Menu
in ,

RUU HPP Sesuaikan Kebutuhan di Era Digital

RUU HPP Sesuaikan Kebutuhan di Era Digital

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Staf Khusus (Stafsus) Menteri Keuangan (Menkeu) Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo memastikan, Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) telah menyesuaikan kebutuhan di era digital. Mulai dari mengintegrasikan nomor induk kependudukan (NIK) dengan nomor pokok wajib pajak (NPWP), simplifikasi pemajakan untuk platform digital, hingga penangkal praktik penghindaran pajak.

Prastowo menjelaskan, menyatukan NIK dan NPWP merupakan terobosan signifikan karena akan membantu pemerintah melakukan reformasi administrasi perpajakan di tengah perkembangan teknologi.

“Bagi Wajib Pajak (WP) akan lebih mudah dan efisien. Dan dalam konsep big data ini akan mempermudah, karena filosofi pajak mengawinkan siapa melakukan apa, agar lebih cepat dan akurat. Jadi pertama tentang prinsip, karena menurut kami apapun kebijakan dan administrasi yang akan diambil harus didasarkan pada prinsip perpajakan yang baik, bagaimana netralitas, efektivitas, keadilan dan stabilitas menjadi prinsip,” jelas Prastowo dalam webinar bertajuk Perpajakan di Era Digital: Menelaah Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pada (14/10).

Selanjutnya, RUU HPP juga telah mengatur tentang penunjukkan pihak lain untuk memungut pajak. Ketentuan ini termaktub dalam Pasal 32a.

“Ini juga memberikan landasan hukum yang lebih kuat, termasuk nanti platform digital dan marketplace sudah dibuatkan dasar hukum bagaimana harus menjadi pemotong atau pemungut. Ini juga demi kesederhanaan,” kata Prastowo.

Dengan begitu, ia yakin, platform digital dan marketplace lebih mudah diajak bekerja sama untuk melakukan pemungutan perpajakan. Aturan di RUU HPP ini lebih efektif, efisien, dan tidak mengganggu bisnis marketplace.

“Ini semua juga ditopang oleh pengaturan baru tentang PPN (pajak pertambahan nilai) final. UU HPP memberikan payung di pasal 9a agar pemajakan lebih sederhana untuk sektor atau barang jasa tertentu sehingga mempermudah pelaku usaha,” tambah Prastowo.

Kemudian, RUU HPP seirama dengan konsensus global dalam memerangi praktik penghindaran pajak di era digital, khususnya yang dilakukan oleh WP orang pribadi/kaya.

“Berdasarkan data TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan), satu persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Intervensi bilateral sudah cukup kuat, bagaimana automatic exchange of information (AEOI) itu juga diarahkan untuk menangkal praktik penghindaran pajak,” jelas Prastowo.

Dengan demikian, ia memastikan, bahwa pemerintah telah berupaya memenuhi kebutuhan pemajakan di era digital melalui RUU HPP. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pemajakan sehingga penerimaan negara lebih optimal dan dapat mendukung pemulihan ekonomi nasional.

“Meminjam penjelasan Daniel S. Goldberg, profesor hukum pajak dari Universitas Maryland, bahwa digitalisasi menimbulkan pergeseran konsep-konsep perpajakan dari yang selama ini ada, tetapi ternyata menjadi tidak relevan lagi. Regulasi-regulasi perpajakan yang terbit dalam beberapa waktu terakhir berupaya mencapai relevansi itu,” kata Prastowo.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version