Menu
in ,

Sembako dan Jasa Pendidikan Tidak Jadi Dikenakan PPN

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah tidak jadi mengenakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako (sembilan bahan pokok) dan jasa pendidikan. Ketentuan ini telah tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak (RUU HPP) yang sebelumnya bernama Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Rencananya, pekan depan akan digelar Sidang Paripurna untuk mengesahkan RUU HPP menjadi UU.

“Pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) sungguh-sungguh mendengarkan dan berkomitmen terus memberikan dukungan bagi kelompok masyarakat bawah, maka barang kebutuhan pokok mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN,” jelas Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo dalam akun Twitter miliknya yang dikutip Pajak.compada Sabtu (2/10).

Penghapusan sembako dari daftar barang kena pajak terdapat dalam Bab IV Pasal 4a RUU HPP, “Mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional, antara lain barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.”

Adapun kebutuhan pokok itu meliputi beras, jagung, kedelai, garam dan gula konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, hingga sayur-sayuran.

Namun, hingga saat ini masih terjadi perdebatan di jagat maya mengenai PPN sembako maupun jasa pendidikan. Netizen menilai, kebijakan itu masih bersifat sementara.

“Seluruh barang dan jasa tersebut masuk dalam ketentuan pajak terutang yang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya,” demikian Pasal 16B RUU HPP.

Menanggapi hal itu, Prastowo menegaskan, Pasal 16B mewadahi fasilitas berbagai barang dan jasa yang tidak dipungut atau dibebaskan pajak. Sifat sementara justru memberi ruang agar disesuaikan dengan dinamika ekonomi.

Seperti diketahui, sebelumnya pemerintah mengusulkan kepada DPR untuk bisa menghimpun PPN atas sembako premium dan jasa pendidikan. Untuk rencana jasa pendidikan, pemerintah berencana mengenakan tarif PPN sebesar 7 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, tidak semua sekolah akan dikenakan PPN, hanya sekolah tertentu saja. Contohnya, sekolah dengan bayaran yang tinggi.

“Ini juga untuk membedakan jasa pendidikan yang diberikan secara masif oleh pemerintah dan lembaga sosial lain, dibandingkan dengan sekolah dengan SPP (sumbangan pembinaan pendidikan) yang luar biasa tinggi,” kata Sri Mulyani di rapat kerja bersama DPR.

Berbagai kalangan pun bersuara untuk menolak rencana itu. Salah satunya ekonom sekaligus dosen Universitas Indonesia Faisal Basri. Ia menegaskan, pemerintah seharusnya memprioritaskan kualitas sumber daya manusia (SDM) ketimbang penerimaan pajak yang bersifat sementara. Sebab ketika SDM berkualitas, maka secara otomatis akan menghasilkan penerimaan pajak yang tinggi dan berkesinambungan.

“Mau yang (sekolah) mewah, mau yang (sekolah) tidak mewah. Tetap no tax for education. Jangan karena pemerintah tidak sanggup (menghimpun pajak), maka upayanya diperluas ke private sector. Apalagi eksternalitas pendidikan itu tinggi buat kebangkitan bangsa, literasi, kemajuan teknologi, dan sebagainya. Bayangkan, 52,8 persen masyarakat Indonesia edukasinya masih insecure. Kalau gitu, dia enggak bayar pajak, utamanya PPh (pajak penghasilan),” kata Faisal.

Alumnus Universitas Vanderbilt Amerika Serikat ini mengusulkan, untuk menambah pendapatan negara dengan membidik barang-barang non-esensial, seperti peningkatan tarif rokok. Menurutnya, pendidikan merupakan barang esensial yang justru harus dikembangkan.

“Jadi kita kembali ke visi Indonesia bangkit, pendidikan nomor satu. Setidaknya swasta sekalipun kalau luar negeri mau masuk ke sini, sudah tidak usah dipajaki dulu. Itu penghematan buat rakyat Indonesia, bisa sekolah di dalam negeri tapi standarnya internasional. Termasuk paling penting juga untuk buku, betapa sengsaranya pengarang di Indonesia, tidak ada insentif sedikit pun kepada pengarang yang buat buku, misalnya tentang tax (buku). Pengarang, pajaknya luar biasa, berlapis-lapis,” kata Faisal.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version