Menu
in ,

Presidensi Indonesia Krusial untuk Konsensus Pajak Digital

Presidensi Indonesia Krusial untuk Konsensus Pajak Digital

FOTO: IST

Pajak.com, Italia – Indonesia telah resmi melanjutkan estafet Presidensi G20 untuk tahun 2022. Oleh karena itu, Presidensi Indonesia menjadi sangat krusial untuk mencapai beragam konsensus global, khususnya mengenai pajak digital.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, Presidensi Indonesia terus menyerukan pentingnya reformasi perpajakan global yang lebih adil melalui forum G20, khususnya mengenai konsensus pajak digital. Hal ini sesuai dengan pernyataan Presiden Jokowi pada pidatonya di pertemuan tingkat kepala negara G20 di Roma, Italia yang berlangsung tanggal 30—31 Oktober 2021 lalu.

Sejatinya, semenjak pertemuan terakhir forum G20 di bulan Juli 2021, diskusi terus menunjukkan perkembangan yang baik. Terdapat peningkatan jumlah negara anggota OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang telah menyetujui Two Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy atau yang selanjutnya disebut dengan Solusi Dua Pilar Pajak Digital, yaitu menjadi 136 negara. Jumlah ini meningkat dari yang sebelumnya 132 negara anggota. Artinya, hanya tinggal empat negara lagi untuk mencapai konsensus global.

Febrio menjelaskan, Konsensus pajak Pilar 1 mengandung pengalokasian hak pemajakan secara adil ke negara yang cenderung menjadi pasar produk barang dan jasa digital (negara pasar). Sementara Pilar 2, yakni memberi kepastian semua perusahaan multinasional (multinational enterprise /MNE) membayar pajak minimum di semua tempat MNE itu beroperasi.

“Pilar 1 dan Pilar 2 akan dituangkan dalam suatu konvensi multilateral yang rencananya akan mulai ditandatangani pada pertengahan 2022 dan berlaku efektif pada tahun 2023. Oleh karena itu, kepemimpinan Indonesia dalam forum G20 tahun 2022 menjadi sangat krusial agar target tersebut dapat direalisasikan tepat waktu,” kata Febrio dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.compada (1/11).

Ia lantas mengelaborasi bahwa Pilar 1 mencakup MNE dengan peredaran bruto 20 miliar euro dan tingkat keuntungan di atas 10 persen. Keuntungan MNE ini kemudian dibagikan kepada negara pasar jika MNE itu memperoleh setidaknya 1 juta euro atau 250 ribu euro untuk negara pasar dengan produk domestik bruto (PDB) lebih kecil dari 40 miliar euro.

“Salah satu perkembangan dari kesepakatan G20/BEPS Juli 2021, adalah pengalokasian 25 persen keuntungan MNE ke negara pasar. Pengaturan yang semakin konkret ini adalah perkembangan sangat baik. Dengan alokasi 25 persen, maka sistem perpajakan menjadi lebih adil dibandingkan saat ini, di mana tidak ada alokasi pajak untuk negara pasar tanpa adanya bentuk usaha tetap (BUT). Padahal sebagian besar MNE yang menjual barangnya di Indonesia bukan merupakan BUT, melainkan hanya kantor perwakilan saja sehingga tidak bisa dipajaki,” lanjut Febrio.

Selanjutnya, Pilar 2 mengenakan tarif pajak minimum pada MNE yang memiliki peredaran bruto tahunan sebesar EUR 750 juta atau lebih. Pilar 2 yang dikenal dengan sebutan Global anti-Base Erosion (GLoBE) ini juga akan memastikan MNE dikenakan tarif pajak minimum sebesar 15 persen. Menurut Febrio, dengan pajak minimum pada Pilar 2 berimplikasi positif karena tidak akan ada lagi persaingan tarif yang tidak sehat di antara negara-negara yang selama ini terjadi.

Laporan OECD berjudul “Statement on A Two-Pillar Solution to Address Tax Challenges Arising From the Digitalization of the Economy” juga menyebutkan, pilar dua akan melindungi hak negara-negara berkembang untuk mengenakan pajak penghasilan (PPh) tertentu (seperti bunga dan royalti) menjadi minimal sebesar 9 persen.

“Makna Pilar 2 yang pengaturannya semakin detail ini ada dua. Indonesia bisa meningkatkan penerimaan pajak yang semula terhambat praktik penghindaran pajak dengan pemberlakuan tarif yang rendah. Namun di saat yang sama, dengan adanya tarif pajak minimum, Indonesia juga akan meninjau ulang rezim fasilitas pajak yang diberikan kepada MNE. Sebab, kalaupun mengenakan tarif pajak lebih rendah dari tarif minimum tadi, negara lain akan mengenakan pajak tambahan hingga mencapai tarif minimum,” jelas Febrio.

Berdasarkan kajian ekonomi yang dilakukan OECD, terdapat tambahan pajak PPh hingga 4 persen atau sekitar 150 miliar dollar AS per tahun dengan pengenaan pajak minimum melalui Pilar 2. Selain itu, terdapat tambahan 125 miliar dollar AS setiap tahun yang dapat dialokasikan ke negara pasar, termasuk Indonesia.

Selain itu, terdapat perkembangan terbaru untuk menghapus pajak jasa digital atau digital services tax (DST) yang diterapkan oleh beberapa negara sebagai langkah sementara. Meskipun menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat mengingat DST saat ini sudah diterapkan di berbagai negara, termasuk Malaysia, Kanada, India, dan Uni Eropa.

“Perkembangan di tingkat multilateral ini termasuk salah satu amanah besar yang harus dieksekusi dalam Presidensi Indonesia di G20 pada 2022 nanti. Persetujuan pajak global ini adalah titik terang dari pertarungan panjang kita melawan penggerusan basis pajak dan penggeseran laba yang kita kenal dengan base erosion and profit shifting,” kata Febrio.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version