Menu
in ,

Program Tax Amnesty Dimulai 1 Januari 2022

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah akan menyelenggarakan program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak mulai 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022. Program ini populer disebut oleh publik sebagai Pengampunan Pajak atau tax amnesty jilid II.

Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak telah tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang akan segera dibawa ke Sidang Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang (UU).

“Wajib Pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta tersebut,” tulis Pasal 5 Ayat (1) Bab V dalam RUU HPP.

Adapun definisi Harta bersih masih mengacu dalam UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yaitu nilai harta dikurangi nilai utang dan merupakan harga yang diperoleh Wajib Pajak (WP) sejak 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015. Harta bersih ini dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final, dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.

Mengenai tarif, ada beberapa ketentuan yang ditetapkan dalam Bab V Pasal 5 RUU HPP, yaitu:

  • 6 persen atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Indonesia, dengan ketentuan diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam (SDA), energi baru terbarukan (EBT), atau Surat berharga Negara (SBN).
  • 8 persen atas harta bersih yang tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA, EBT, atau SBN.
  • 6 persen atas harta bersih yang berada di luar wilayah Indonesia dengan ketentuan dialihkan ke dalam Indonesia dan diinvestasikan kepada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA, EBT, atau SBN.
  • 8 pesen atas harta bersih yang berada di luar Indonesia dan dialihkan ke dalam wilayah Indonesia tetapi tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA, EBT, atau SBN.
  • 11 persen atas harta bersih yang berada di luar Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Indonesia.

Sementara, pedoman untuk menghitung besaran jumlah harta bersih ditentukan oleh beberapa hal, yakni:

  • Nilai nominal, untuk harga berupa kas atau setara kas.
  • Nilai yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu nilai jual obyek pajak untuk tanah dan/atau bangunan dan nilai jual kendaraan bermotor.
  • Nilai yang dipublikasikan oleh PT Aneka Tambang Tbk (Antam) untuk emas dan perak.
  • Nilai yang dipublikasikan oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk saham dan waran.
  • Nilai yang dipublikasikan oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia untuk SBN dan efek bersifat utang dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh perusahaan.

Namun, dengan catatan semua itu sesuai kondisi dan keadaan harta pada tahun pajak terakhir. Bila tidak terdapat nilai yang dapat dijadikan pedoman, maka harta ditentukan berdasarkan hasil penilaian kantor jasa penilai publik.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara memandang, program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak merupakan kebijakan yang sama dengan tax amnesty jilid I pada tahun 2016—2017. Maka tak heran jika publik menyebut program baru ini dengan sebutan tax amnesty jilid II.

Dengan demikian, menurutnya, program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak merupakan sebuah kesalahan fatal yang diakomodir ke dalam RUU HPP.

“Bukannya kepatuhan pajak yang didorong tapi justru memberikan ruang bagi Wajib Pajak yang tidak ikut tax amnesty 2016 lalu. Akibatnya, bisa menimbulkan ketidakadilan kepada Wajib Pajak yang ikut, sehingga justru ada penurunan kepercayaan terhadap pemerintah karena tax amnesty ternyata berulang. Kalau ada tax amnesty jilid II, kenapa tidak mungkin ada tax amnesty jilid III? Akibatnya, tax amnesty dijadikan peluang bagi pengemplang pajak,” kata Bhima kepada Pajak.com melalui telepon, pada (1/10).

Selain itu, di dalam RUU HPP juga tidak menjelaskan mekanisme screening harta WP yang ikut tax amnesty, misalnya melalui penugasan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Menurut Bhima, selama tidak ada screening dan pengawasan, bisa saja harta yang dilaporkan adalah harta hasil money laundry (pencucian uang), kejahatan, atau aset hasil penghindaran pajak lintas negara.

“Justru tax amnesty jilid II memberi ruang bagi kejahatan finansial antarnegara. Merasa dapat pengampunan maka tidak perlu ada konsekuensi hukumnya,” tambah alumnus Universitas Bradford Inggris ini.

Bhima lantas mengutip Pasal 6 Ayat 6 dalam RUU HPP, “Data dan informasi yang bersumber dari surat pemberitahuan pengungkapan harta dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.

Ia mengakui, tarif dalam program Pengampunan Sukarela Wajib Pajak lebih tinggi daripada tax amnesty jilid I di tahun 2016. Namun, ia meyakini tarif itu tidak akan berdampak siginifikan terhadap penerimaan maupun rasio pajak secara berkelanjutan.

“Pada tahun 2017, rasio pajak tercatat 9,9 persen kemudian setelah tax amnesty hingga 2020 tax ratio turun ke 8,3 persen. Tax amnesty hanya membantu dalam satu tahun fiskal saja, sangat temporer. Faktor ini disebabkan karena follow up terhadap data tax amnesty tidak dilakukan secara serius. Justru tax amnesty menjadi insentif bagi pelaku usaha untuk terus lakukan penghindaran pajak,” ungkap Bhima.

Selain itu, alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menganalisis, program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak berpihak pada sektor pengolahan SDA dan lembaga keuangan yang menerbitkan SBN.

“Misalnya mau masuk ke smelter nikel itu diuntungkan sekali dengan tax amnesty jilid II. Karena ada klausul detail dalam Pasal 5 Ayat 7 bahwa investasi di sektor pengolahan SDA akan mendapat pajak lebih rendah daripada non-SDA. Akan ada banjir investasi di pengolahan barang tambang. Kemudian, yang berkaitan dengan lembaga keuangan yang mendapat fee dari penerbitan SBN. Karena investasinya didorong beli SBN pemerintah maka pasar surat utang jadi menarik,” kata Bhima.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version