in ,

Sri Mulyani Tolak Saran Penerapan “Flat Tax”: Tidak Relevan bagi Indonesia

Sri Mulyani “Flat Tax”
FOTO: IST

Sri Mulyani Tolak Saran Penerapan “Flat Tax”: Tidak Relevan bagi Indonesia

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menanggapi saran ekonom senior Amerika Serikat (AS) Arthur Laffer, yang mengusulkan agar Indonesia menerapkan skema pajak penghasilan dengan satu tarif atau flat tax. Ia menilai pendekatan tersebut tidak sesuai dengan prinsip keadilan yang menjadi dasar sistem perpajakan di Indonesia.

Dalam forum CNBC Economic Update 2025, Sri Mulyani mengkritisi gagasan flat tax yang disebut Arthur karena menyamakan beban pajak antara orang berpenghasilan tinggi dan masyarakat berpenghasilan rendah. Ia mengajak publik membayangkan jika pekerja dengan pendapatan setara upah minimum harus membayar pajak dengan tarif yang sama seperti mereka yang berpenghasilan miliaran rupiah.

“Makanya tadi kalau disebutkan satu rate tax flat, di Indonesia kita punya lima lapisan tarif pajak penghasilan. Saya tanya sama hadirin di sini, kalau yang sangat kaya dengan yang pendapatannya hanya di UMR, yang bayar pajaknya sama setuju enggak? Saya hampir yakin semua bilang enggak setuju. Tapi yang beliau sampaikan tadi begitu,” ujarnya dikutip Pajak.com pada Kamis (19/6/25).

Sri Mulyani menjelaskan bahwa Indonesia menggunakan sistem tarif pajak progresif yang terdiri dari lima lapisan yaitu 5 persen, 15 persen, 25 persen, 30 persen, dan 35 persen. Menurutnya, ini dirancang agar mereka yang berpendapatan tinggi membayar lebih besar daripada yang penghasilannya kecil, sesuai dengan asas keadilan distribusi.

Baca Juga  Biaya Logistik RI Masih Mahal, TMMIN Genjot SDM Lewat Kontes Logistik

“Kita ada dari 5 persen, 15 persen, 25 persen, 30 persen dan 35 persen. Itu pasti beda banget dengan yang diadvokasi Pak Arthur. Karena kita mengatakan yang pendapatannya di atas Rp5 miliar dengan yang pendapatannya Rp60 juta rupiah per tahun, ya harusnya tarifnya beda,” katanya.

Ia menegaskan, kebijakan pajak tidak boleh hanya berorientasi pada efisiensi, tetapi harus juga memperhatikan pemerataan. Pajak adalah alat untuk menyalurkan kembali kekayaan negara kepada masyarakat yang paling membutuhkan. Oleh karena itu, kebijakan pajak harus proporsional, bukan seragam.

“Alat fiskal untuk distribusi adalah baik dari sisi penerimaan negara dengan perbedaan tarif progresif dan belanja negara yang membantu orang miskin,” tambah Sri Mulyani.

Sri Mulyani juga mengangkat pentingnya keadilan kesempatan. Menurutnya, seseorang yang sejak kecil hidup tanpa akses kesehatan, pendidikan, dan gizi yang baik, tidak mungkin bersaing secara adil dengan mereka yang tumbuh dalam kondisi ideal. Negara, melalui kebijakan fiskal, harus hadir untuk memperbaiki ketimpangan ini.

Baca Juga  PER-6/2025 Tambah Kriteria PKP Berisiko Rendah yang Dapat Ajukan Percepatan Restitusi Pajak

“Dia harus kesehatannya diperbaiki, gizinya diperbaiki, sekolahnya harus disediakan. Karena enggak mungkin orang yang tidak sekolah bersaing dengan orang yang sekolahnya di universitas papan atas dunia. Dan disitulah alat fiskal muncul,” jelasnya.

Ia juga menambahkan bahwa fungsi lain dari kebijakan fiskal adalah efisiensi alokasi. Dalam hal ini, peran negara sangat penting untuk memperbaiki distorsi pasar, baik yang disebabkan oleh infrastruktur fisik maupun kebijakan yang menyimpang dari mekanisme pasar.

“Distorsi pasar bisa berasal dari hal fisik. Enggak ada saluran MCK [Mandi, Cuci, Kakus] yang menyebabkan keluarga itu setiap hari diare. Pasti anak-anaknya nggak akan mungkin sehat. Maka membangun MCK itu adalah bagian dari intervensi untuk memperbaiki agar anak-anak yang sehat kemudian bisa bersaing dan berkontribusi secara sehat,” imbuh Sri Mulyani.

Contoh lain, katanya, adalah keterbatasan akses terhadap listrik, internet, dan jalan yang menyebabkan pelaku ekonomi tidak bisa berfungsi optimal. Semua itu adalah barang publik yang menjadi tanggung jawab negara, dan menjadi bagian dari peran fiskal.

Baca Juga  PT Chutex Dapat Fasilitas Kawasan Berikat, Target Ekspor dan Serap Ribuan Tenaga Kerja

Ia juga mengakui bahwa distorsi bisa timbul dari kebijakan negara sendiri, seperti pengendalian harga BBM atau penetapan harga gabah minimum. Namun, kebijakan tersebut ditempuh bukan untuk merusak pasar, melainkan untuk memberi ruang hidup yang adil bagi mereka yang tidak bisa bersaing secara alami di pasar bebas.

“Itu kalau yang tadi disebutkan jangan ikut campur pasar, enggak akan ketemu. Tapi Indonesia melakukan karena itu adalah bagian dari yang tadi disebut memberdayakan mereka yang tidak mungkin bisa bersaing di dalam mekanisme pasar yang sepenuhnya kompetitif,” ujarnya.

Menurut Sri Mulyani, kebijakan fiskal Indonesia dijalankan dengan pertimbangan yang seimbang antara efisiensi ekonomi dan keadilan sosial. Stabilitas ekonomi makro tetap dijaga melalui kebijakan fiskal dan moneter, namun intervensi tetap dilakukan di sektor-sektor yang membutuhkan keberpihakan negara.

“Makanya Indonesia menggunakan stabilitas makro yaitu fiskal dan moneter untuk menjaga stabilitas apakah itu inflasi, nilai tukar, dan kepastian. Namun juga menggunakan fiskal untuk melakukan intervensi berdasarkan situasi masyarakat dan geografi kita yang semuanya tidak sama, yang banyak berbeda-beda,” pungkasnya.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *