Menu
in ,

Menakar Dampak Kenaikan PPN 11 Persen

Pajak.com, Jakarta – Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), salah satunya telah menetapkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen mulai 1 April 2022. UU itu telah disahkan sejak 7 Oktober 2021 lalu. Namun, mendekati masa pemberlakuan tarif PPN baru, pro dan kontra kembali mencuat seiring dengan gejolak ekonomi domestik dan global. Ekonom, pengusaha, bahkan anggota dewan memberikan pandangan dan rekomendasinya. Di sisi lain, pemerintah tetap memberi sinyal bahwa kenaikan PPN mesti dijalankan sesuai amanat UU.

Pajak.com mencoba mengurai pandangan dan argumen seluruh pihak,  khususnya untuk menakar dampak kenaikan PPN bagi masyarakat secara lebih komprehesif.

Dasar kenaikan PPN

Terlebih dahulu Pajak.com mengajak pembaca untuk mengetahui latar belakang pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat menaikkan PPN menjadi 11 persen dari yang sebelumnya sebesar 10 persen mulai 1 April 2022. Kemudian, bertahap naik 12 persen di Januari tahun 2025.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjelaskan, perubahan atas UU PPN telah mengatur mengenai perluasan basis PPN dengan melakukan pengurangan pengecualian dan fasilitas PPN. Hal ini agar lebih mencerminkan keadilan dan tepat sasaran, dengan tetap menjaga kepentingan masyarakat maupun dunia usaha.

“Pengaturan ini dimaksudkan bahwa perluasan basis PPN dilakukan dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan, asas kemanfaatan, khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum dan asas kepentingan nasional, sehingga optimalisasi penerimaan negara diselenggarakan dengan tetap mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum,” jelas Yasonna Laoly.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, tarif PPN Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara negara di dunia, yaitu rata-rata 15,4 persen. Sebut saja Filipina (12 persen), Tiongkok (13 persen), Arab Saudi (15 persen), Pakistan (17 persen), dan India (18 persen). Selain itu, saat menetapkan kebijakan (2021), pemerintah dan DPR memandang ekonomi Indonesia tahun 2022 akan semakin pulih.

Dirjen Pajak Suryo Utomo menambahkan, bertumbuhnya kelompok kelas menengah (middle-class) dengan proporsi konsumsi yang cukup besar juga menjadi peluang yang sangat penting sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks ini, UU HPP menjadi cukup krusial untuk memanfaatkan peluang bertumbuhnya kelompok middle-class. Dengan begitu, penyesuaian peraturan PPN pada UU HPP sejatinya telah mempertimbangkan peluang naiknya konsumsi masyarakat yang didorong oleh bertumbuhnya kelompok middle-class itu.

Di lain sisi, pemerintah membebaskan PPN untuk barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan. Bahkan, pemerintah baru saja mengumumkan untuk membebaskan PPN sembako premium (beras dan daging). Suryo memastikan, perluasan basis PPN memang untuk mengoptimalkan penerimaan negara, namun pemerintah tetap mempertimbangkan asas keadilan dan kemanfaatan.

Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo menyebutkan, kenaikan tarif PPN diyakini menjadi salah satu kebijakan yang paling berpotensi meningkatkan penerimaan pajak. Sebagai gambaran, pada tahun 2021, realisasi penerimaan PPN (10 persen) tercatat Rp 551 triliun. Apabila tarif PPN pada tahun ini naik sebanyak 1 persen, maka ada potensi tambahan penerimaan pajak atas konsumsi sekitar Rp 55,1 triliun. Potensi kenaikan ini sangat berarti. Apalagi tahun 2022 merupakan batas akhir pemerintah melonggarkan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) lebih dari 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

“Nah, kenaikan PPN menjadi 11 persen itu juga akan berdampak pada indikator makro ekonomi lainnya, bisa ke pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar rupiah. Tax ratio juga kemungkinan di bawah proyeksi,” kata Andreas.

Berpotensi dorong inflasi 

Kendati demikian, berdasarkan kacamata ekonom yang merupakan Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, kenaikan PPN menjadi 11 persen diperkirakan bakal mendorong inflasi pada April 2022, yakni berada di atas 1,4 persen secara bulanan dan secara tahunan diperkirakan berada direntang 3—4 persen. Hal ini tidak sepadan dengan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang relatif kecil, hanya 1,09 persen—tidak akan mengangkat konsumsi para pekerja dengan cukup optimal. Artinya, kenaikan PPN di tengah perkembangan UMP yang minim akan memengaruhi daya beli masyarakat.

