in ,

Dari Coretax hingga Dirjen Pajak Baru: Taxco Solution Imbau Perusahaan Tinjau Ulang “Tax Planning”

FOTO: Tiga Dimensi/Desain: Muhammad Ikhsan Jamaludin

Dari Coretax hingga Dirjen Pajak Baru: Taxco Solution Imbau Perusahaan Tinjau Ulang “Tax Planning”

Pajak.com, Jakarta – Kebijakan perpajakan Indonesia memasuki episode baru dengan penerapan Coretax, beragam perubahan regulasi baru, dan penunjukan Bimo Wijayanto sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak baru. Estafet kepemimpinan baru ini berpotensi mengubah arah kebijakan pengawasan perpajakan di tengah peningkatan target penerimaan pajak. Oleh sebab itu, Direktur Taxco Solution Vergia Septiana menyarankan perusahaan mencermati dampak Coretax dan perubahan regulasi dengan menyusun ulang tax planning. 

Membuka perbincangan eksklusif dengan Pajak.com, Vergia menekankan bahwa tax planning merupakan strategi legal yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan perpajakan. Secara umum, tax planning merupakan strategi perencanaan pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk mengelola kewajiban perpajakan secara efisien dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

“Tujuan utama tax planning adalah meminimalkan beban pajak secara legal tanpa melanggar aturan perpajakan yang berlaku. Tax planning melibatkan berbagai teknik, seperti optimalisasi pemanfaatan insentif pajak, pemilihan metode penyusutan aset yang paling menguntungkan, serta penyesuaian struktur bisnis untuk meningkatkan efisiensi pajak,” tegas Vergia, di Kantor Taxco Solution, Jakarta (27/5/25).

Atas dasar itu, lazim bagi perusahaan merancang tax planning yang transparan untuk membantu korporasi menghemat biaya kepatuhan pajak tanpa melanggar hukum. Berbeda dengan skema tax evasion yang melakukan praktik ilegal, seperti memalsukan laporan keuangan atau bukti transaksi, tidak melaporkan penghasilan yang seharusnya dikenakan pajak, atau menggunakan dokumen fiktif untuk mengurangi kewajiban pajak.

Baca Juga  Dirjen Pajak Baru, Bagaimana Nasib Coretax? Ini Jawaban Sri Mulyani 

“Regulasi perpajakan di Indonesia menetapkan batasan-batasan dalam skema tax planning agar tetap berada dalam koridor hukum dan tidak berubah menjadi tax avoidance yang tidak etis atau bahkan tax evasion yang ilegal. Dalam kasus tax evasion, pelanggaran dapat berujung pada denda hingga empat kali jumlah pajak yang tidak dibayar atau hukuman penjara,” ujar Vergia.

Ia menyebutkan, koridor hukum yang kini mengatur batasan tax planning Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengatur berbagai aspek perpajakan, termasuk insentif dan kepatuhan pajak bagi perusahaan. Kemudian, UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) yang menetapkan ketentuan terkait pengurangan pajak yang sah dan batasan dalam perencanaan pajak.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 66 Tahun 2023 yang mengatur strategi tax planning terkait penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan. PMK Nomor 172 Tahun 2023 yang mengatur aspek transfer pricing, penghindaran pajak, dan optimalisasi kredit pajak. Belum lagi adanya PMK Nomor 136 Tahun 2024 mengenai penerapan pajak minimum global.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga mengeluarkan berbagai regulasi terkait penghindaran pajak yang tidak sah, termasuk aturan mengenai controlled foreign company (CFC) dan thin capitalization. Vergia mengungkapkan, regulasi perpajakan di Indonesia menerapkan prinsip substance over form, yaitu memastikan bahwa transaksi pajak memiliki substansi ekonomi nyata dan bukan hanya untuk menghindari pajak. Treaty shopping dan penyalahgunaan perjanjian pajak internasional pun diawasi oleh otoritas pajak.

“Dengan berbagai perubahan regulasi perpajakan serta penerapan Coretax, Anda perlu menyusun ulang strategi tax planning, agar tetap sesuai dengan sistem perpajakan yang lebih digital dan terintegrasi,” ujar Vergia.

Vergia mengingatkan, penerapan Coretax membuat pelaporan pajak yang semakin kompleks. Ingat, Coretax didesain untuk mengintegrasikan 21 proses bisnis administrasi perpajakan, termasuk menuntut Wajib Pajak merespons Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) dan proses pemeriksaan pajak.

Baca Juga  Diatur PMK 15/2025, Ini Kriteria Wajib Pajak yang Akan Diperiksa DJP 

“Di sisi lain, ada potensi kesalahan dalam pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan karena DJP memiliki data dan/informasi yang semakin kuat, serta terintegrasi oleh Coretax. Lalu, ketidaktepatan dalam merespons SP2DK dapat berujung pada sanksi,” ungkap Vergia.

Ia mengungkapkan adanya risiko pemeriksaan dan koreksi fiskal yang prosesnya akan dilakukan melalui Coretax. Menurut Vergia, DJP semakin aktif dalam melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan yang dianggap memiliki skema tax planning yang agresif. Koreksi fiskal ini dapat berdampak pada arus kas dan reputasi perusahaan.

Di sisi lain, terjadi perubahan ketentuan pemeriksaan pajak yang dituangkan dalam PMK Nomor 15 Tahun 2025 dan penyesuaian penerapan Coretax melalui PMK Nomor 81 Tahun 2024.

“DJP dapat melakukan pemeriksaan mendalam terhadap transaksi yang mencurigakan. Jika ditemukan ketidaksesuaian, maka pajak yang kurang bayar akan dikoreksi, dan perusahaan harus membayar kekurangan pajak beserta bunga dan denda,” jelasnya.

