberi contoh, ada sebuah perusahaan Tbk memiliki Penghasilan Kena Pajak (PKP) sebesar Rp100 miliar dapat menghemat PPh badan terutang mencapai Rp3 miliar. Karena sebelum IPO, perusahaan dikenakan tarif PPh badan 22 persen, sehingga pajak yang harus dibayarkan sebesar Rp22 miliar. Setelah IPO, perusahaan dikenakan tarif PPh badan menjadi 19 persen dengan pajak yang wajib disetor senilai Rp19 miliar.
“Untuk mendapatkan pengurangan tarif PPh ini, perusahaan harus memenuhi beberapa syarat yang diatur dalam UU HPP, di antaranya wajib menyetorkan saham di BEI minimal 40 persen. Saham harus dimiliki oleh minimal 300 pihak, dengan kepemilikan masing-masing tidak lebih dari 5 persen. Kemudian, memenuhi ketentuan pelaporan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam jangka waktu 183 hari setelah IPO,” jelas Vergia kepada Pajak.com, (29/5/25).
Selain pengurangan tarif PPh badan, perusahaan yang telah melakukan IPO juga berhak memanfaatkan berbagai fasilitas perpajakan lainnya, seperti tarif PPh final 0,1 persen atas penjualan saham.
“Wajib Pajak dalam negeri yang memperoleh penghasilan dari penjualan saham BEI dikenakan tarif PPh final sebesar 0,1 persen dari nilai transaksi. Insentif ini bertujuan untuk mendorong aktivitas perdagangan saham dan meningkatkan likuiditas pasar modal,” jelas Vergia.
Secara simultan, perusahaan IPO berhak meraih fasilitas revaluasi aset dengan tarif pajak yang lebih rendah. Vergia mengatakan, revaluasi aset memungkinkan perusahaan meningkatkan nilai asetnya tanpa dikenakan pajak yang tinggi. Menyusul kemudian, ada insentif pajak untuk restrukturisasi perusahaan.
“Sebelum IPO, perusahaan sering melakukan restrukturisasi bisnis, seperti merger atau spin-off. Maka, setelah IPO, pemerintah memberikan kemudahan perpajakan untuk restrukturisasi agar tidak membebani perusahaan dengan pajak yang besar,” ujar Vergia.
Keuntungan lainnya berupa kemudahan administrasi pajak bagi perusahaan. Berdasarkan pengalamannya mendampingi Wajib Pajak selama belasan tahun, perusahaan yang telah IPO mendapatkan fasilitas pelayanan khusus melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Perusahaan Masuk Bursa.
“KPP ini didedikasikan untuk membantu perusahaan terbuka dalam memenuhi kewajiban perpajakan dengan lebih efisien,” ungkap Vergia.
Manfaat berikutnya berupa insentif pajak untuk dividen. Ia mengatakan, dividen yang diterima oleh pemegang saham perorangan dalam negeri dari perusahaan Tbk dapat dikenakan tarif pajak yang lebih rendah atau bahkan dibebaskan dari pajak jika memenuhi syarat tertentu. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan daya tarik investasi di pasar modal.
Strategi Manajemen Pajak Perusahaan IPO
Seirama dengan fasilitas yang diraih, Vergia juga menilai pentingnya perusahaan Tbk untuk menyesuaikan strategi manajemen pajak. Penyesuaian ini krusial dilakukan demi mengoptimalkan fasilitas sekaligus memitigasi berbagai risiko perpajakan yang dapat menghambat kelangsungan bisnis.
“Strategi pertama, dengan tarif PPh yang lebih rendah, perusahaan dapat merencanakan strategi investasi yang lebih agresif dan meninjau kembali struktur pengeluaran untuk memaksimalkan profitabilitas dalam jangka panjang,” jelasnya.
Strategi kedua, restrukturisasi keuangan dan transfer pricing. Vergia mendorong perusahaan untuk memastikan semua transaksi antar-entitas dalam grup perusahaan sudah mematuhi aturan transfer pricing. Ia pun mengingatkan kelengkapan dokumentasi transfer pricing untuk menghindari koreksi pajak yang dapat berdampak pada laporan keuangan.
