Menu
in ,

Pajak Karbon Ditunda Juli 2022

Pajak Karbon Ditunda

FOTO: BKF 

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah memutuskan untuk pemberlakuan pajak karbon ditunda dari yang sebelumnya dimulai 1 April 2022 menjadi Juli 2022. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan, penundaan dilakukan karena pemerintah masih ingin menyusun peraturan perundangan yang komprehensif dan konsisten, yaitu dengan mengharmonisasikan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.

“Dalam Perpres 98 Tahun 2021 ini juga ada pokok-pokok pengaturan tentang pasar karbon dan kami ingin mengkoneksikan keduanya secara konsisten antara satu dengan yang lain, sehingga peraturan perundangan makin komprehensif. Sehingga, kami melihat ruang untuk menunda penerimaan dari pajak karbon ini ke sekitar bulan Juli,” ungkap Febrio dalam Konferensi Pers APBN KiTa (Kinerja dan Fakta), yang disiarkan secara virtual, (28/3).

Selain itu, ia menuturkan, saat ini pemerintah tengah fokus memastikan suplai dari sebagian kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan dan Idulfitri. Pemerintah berupaya menjaga pergerakan harga menjadi stabil agar tidak mengganggu daya beli masyarakat.

“Kami akan pastikan suplai terjaga, sehingga harga dan daya beli masyarakat, khususnya dalam menghadapi Ramadan dan Idulfitri tetap terjaga. Fokus kami pastikan kesejahteraan dan daya beli,” jelas Febrio.

Hal senada juga diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ia menegaskan, penundaan implementasi pajak karbon disebabkan oleh rencana penerapan yang belum matang. Pemerintah ingin memastikan implementasi pajak karbon dapat mengusung prinsip keadilan bagi pelaku usaha dengan tetap memerhatikan kelestarian lingkungan dan masyarakat bawah.

“Pajak karbon roadmap belum 100 persen selesai, sehingga kami akan lebih mempersiapkan untuk bisa dilaksanakan di pertengahan tahun,” jelas Sri Mulyani.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan, berdasarkan UU HPP, pajak karbon ditetapkan sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Mekanisme penerapan pajak karbon dilakukan secara bertahap dan akan dimulai pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Pemerintah menetapkan ambang batas pelepasan emisi yang kemudian disebut cap (batas emisi). Artinya, perusahaan tidak akan dikenakan pajak karbon bila emisi yang dilepaskan masih di bawah atau setara dengan batas emisi ketentuan pemerintah.

“Jika emisi yang dilepaskan melebihi ambang batas, maka pengusaha diberikan dua pilihan, membeli karbon kredit untuk kelebihan karbon yang dilepaskan atau membayarkan pajak karbon sesuai dengan kelebihan emisi. Kalau perusahaan memilih membeli karbon kredit di pasar karbon, tidak perlu membayarkan pajak karbon. Begitu juga sebaliknya, kalau pilih bayar pajak karbon, pengusaha tidak perlu membeli karbon kredit. Nah, kalau karbon kredit yang dibeli masih kurang untuk memenuhi ambang batas yang ditetapkan, perusahaan boleh membayarkan sisa kelebihan karbon dalam bentuk pajak karbon lagi,” jelas Sua.

Ia mengatakan, saat ini pemerintah masih mendesain kebijakan pajak karbon untuk semua jenis usaha yang menghasilkan karbon. Untuk tahap awal, skema itu akan diterapkan kepada pembangkit tenaga listrik.

“Khususnya, batu bara yang dalam aktivitasnya menghasilkan karbondioksida. PLTU ini, kan, sudah jelas pemiliknya, sebagian besar juga punya PLN (PT Perusahaan Listrik Negara). Pemerintah juga sudah melakukan uji coba. Ini (pajak karbon) menunjukkan kita serius dengan green economy dan kita masih desain mekanismenya,” tambah Sua.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version