Strategi Penyusunan Ulang “Tax Planning” 

Vergia pun memetakan empat penyesuaian tax planning yang perlu dipersiapkan Wajib Pajak dalam penyusunan ulang tax planning di era Coretax dan perubahan regulasi.

Pertama, setiap aspek perencanaan kepatuhan pajak harus disesuaikan dengan Coretax. Pastikan seluruh kewajiban perpajakan telah terintegrasi dengan sistem Coretax yang hingga kini masih terus dilakukan penyempurnaan oleh DJP.

“Optimalkan penggunaan dashboard pajak terpadu untuk memantau kewajiban pajak secara real-time. Sesuaikan pelaporan pajak dengan fitur otomatisasi dalam Coretax untuk menghindari keterlambatan pembayaran,” tandas Vergia.

Secara simultan, diperlukan pemutakhiran data dan kepatuhan administrasi. Vergia mengingatkan agar Wajib Pajak melakukan pemutakhiran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ke format 16 digit agar sesuai dengan sistem baru dalam Coretax.

Kedua, optimalisasi struktur pajak dan insentif terbaru, seperti pengurangan tarif PPh badan serta fasilitas fiskal lainnya yang menguntungkan bagi bisnis. Hal ini untuk menyesuaikan strategi investasi dan dividen agar lebih efisien secara pajak.

Ketiga, konsultasikan dengan ahli perpajakan untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi terbaru dan menghindari potensi sanksi. Secara parsial, penting bagi perusahaan melakukan pelatihan internal bagi tim keuangan dan pajak agar selalu mengikuti perkembangan regulasi.

Vergia mengatakan bahwa perusahaan dapat menyusun tax planning domestik dan internasional. Ia menjelaskan, tax planning domestik merupakan strategi perencanaan pajak yang dilakukan dalam satu yurisdiksi negara dengan mempertimbangkan undang-undang perpajakan nasional. Fokus utama dari tax planning domestik adalah mengoptimalkan kewajiban pajak sesuai dengan regulasi yang berlaku di negara tersebut.

“Contoh tax planning domestikyakni pemanfaatan insentif pajak nasional, seperti pengurangan tarif PPh badan bagi perusahaan IPO [Initial Public Offering], Kemudian, pemilihan metode penyusutan aset yang paling optimal untuk mengurangi beban pajak. Perusahaan juga bisa merencanakan pengelolaan arus kas dan timing pajak, seperti menunda pengakuan pendapatan untuk mengoptimalkan pembayaran pajak,” jelas Vergia.

Selain itu, perusahaan dapat menyusun tax planning internasional dengan melibatkan strategi perpajakan yang mencakup lebih dari satu negara, dengan mempertimbangkan perjanjian pajak internasional (tax treaty) dan regulasi perpajakan global. Contoh tax planning internasional adalah Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) untuk menghindari pajak ganda dalam transaksi lintas negara.

“Contoh lain, transfer pricing, yaitu pengaturan harga transaksi antar perusahaan dalam grup internasional agar sesuai dengan regulasi pajak. Lalu, penggunaan tax haven, yaitu memindahkan keuntungan ke negara dengan tarif pajak lebih rendah secara legal,” ujar Vergia.

Artinya, lanjutnya, tax planning domestik lebih fokus pada optimalisasi pajak dalam satu negara, sedangkan tax planning internasional mempertimbangkan strategi lintas yurisdiksi untuk menghindari pajak ganda dan meningkatkan efisiensi pajak global.

“Tax Planning” Bukan Pertimbangan Utama 

Meski memainkan peran penting dalam pengembangan bisnis, Vergia menilai strategi tax planning sebaiknya tidak menjadi satu-satunya dasar pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan bisnis. Akan tetapi, tax planning bisa disusun untuk mengoptimalkan insentif perpajakan sehingga dapat mengurangi beban.

“Misalnya, UMKM [usaha mikro kecil menengah] bisa memilih tetap berbentuk perseorangan atau CV [commanditaire vennootschap] terlebih dahulu sebelum berubah menjadi PT [perseroan terbatas] agar mendapatkan skema pajak yang lebih ringan sesuai ketentuan pajak UMKM—PPh final 0,5 persen untuk omzet di bawah Rp4,8 miliar,” ujar Vergia.

Dalam perspektif lain, ia menyebut, pajak seharusnya menjadi konsekuensi dari pertumbuhan bisnis, bukan faktor pembatas dalam pengambilan keputusan strategis. Apabila sebuah perusahaan hanya mempertimbangkan aspek pajak dan mengabaikan faktor seperti ekspansi bisnis, daya saing, akses ke pembiayaan, maka bisa berisiko menghambat pertumbuhan jangka panjang.

“Misalnya, dengan berubah menjadi PT, perusahaan bisa menarik investor, memperluas pasar, dan meningkatkan kredibilitas bisnis, yang mungkin lebih bermanfaat dalam jangka panjang dibandingkan sekadar menghemat pajak,” imbuh Vergia.

Dengan demikian, ia menyarankan Wajib Pajak memilih pendekatan yang seimbang, yaitu menyeimbangkan strategi tax planning dengan tujuan bisnis utama. Artinya UMKM bisa memanfaatkan insentif pajak yang tersedia sambil tetap mempertimbangkan kapan saat yang tepat untuk beralih ke PT.

“Karena perusahaan besar bisa mengoptimalkan insentif pajak tanpa mengorbankan ekspansi dan pertumbuhan bisnisnya. Pajak harus dikelola dengan strategi yang efisien, tetapi tetap mendukung visi bisnis secara menyeluruh. Jadi, tax planning adalah alat strategis dalam bisnis, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya faktor penentu.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *