Menu
in ,

Manfaat Penggabungan Pajak Hotel, Restoran Jadi PBJT

Manfaat Penggabungan Pajak Hotel, Restoran Jadi PBJT

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah menggabungkan pajak hotel, restoran, penerangan jalan, hingga parkir di daerah menjadi pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) yang telah disahkan Dewan Perwakilan Daerah (DPR). Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Astera Primanto Bhakti memastikan, penyatuan ini akan memberi manfaat bagi Wajib Pajak (WP), utamanya mempermudah administrasi pembayaran dan pelaporan pajak daerah.

Selain itu, restrukturisasi pajak juga bermanfaat bagi pemerintah daerah (pemda) karena dapat memberikan efisiensi layanan perpajakan dan pengawasan.

“Kalau kita lihat aturan yang ada saat ini (sebelum UU HKPD) membuat tujuan-tujuan ini (efisiensi) belum tercapai. Kenyataannya, menimbulkan biaya administrasi dan kepatuhan yang tinggi daripada pendapatan pajak itu sendiri, Jadi nett-nya (penerimaan pajak) tipis. Yang seperti ini seharusnya dilakukan restrukturisasi, jadi harapannya administration cost-nya turun, compliance cost-nya juga turun,” kata pria yang hangat disapa Prima ini, dalam Media Briefing UU HKPD yang dilakukan secara virtual, pada (15/12).

Ia menjelaskan, penggabungan jenis pajak juga dilakukan karena berbagai jenis pajak itu sejatinya masuk dalam satu ranah yang sama, yaitu pajak konsumsi. Artinya, pemda bisa memungut pajak-pajak itu secara bersamaan.

“Penggabungan pajak hotel, restoran, penerangan jalan, hingga parkir dilakukan karena kita ingin mengurangi jenis pajak yang terlalu banyak di daerah. Namun, hal ini tidak berarti objek pajaknya tidak bisa diperluas. Karena Undang-Undang HKPD justru memperbolehkan daerah melakukan perluasan objek pajak, misalnya ke valet parkiring, rekreasi, hiburan,” kata Prima.

Hal serupa juga bisa dilakukan pada retribusi. Pemda diizinkan menambah jenis restribusi asalkan disertai dengan penguatan layanan kepada masyarakat. Sebab sejatinya UU HKPD dirancang untuk mengoptimalkan penerimaan daerah sehingga dapat memberi pelayanan prima kepada publik.

“Kalau yang pajak closed list, jadi kita tidak mau daerah tambah-tambah pajak baru, tapi kalau yang retribusi kita buka, kalau misalnya ada layanan yang memang harus menggunakan retribusi, ya tentunya bisa,” kata Prima.

Kemudian, UU HKPD memperbolehkan daerah menerapkan mekanisme opsen pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), namun tanpa menambah beban kepada WP.

“Mekanisme opsen ini merupakan upaya peningkatan kemandirian daerah kabupaten dan kota. Hal ini untuk menjawab aspirasi dari beberapa pandangan yang menghendaki agar pemerintah kabupaten dan kota dapat memungut PKB khusus roda dua,” kata Prima.

Ia menekankan, kebijakan dalam UU HKPD diharapkan dapat meningkatkan realisasi penerimaan pajak daerah yang selama ini masih cukup rendah, sehingga pemda cenderung bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat. Kemenkeu memproyeksikan, UU HKPD bakal meningkatkan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) hingga 50 persen.

“Terbukti, rasio pembayaran pajak di daerah secara rata-rata cuma 1,2 persen pada 2020. Realisasi ini rendah, meski ada dampak dari pandemi Covid-19,” ungkap Prima.

Dari sisi skema pembiayaan, UU HKPD mendorong penggunaan creative financing untuk akselerasi pembangunan daerah. Namun, creative financing tidak sebatas mekanisme utang, melainkan berbasis sinergi pendanaan atau kerja sama dengan pihak swasta, BUMN/BUMD (Badan Usaha Milik Negara/Daerah), atau daerah lain.

“UU ini juga membuka opsi adanya pembentukan dana abadi daerah, khususnya untuk daerah dengan kapasitas fiskal tinggi dan layanan publiknya relatif telah terpenuhi dengan baik untuk mendorong adanya kemanfaatan lintas generasi,” tambah Prima.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version