in ,

Penerimaan Pajak 2025 Diperkirakan Lesu, Ekonom UGM Ungkap Faktor Utamanya!

Penerimaan Pajak 2025
FOTO: IST

Penerimaan Pajak 2025 Diperkirakan Lesu, Ekonom UGM Ungkap Faktor Utamanya!

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah menargetkan penerimaan pajak tahun 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun atau naik sekitar 13,29 persen dibandingkan realisasi tahun sebelumnya. Namun, dengan realisasi penerimaan pajak 2024 yang hanya mencapai 97,2 persen dari target, pencapaian target tahun depan diprediksi tidak mudah. Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Rijadh Djatu Winardi, mengungkapkan sejumlah faktor utama yang berpotensi menghambat penerimaan pajak tahun depan.

Salah satu tantangan utama dalam pencapaian target pajak adalah melemahnya daya beli masyarakat. Rijadh menilai bahwa potensi penurunan daya beli akan berdampak langsung pada konsumsi, yang akhirnya mempengaruhi penerimaan pajak dari sektor tersebut.

“Potensi penurunan daya beli masyarakat masih menjadi ancaman nyata bagi perekonomian negara. Jika daya beli masyarakat melemah, tentu akan berdampak pada konsumsi dan pada akhirnya mempengaruhi penerimaan pajak dari sektor tersebut,” kata Rijadh sebagaimana dikutip Pajak.com dari laman resmi UGM pada Jumat (28/2/2025).

Selain itu, tingkat kepatuhan Wajib Pajak juga dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ketidakpercayaan yang meningkat belakangan ini dapat berakibat pada menurunnya kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya. “Pemerintah perlu bekerja keras dan menerapkan strategi yang tepat untuk mencapai target tersebut,” tambahnya.

Baca Juga  IKAPRAMA dan IKPI Jaksel Bantu UMKM Hindari Kesalahan Pelaporan SPT Tahunan 

“Core Tax” Masih Bermasalah, Hambat Administrasi Pajak

Rijadh juga menyoroti implementasi core tax sebagai salah satu faktor yang bisa memperlambat penerimaan pajak. Sistem yang diluncurkan pada Januari 2024 ini bertujuan untuk memperbaiki tax gap dan meningkatkan manajemen basis data perpajakan di Indonesia. Namun, sejak peluncurannya, core tax masih menghadapi berbagai kendala teknis.

“Kapasitas dan arsitektur sistem core tax belum didesain untuk skalabilitas tinggi, sehingga sistem mudah mengalami service disruptions ketika volume data melonjak. Infrastruktur server yang digunakan nampaknya belum dioptimalkan untuk menangani high-volume data processing dan kompleksitas transaksi perpajakan dalam skala besar,” jelasnya.

Sebagai perbandingan, Rijadh mencontohkan keberhasilan MyTax Portal Inland Revenue Authority of Singapore (MyTax IRAS) yang sudah berjalan sejak 2007. Ia menilai bahwa sistem yang lebih matang dan stabil seperti MyTax IRAS dapat menjadi referensi bagi pengembangan core tax ke depan. “Skala users yang berbeda antara Indonesia dan Singapura tentu tidak sama jika mau dibandingkan, sehingga jika sistem di Singapura bermasalah ya bisa ditangani dengan cepat,” ujarnya.

PPN 12 Persen Ditunda, Apa Dampaknya?

Selain core tax, kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang batal berlaku tahun ini juga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Secara teori, kenaikan PPN diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara. Namun, Rijadh menilai bahwa kebijakan ini perlu ditinjau kembali karena berpotensi menekan daya beli masyarakat menengah ke bawah dan meningkatkan inflasi.

Baca Juga  DJP Sebut “Core Tax” Sudah Administrasikan 136 Juta Faktur Pajak per 16 Maret

Di sisi lain, penerapan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk Pajak Penghasilan (PPh) 21 bisa menjadi langkah positif dalam penyederhanaan administrasi perpajakan bagi karyawan. Meskipun tidak menjadi faktor utama dalam peningkatan penerimaan pajak, kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pajak.

Jika target penerimaan pajak 2025 tidak terpenuhi, dampaknya bisa sangat luas terhadap perekonomian nasional. Rijadh menjelaskan bahwa hal ini bisa menyebabkan penurunan belanja pemerintah, pelebaran defisit anggaran, hingga perlambatan pertumbuhan ekonomi.

“Secara umum yang mungkin terjadi adalah penurunan belanja pemerintah, defisit anggaran yang kian melebar sehingga memaksa pemerintah untuk meningkatkan rasio utang, perlambatan pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat menurun, hingga ketidakstabilan ekonomi negara,” katanya.

Untuk mengatasi tantangan penerimaan pajak, Rijadh menyarankan agar pemerintah menjajaki sumber pajak alternatif guna mengurangi ketergantungan pada PPN dan PPh. Beberapa opsi yang bisa dipertimbangkan adalah:

1. Pajak Kekayaan

Baca Juga  Kanwil DJP Jatim I Imbau Wajib Pajak Waspada Penipuan, Ini Modusnya!

Pajak ini dikenakan pada nilai aset kekayaan seseorang dengan tarif yang umumnya di bawah 3,5 persen di beberapa negara.

2. Pajak Produksi Batu Bara

Penerimaan dari pajak ini dihitung berdasarkan volume produksi batu bara yang dihasilkan.

3. Windfall Tax

Pajak ini dikenakan pada keuntungan tidak terduga yang diperoleh perusahaan atau individu akibat lonjakan harga komoditas. Sebagai contoh, Inggris menerapkan windfall tax sebesar 25 persen pada perusahaan minyak dan gas pada 2022 akibat lonjakan harga bahan bakar.

“Tentunya semua alternatif ini tetap memerlukan kajian mendalam, kecermatan kebijakan, dan political will,” jelas Rijadh.

Meskipun target penerimaan pajak 2025 terbilang berat dan berisiko tidak tercapai, Rijadh mengajak masyarakat untuk tetap optimis. Pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi seperti intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, serta perbaikan administrasi perpajakan. Selain itu, efisiensi anggaran juga menjadi salah satu kunci dalam menjaga stabilitas fiskal.

“Penting juga bagi kita semua untuk memberikan dukungan kepada pemerintah dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak. Dengan penerimaan pajak yang kuat, pemerintah dapat memiliki sumber daya yang cukup untuk menjalankan program-program pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *