Menu
in ,

Mahkamah Konstitusi Tolak Uji Materiil UU HPP

Pajak.com, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima serta menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Adapun permohonan pengujian materiil UU HPP ini diajukan seorang wiraswastawan bernama Priyanto sejak 28 Januari 2022.

Dalam pandangannya, ia sangat berpotensi mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya ketentuan sejumlah pasal dan bab berikut penjelasannya dalam UU HPP, yang diajukan pengujian materiilnya dalam permohonannya. Adapun beberapa materiil yang dimaksud termuat dalam klaster Pajak Penghasilan (PPh), klaster Pajak Pertambahan Nilai (PPN), klaster Program Pengungkapan Sukarela (PPS), klaster pajak karbon, dan klaster cukai.

Ketua MK Anwar Usman bersama delapan hakim konstitusi lainnya memutuskan, pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945, serta tidak menunjukkan argumentasi bagaimana pertentangan antara pasal-pasal a quo dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945.

“Selain itu, pemohon juga tidak menguraikan mengenai kaitan antara kerugian hak konstitusional yang dialami oleh pemohon dengan inkonstitusionalitas norma. Akan tetapi, justru lebih banyak menguraikan adanya potensi kerugian dalam kasus konkret yang nantinya berpotensi akan dialami oleh pemohon, dan juga mengarahkan mahkamah untuk merumuskan norma baru dengan menyatakan pasal yang telah dihapus dalam UU a quo untuk dihidupkan kembali, dengan meminta untuk menambahkan pemaknaan sebagaimana telah pemohon uraikan dalam petitum permohonan a quo,” kata Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dalam sidang Pengucapan Putusan Nomor 19/PUU-XX/2022 secara daring, Kamis (7/7).

Tak hanya itu, menurut MK, argumentasi Priyanto justru belum menggambarkan secara utuh dan jelas adanya pertentangan norma antara pasal yang diuji dengan UUD 1945; khususnya terkait dengan diberlakukannya PPN bagi jasa pendidikan, kebutuhan pokok, jasa medis dan jasa pelayanan sosial, pengampunan pajak, dan cukai yang menurutnya telah menyebabkan tidak adanya jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.

Selanjutnya, hakim juga tidak memahami alasan permohonan pemohon jika dikaitkan dengan petitum, sehingga permohonan Priyanto menjadi tidak jelas atau kabur. Sementara itu, terkait tidak dilibatkannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai pelaksanaan UU HPP yang juga diujikan oleh Priyanto, hakim menilai hal tersebut bukan kewenangan DPD sesuai Pasal 22 UUD 1945. Menurut MK, ada kewajiban bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden untuk meminta pertimbangan DPD atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.

Artinya, secara konstitusional DPD hanya diberi hak untuk memberikan pertimbangan dalam membahas rancangan UU APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Dengan demikian, keikutsertaan dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan di bawah undang-undang terkait dengan pajak, bukanlah menjadi bagian dari kewenangan DPD untuk ikut membahasnya.

Meski begitu, MK menegaskan DPD tetap dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU HPP dan menyampaikannya kepada DPR sesuai kewenangannya. Hingga dibacakan putusan tersebut, MK tidak meminta keterangan pemerintah dan DPR atas perkara ini karena merasa telah cukup jelas untuk memutus perkara.

Di kesempatan berbeda, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengapresiasi majelis hakim MK yang sudah memutus perkara terkait perkara uji materiil UU HPP dengan benar, adil, dan bijaksana.

“Pemerintah sependapat dengan putusan tersebut. Putusan tersebut sangat benar dan adil karena UU HPP diwujudkan berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila untuk mewujudkan masyarakat Indonesia adil, makmur, dan sejahtera. Tidak mungkin bertentangan apalagi menghilangkan hak-hak yang dijamin UUD 1945,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor dari keterangan pers yang diterima Pajak.com.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version