Sebagaimana diketahui, ketentuan mengenai transfer pricing telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa.
“Ketidaksesuaian dalam transfer pricing dapat menyebabkan koreksi pajak dan denda. Jika perusahaan memiliki subsidiari, struktur pajaknya bisa disesuaikan untuk mengoptimalkan efisiensi pajak,” imbuhnya.
Strategi ketiga, penyesuaian laporan keuangan. Sebab menurut Vergia, perubahan tarif PPh mempengaruhi proyeksi laba bersih, sehingga perlu dilakukan penyesuaian dalam laporan keuangan perusahaan.
“Manajemen perlu menyusun strategi pelaporan yang transparan agar tetap memenuhi regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BEI,” jelas Vergia.
Strategi keempat, evaluasi kebijakan dividen. Vergia menjelaskan, tarif PPh yang lebih rendah berpotensi meningkatkan laba bersih, sehingga perusahaan bisa meninjau kebijakan dividen untuk meningkatkan nilai bagi pemegang saham.
“Maksudnya menentukan apakah laba yang lebih besar sebaiknya diinvestasikan kembali atau dibagikan sebagai dividen?,” tambah Vergia.
Strategi kelima, penting bagi perusahaan mematuhi seluruh peraturan perpajakan dan melakukan dokumentasi. Vergia menekankan bahwa meski mendapatkan insentif, perusahaan harus tetap mematuhi seluruh regulasi perpajakan untuk menghindari risiko pajak di kemudian hari.
“Perusahaan harus memastikan memiliki dokumentasi pajak yang lengkap, termasuk laporan tahunan dan proyeksi pajak setelah IPO,” lanjutnya.
Strategi keenam, memiliki manajemen atau sumber daya manusia (SDM) yang kapabel untuk menjaga kepatuhan perpajakan demi menjaga stabilitas keuangan dan reputasi. Menurut Vergia, kapasitas tersebut penting agar perusahaan mumpuni dalam melakukan tax diagnostic review sebelum dan setelah IPO.
“Secara teknis, perusahaan dapat mengaudit pajak internal untuk mengidentifikasi potensi risiko sebelum IPO. Hal ini demi memastikan semua transaksi bisnis, termasuk revaluasi aset dan restrukturisasi, telah sesuai dengan regulasi perpajakan,” jelasnya.
Seirama dengan itu, Vergia menyarankan perusahaan melakukan penyusunan tax risk register untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengelola risiko pajak secara sistematis.
“Susun daftar risiko pajak berdasarkan dampak dan kemungkinan terjadinya, serta menetapkan langkah mitigasi yang tepat,” tandasnya.
Strategi ketujuh, Vergia mengimbau kepada perusahaan untuk memastikan adanya sumber daya manusia (SDM) yang kredibel dan kapabel untuk mengoptimalkan insentif fiskal sekaligus menjaga kepatuhan perpajakan. Perusahaan dapat menggunakan jasa konsultan pajak untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi terbaru dan menghindari potensi sanksi. Secara bersamaan, perusahaan melakukan pelatihan internal bagi tim keuangan dan pajak agar selalu mengikuti perkembangan regulasi.
“Ingat, kesalahan dalam perhitungan pajak dapat menyebabkan denda dan sanksi yang telah diatur dalam undang-undang. Selain itu, ada pula risiko pemeriksaan pajak. Karena perusahaan IPO lebih sering menjadi sasaran pemeriksaan pajak karena transparansi yang lebih tinggi. Pemeriksaan ini dapat mengungkap ketidaksesuaian dalam pelaporan pajak yang berpotensi menimbulkan kewajiban tambahan,” ungkap Vergia.
Dengan menerapkan strategi ini diyakini perusahaan IPO dapat meningkatkan kepatuhan perpajakan dan menghindari risiko hukum serta finansial.
Hal yang Perlu Dipertimbangkan Sebelum IPO
Sebelum melantai di bursa saham, Vergia memberi saran agar perusahaan dapat mempertimbangkan berbagai aspek fundamental demi memastikan kesiapan dan keberhasilan proses IPO. Hal utama menurut Vergia, perusahaan harus memerhatikan kondisi keuangan dan kinerja perusahaan.
