Penerimaan Pajak Bruto Indonesia Alami Kontraksi, Tembus Rp298,87 Triliun Hingga Februari 2025
Pajak.com, Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat bahwa penerimaan pajak bruto Indonesia hingga Februari 2025 mencapai Rp298,87 triliun. Namun, laju pertumbuhan penerimaan pajak melambat dibandingkan periode sebelumnya.
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu mengungkapkan bahwa perlambatan ini disebabkan oleh berbagai faktor, terutama penurunan harga komoditas global.
Menurut Anggito, tren penerimaan pajak memiliki pola musiman, di mana penerimaan pajak Desember biasanya lebih tinggi akibat momentum Natal dan akhir tahun anggaran, sementara Januari-Februari cenderung mengalami penurunan.
“Penerimaan pajak Desember 2024 hingga Februari 2025 [Rp182,3 triliun] menunjukkan sedikit peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, [Rp180,1 triliun],” ujar Anggito dalam konferensi pers, di Jakarta pada Kamis (13/3/2025).
Meski begitu, penerimaan pajak pada Januari-Februari 2025 tercatat lebih lambat dibandingkan periode yang sama tahun 2024 yang tercatat sebesar Rp329,8 triliun.
Salah satu penyebab utama perlambatan penerimaan pajak adalah melemahnya harga komoditas yang berkontribusi besar terhadap pendapatan negara. Beberapa komoditas utama yang mengalami penurunan harga antara lain:
- Batu bara turun 11,8 persen.
- Minyak Brent turun 5,2 persen.
- Nikel turun 5,9 persen.
Penurunan harga komoditas ini berdampak langsung pada penerimaan pajak dari sektor pertambangan dan industri terkait.
Tren Penerimaan Pajak Bruto 2022-2025
Jika dilihat dari tren penerimaan pajak bruto dari periode Desember hingga Februari dalam beberapa tahun terakhir, terdapat kenaikan rata-rata penerimaan meski laju pertumbuhannya melambat:
- Tahun 2022: Rp147 triliun.
- Tahun 2023: Rp166,4 triliun.
- Tahun 2024: Rp180,1 triliun.
- Tahun 2025: Rp182,3 triliun.
Meski mengalami peningkatan secara tahunan, laju pertumbuhan penerimaan pajak pada 2025 lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Lebih rinci, penerimaan pajak per jenis pajak yang terkait dengan aktivitas ekonomi. Di antaranya yakni, Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 sebesar Rp21,2 triliun. Penerimaan ini dipengaruhi oleh kebijakan Tarif Efektif Rata-rata (TER) yang mulai berlaku pada Januari 2024. Kebijakan ini menyebabkan lebih bayar sebesar Rp16,5 triliun di tahun 2024 yang diklaim kembali pada Januari-Februari 2025.
Jika faktor klaim lebih bayar ini dinormalisasi, penerimaan PPh Pasal 21 periode Desember 2024 – Februari 2025 tetap lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Kemudian, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri yang mengalami pertumbuhan positif meskipun mengikuti pola musiman. Penerimaan PPN dalam negeri pada Januari 2025 lebih rendah dibandingkan Desember 2024. Namun, pemerintah memberikan relaksasi pembayaran PPN selama 10 hari, sehingga Wajib Pajak dapat membayar hingga 10 Maret 2025.
Jika dampak relaksasi ini diperhitungkan, rata-rata penerimaan PPN dalam negeri untuk Desember 2024 – Februari 2025 mencapai Rp69,5 triliun, tumbuh 8,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Selanjutnya, PPh Pasal 25 Badan tercatat dengan rata-rata sebesar Rp24,6 triliun. Anggito menjelaskan bahwa PPh Pasal 25 Badan masih mengikuti pola normal, meskipun ada sedikit perlambatan, seiring dengan harga beberapa komoditas yang melemah.
“Dengan PMI yang ekspansif dan konsumsi listrik bisnis dan industri yang tumbuh positif, diharapkan kondisi penerimaan akan membaik,” jelas Anggito.
Sementara itu, perkembangan PPN Impor tumbuh positif sejalan dengan pertumbuhan volume impor migas dan nonmigas sebesar 21,1 persen secara tahunan.
“Kinerja ini utamanya didukung oleh pertumbuhan Impor pada sektor Industri Pengolahan sebesar 12,5 persen, khususnya pada subsektor: Industri Kendaraan Bermotor, Industri Logam Dasar, Industri Kimia, dan Farmasi,” jelasnya.
Comments