Menu
in ,

Realisasi Insentif Pajak Rendah Bukti Ekonomi Pulih

Pajak.com, Jakarta – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi pemanfaatan insentif pajak pada program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mencapai Rp 500 miliar per 28 April 2022. Kepala BKF Kemenkeu Febrio Natha Kacaribu justru menilai, realisasi pemanfaatan insentif pajak rendah berarti membuktikan ekonomi nasional semakin pulih.

“Kami melihat adanya tapering pada sektor-sektor yang sudah pulih. Artinya, memang sektor-sektor kemudian banyak yang pulih. Bila sektor tersebut pulih, maka biasanya pemanfaatan insentif berkurang. Ini malah menjadi pertanda yang baik,” kata Febrio dalam acara Tanya BKF, yang digelar secara virtual, (13/5).

Ia menjelaskan, realisasi insentif pajak sangat berbeda dengan karakteristik penyerapan anggaran klaster PEN lainnya, seperti bantuan langsung tunai desa atau sembako di klaster Perlindungan Masyarakat atau insentif tenaga kesehatan atau vaksinasi pada klaster Penanganan Kesehatan.

“Pemanfaatan insentif pajak tergantung pada kebutuhan dunia usaha, sedangkan penyaluran berbagai bantuan sosial sudah terdaftar sejak awal sehingga realisasinya akan sesuai dengan prediksi atau ekspektasi pemerintah,” kata Febrio.

Ia mengungkapkan, sebenarnya pemerintah telah mengurangi alokasi insentif pajak dalam klaster Penguatan Pemulihan Ekonomi di program PEN. Namun, penyerapannya tetap rendah. Secara total, realisasi anggaran pada klaster Penguatan Pemulihan Ekonomi juga tergolong masih minim, yaitu Rp 9,22 triliun atau 5,2 persen dari pagu Rp 178,32 triliun. Selain insentif pajak, klaster Penguatan Pemulihan Ekonomi terdiri dari dukungan untuk pariwisata; teknologi dan informasi; serta usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Kendati rendah realisasinya, Febrio memastikan, pemerintah akan terus memberikan insentif pajak sesuai dengan ketentuan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 3 Tahun 2022, insentif pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25, PPh Pasal 22 impor, dan PPh final jasa konstruksi ditanggung pemerintah berakhir hingga Juni 2022.

Sementara, dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 5 Tahun 2022, ada pemberian insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor ditanggung pemerintah dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rumah ditanggung pemerintah hingga September 2022.

“Di satu sisi, kami siap dengan insentif, tetapi di sisi lain pemulihan ekonomi membuat pemanfaatan menjadi tidak setinggi yang kami siapkan. Namun, ini tetap pertanda baik. Jadi, pemerintah berharap dunia usaha tetap menggunakan insentif untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional,” ujar Febrio.

Ia mengatakan, perekonomian nasional kian membaik seiring terkendalinya pandemi COVID-19. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, perekonomian nasional pada kuartal I-2022 (Januari—Maret) berada dalam zona positif, yaitu tumbuh 5,01 persen. Dibandingkan tahun lalu di periode yang sama, pertumbuhan nasional masih terkontraksi 0,74 persen.

“Perekonomian kita terus pulih, terus semakin tinggi di atas level PDB (Produk Domestik Bruto) 2019. Kebijakan pemerintah saat ini adalah terus memprioritaskan pemulihan ekonomi agar bisa berjalan dengan kuat dan semakin konsisten. Di saat yang sama, kita pastikan bahwa daya beli masyarakat kita kelola sebaik-baiknya sehingga kebijakan pemerintah dalam konteks ini terus bisa menjadi shock absorber untuk masyarakat kita bisa terjaga,” kata Febrio.

Namun, masih terdapat risiko yang mungkin harus dihadapi, antara lain kebijakan Zero Covid Policy dari Tiongkok dan kondisi geopolitik Rusia-Ukraina.

“Risiko mungkin yang harus kita hadapi adalah beberapa negara, seperti Tiongkok yang menerapkan Zero Covid Policy itu mengakibatkan kontraksi di aktivitas manufakturnya. Sementara Rusia yang terkait dengan geopolitik itu masih dalam konteks kontraksi. Ini risiko yang masih harus kita hadapi dalam konteks perekonomian globalnya,” jelas Febrio.

Selain itu, inflasi juga menjadi hal yang harus diperhatikan dan diantisipasi dengan cepat dan tepat. Walaupun saat ini kondisi inflasi di Indonesia masih relatif rendah bila dibandingkan dengan banyak negara, yakni sebesar 3,5 persen di bulan April—masih sejalan dengan outlook pemerintah.

Febrio menyebutkan, beberapa negara sudah melakukan kebijakan moneter yang cukup kuat. Misalnya, Rusia, Meksiko, dan Afrika Selatan mampu merespons inflasi dengan kenaikan suku bunga acuannya. Sebaliknya, Amerika Serikat masih belum berhasil menyesuaikan kebijakan moneter, sehingga inflasi mencapai sekitar 8 persen.

“Ini menjadi antisipatif bagi kita karena kita juga harus melihat bahwa kemungkinan kenaikan suku bunga ini akan semakin cepat dalam beberapa bulan ke depan, sehingga dampaknya bagi perekonomian global dan domestik harus diantisipasi dengan baik,” tambah Febrio.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version