“Pastikan laporan keuangan yang sehat dan transparan, serta rekam jejak pertumbuhan pendapatan serta profitabilitas yang stabil. Menyusun proyeksi keuangan yang realistis pasca-IPO. Perusahaan publik harus memenuhi standardisasi transparansi yang lebih tinggi, termasuk pelaporan pajak yang lebih rinci,” ujarnya. Vergia menegaskan bahwa kegagalan dalam transparansi dapat mempengaruhi kepercayaan investor dan regulator.
Secara parsial, perusahaan harus mempersiapkan manajemen dan tata kelola perusahaan. Vergia mendorong perusahaan untuk memastikan telah mempunyai tim manajemen yang kompeten dan berpengalaman serta mematuhi prinsip good corporate governance (GCG). Seiring dengan itu, diperlukan penyesuaian struktur perusahaan dengan regulasi publik.
“Perhatikan valuasi dan struktur penawaran saham, tentukan harga saham yang sesuai berdasarkan valuasi yang akurat. Kemudian, perusahaan juga sangat perlu menyusun strategi jumlah saham yang akan ditawarkan kepada publik, seperti mengidentifikasi target investor potensial,” ungkapnya.
Selain itu, perusahaan wajib memerhatikan kembali kepatuhan regulasi dan persyaratan hukum yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI).
“Perusahaan wajib mengelola aspek legal, seperti perizinan, laporan audit, dan prospektus IPO. Lalu, menyiapkan dokumentasi lengkap sesuai standardisasi yang berlaku,” jelas Vergia.
Hal fundamental dan krusial selanjutnya adalah menyiapkan strategi komunikasi dan publikasi sebelum IPO. Sebab menurut Vergia, perusahaan perlu membangun citra perusahaan yang positif untuk menarik calon investor. Secara teknis, hal itu bisa dilakukan melalui kegiatan roadshow dan kegiatan pemasaran guna meningkatkan minat terhadap saham.
Selanjutnya, pertimbangan yang harus dipersiapkan adalah perihal transparansi dalam memberikan informasi kepada pemegang saham.
“Sebelum melakukan IPO, perusahaan perlu mengantisipasi perubahan dalam struktur kepemilikan dan kontrol setelah melantai di BEI. Memahami konsekuensi kewajiban sebagai perusahaan publik, termasuk pelaporan berkala dan tekanan dari pemegang saham,” ungkap Vergia.
Hal yang tak kalah esensial, yaitu merancang strategi jangka panjang untuk menjaga harga saham dan kinerja perusahaan. Vergia menegaskan bahwa IPO bukan hanya sekadar langkah untuk mendapatkan pendanaan tambahan, tetapi juga sebuah transformasi besar bagi perusahaan.
“Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tepat, IPO dapat menjadi katalis pertumbuhan yang signifikan,” tegas Vergia.
Persyaratan Perusahaan IPO
Setelah mempertimbangkan berbagai hal tersebut, perusahaan yang hendak IPO harus memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh regulator pasar modal, yaitu pada Peraturan OJK Nomor 76/POJK.04/2017 tentang Penawaran Umum Oleh Pemegang Saham, kemudian Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Sesuai dengan regulasi ini, Vergia memetakan beberapa aspek utama yang perlu diperhatikan, utamanya persyaratan perihal usia dan kinerja perusahaan.
“Perusahaan harus sudah beroperasi selama minimal 36 bulan dan membukukan pendapatan usaha. Lalu, membukukan laba usaha lebih dari satu tahun sebelum IPO,” jelasnya.
Selanjutnya, laporan keuangan tiga tahun terakhir harus diaudit dengan pendapat wajar tanpa modifikasian oleh akuntan publik terdaftar serta memiliki aset berwujud bersih (net tangible asset) di atas Rp100 miliar.
Kemudian, persyaratan kepatuhan regulasi dan tata kelola. Vergia menyebutkan bahwa perusahaan harus mematuhi regulasi dari OJK dan BEI. Dalam regulasi tersebut perusahaan harus menyusun prospektus IPO yang transparan dan sesuai standardisasi, serta memiliki struktur manajemen dan tata kelola perusahaan yang baik.
Comments