“Kebijakan perpajakannya tidak mengakomodasi kepentingan para pekerja. Ini menurut saya cukup berisiko sebenarnya, menghambat daya beli masyarakat yang sekarang sedang dalam pemulihan. Penjualan ritel akan terpengaruh,” kata Bhima.

Selanjutnya, inflasi nantinya juga bisa membuat bank sentral melakukan penyesuaian suku bunga lebih cepat. Menurut Bhima, suku bunga acuan yang lebih cepat dinaikkan akan berdampak pada kenaikan biaya produksi di level produsen dan dapat diteruskan hingga ke level konsumen. Sementara itu, ada pula risiko dari sisi kenaikan harga pokok makanan saat Ramadan yang jatuh pada April 2022.

Kemudian, kenaikan PPN juga akan berpengaruh pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik untuk nonsubsidi, serta penyesuaian harga liquefied petroleum gas (LPG) nonsubsidi untuk kesekian kalinya.

“Karena melihat pergerakan harga minyak mentah dunia sudah di atas 118 dollar AS per barel. Jadi ini salah satu kekhawatiran, seiring berlanjutnya tren harga energi global yang meningkat di tengah tren invasi Rusia ke Ukraina,” terang Bhima.

Khawatir biaya produksi Naik

Kekhawatiran senada juga diungkap Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Persatuan Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja. APPBI bahkan mengusulkan agar pemerintah dapat menunda kenaikan PPN untuk menunggu kondisi perekonomian dan kesehatan di Indonesia membaik seutuhnya. Pemulihan ekonomi dan kesehatan di tanah air diproyeksikan terjadi dua sampai tiga tahun ke depan.

“Kenaikan tarif PPN akan memberatkan kalangan menengah ke atas yang menjadi produsen. Terlebih, di tengah kondisi ketidakpastian global akibat dampak perang Rusia dan Ukraina, pandemi COVID-19 yang belum sepenuhnya pulih. Kenaikan PPN tidak mampu diserap oleh produsen, sehingga mereka akan membebankan kenaikan tersebut kepada harga barang atau produk. Tentunya ini akan menambah lagi potensi kenaikan biaya-biaya,” ungkap Alphonzus.

Di sisi lain, Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bidang Kebijakan Fiskal dan Publik Suryadi Sasmita memandang, kenaikan PPN 1 persen ditaksir tidak akan banyak berpengaruh terhadap biaya pokok produksi. Meski harga bahan baku naik karena situasi ekonomi dan politik dunia; ongkos pekerja, yakni UMP tidak naik. Untuk itu, KADIN mengimbau kepada pengusaha untuk tidak menaikkan harga barang dan jasa.

“Kenaikan satu persen, kecil. Kenaikan-kenaikan (harga) itu hanya bahan baku, sedangkan tenaga kerjanya, UMP tidak naik. Tidak akan banyak terpengaruh dengan kenaikan satu persen,” jelas Suryadi.

Usulan Bansos dan insentif

Namun, KADIN Indonesia mengusulkan, agar fasilitas PPN ditanggung pemerintah (DTP) dapat tetap diberikan untuk barang kebutuhan pokok, seperti minyak goreng dan gula pasir.

Seirama dengan KADIN Indonesia, Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo juga meminta agar pemerintah segera menyusun ramuan kebijakan yang matang apabila ingin tetap memberlakukan kenaikan PPN 11 persen. Ia menyarankan, kajian itu bisa berupa skema pemberian bantuan sosial (bansos) dan insentif terhadap komoditas strategis.

“Misalnya masyarakat diberikan bantalan sosial, contoh pemberian THR (tunjungan hari raya) untuk rakyat. Untuk komoditi-komoditi sifatnya strategis seperti BBM (bahan bakar minyak), bahan-bahan pokok impor, bisa saja PPN ditanggung pemerintah, sampai ekonomi membaik. Supaya kebijakan PPN yang sudah ditetapkan 11 persen bisa dijalankan,” jelas Andreas.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version