Menu
in ,

Rokok Elektrik Kena PPN 9,9 Persen

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah kini menetapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 9,9 persen untuk rokok elektrik bagi produsen atau importir mulai 1 April 2022. Ketetapan itu termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 63 Tahun 2022, yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Kepala Subdit Peraturan PPN Industri Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Wiwiek Widwijanti menegaskan, pengenaan PPN atas rokok elektrik pada PMK Nomor 63 Tahun 2022 adalah ketentuan baru yang belum tercantum pada PMK sebelumnya, yakni PMK Nomor 174  Tahun 2015 s.t.d.d PMK Nomor 207 Tahun 2016.

“Ada tambahan objek rokok elektrik yang sebelumnya belum dikenakan PPN adalah rokok elektrik, ini masuk juga sebagai penyerahan hasil tembakau,” jelas Wiwiek dalam webinar yang diselenggarakan oleh INTACT UK, (14/4).

Dengan demikian, melalui PMK Nomor 63 Tahun 2022, rokok elektrik kini termasuk salah satu bagian dari definisi hasil tembakau. Hasil tembakau lainnya mencakup sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil tembakau lainnya.

Wiwiek menjelaskan, PPN atas hasil tembakau dikenakan sebanyak satu kali oleh produsen atau oleh importir. Dengan demikian, bila PPN sudah dipungut oleh produsen atau importir, maka dari pengusaha kepada penyalur lainnya atau kepada konsumen akhir tidak dipungut PPN. Sebagai catatan, PPN dikenakan bersamaan dengan ketika produsen atau importir melakukan pemesanan pita cukai.

“Dalam pelaksanaannya, produsen atau importir hasil tembakau harus membuat faktur pajak atas penyerahan hasil tembakau yang terutang PPN. Faktur harus dibuat juga saat dilakukannya pemesanan pita cukai,” jelas Wiwiek.

Dengan diberlakukannya PMK Nomor 63 Tahun 2022, penghitungan tarif PPN hasil tembakau, yakni mengalikan tarif PPN dengan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak. Seperti diketahui, tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 11 persen atau 12 persen maksimal berlaku awal 2025.

Sementara nilai lain ditetapkan dengan formula 100/(100 + t) dikali dengan harga jual eceran hasil tembakau. Fungsi t merupakan angka pada tarif PPN, yakni 11 persen atau 12 persen. Dengan demikian, perhitungan tarif PPN berdasarkan pembulatannya menjadi sebesar 9,9 persen dikali harga jual eceran hasil tembakau—berlaku mulai 1 April 2022. Tarif PPN kemudian dinaikkan menjadi 10,7 persen maksimal awal 2025.

“… PPN atas penyerahan hasil tembakau terutang berdasarkan pembulatan dihitung sebesar 9,9 persen dikali harga jual eceran hasil tembakau, untuk penyerahan hasil tembakau yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022 …,” demikian bunyi penggalan Pasal 4 ayat (2) huruf a PMK 63 Nomor 2022.

Sejatinya, kenaikan tarif PPN atas hasil tembakau sudah ketiga kalinya dilakukan pemerintah sejak 2015. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menetapkan tarif PPN hasil tembakau sebesar 8,4 persen di tahun 2015, kemudian naik jadi 8,7 persen di 2016, dan naik lagi menjadi 9,1 persen di 2017.

Selain kenaikan dari sisi pajak, pemerintah juga telah memutuskan rata-rata kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12 persen. Sri Mulyani menjelaskan, kenaikan dilakukan demi mengendalikan konsumsi masyarakat sehingga aspek kesehatan bisa semakin membaik. Sebab berdasarkan data, pengeluaran rokok merupakan kedua terbesar dari masyarakat miskin, baik di perkotaan maupun pedesaan.

“Konsumsi rokok berada di posisi kedua komoditas tertinggi, dari sisi pengeluaran setelah beras. Adapun di perkotaan pengeluaran masyarakat untuk beras 20,3 persen dan rokok 11,9 persen. Sedangkan di desa, 24 persen pengeluaran untuk beras dan diikuti rokok dengan 11,24 persen. Artinya, dibandingkan komoditas lain, terutama bagi masyarakat keluarga miskin, lebih memilih rokok daripada untuk tingkatkan produktivitas, daya tahan, kesehatan untuk sumber protein, seperti ayam telur dan berbagai kebutuhan tempe, roti, dan lain-lain. Rokok jelas sangat jauh lebih tinggi,” ungkap Sri Mulyani.

Ia juga berharap, angka prevalensi merokok anak usia 10 tahun—18 tahun dapat menurun dari level 9 persen di tahun 2021 menjadi 8,7 persen pada tahun 2024. Sri Mulyani menegaskan, pengendalian konsumsi rokok sangat penting karena sebagaimana Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024, pemerintah berusaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).

“Konsumsi rokok meningkatkan risiko stunting dan memperparah dampak COVID-19 bagi mereka yang merokok. Keluarga perokok memiliki anak stunting 5,5 persen lebih tinggi dibandingkan keluarga bukan perokok,” ujarnya.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version