Menu
in ,

Kenaikan PPN Tambah Penerimaan Negara Rp 13,95 T

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen telah memberi tambahan penerimaan negara sebesar Rp 13,95 triliun. Perubahan tarif yang berlaku sejak 1 April 2022 ini diperkirakan dapat memberikan tambahan penerimaan negara sebesar Rp 44 triliun hingga akhir 2022.

Seperti diketahui, kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen merupakan mandat Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Regulasi ini menetapkan kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen di 2022, dilanjutkan kenaikan menjadi 12 persen paling lambat awal 2025, pengurangan fasilitas dan/atau pembebasan PPN, serta menyiapkan tarif PPN final 1 persen-3 persen.

“Tambahan (penerimaan) pajak dari perubahan tarif PPN ini terus naik dalam tiga bulan terakhir. Pada bulan pertama implementasi di April, perubahan tarif sebesar 1 persen ini memberi tambahan setoran pajak Rp 1,96 triliun. Nilainya naik hampir tiga kali lipat pada Mei menjadi Rp 5,74 triliun, kemudian Rp 6,25 triliun pada bulan lalu (Juni). Ini juga menggambarkan bahwa kegiatan ekonominya semakin kuat sehingga PPN makin meningkat,” ungkap Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTA (Kinerja dan Fakta) Juli, yang disiarkan secara virtual (28/7).

Ia juga menyebutkan, berdasarkan perhitungan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF), perubahan ketentuan PPN dalam jangka menengah berpotensi memberi tambahan penerimaan 0,6 persen hingga 0,8 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Secara spesifik, Sri Mulyani juga menuturkan, berkat pemberlakuan pajak kripto pada 1 Mei 2022, negara telah mengantongi Rp 48,19 miliar hingga Juni 2022. Realisasi itu terdiri dari salah satunya dari PPN dalam negeri dari transaksi kripto sebesar Rp 25,11 miliar.

Sebelumnya, Direktur Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama juga telah mengatakan, perubahan tarif PPN menjadi 11 persen akan menambah penerimaan negara sebesar Rp 44 triliun selama pemberlakuan sembilan bulan pada tahun 2022 (Mei-Desemner). Ia memerinci, tambahan penerimaan sebesar Rp 40,7 triliun berasal dari kenaikan tarif umum PPN menjadi 11 persen, sedangkan PPN tarif khusus (tarif final 1 persen-3 persen) akan menambah penerimaan Rp 3,7 triliun. Di sisi lain, dampak kenaikan tarif PPN terhadap inflasi tahun 2022 diproyeksi sebesar 0,4 persen.

“Memang karena harga komoditas global segala macam juga meningkat, mudah-mudahan inflasinya tetap terkendali, tetapi dari sisi kenaikan tarif PPN sendiri ini tidak memberikan dampak yang signifikan,” kata Hestu dikutip dari Media Keuangan yang diterbitkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Ia menjelaskan, kebijakan menaikkan PPN bukan tanpa sebab. Dari sisi efisiensi, masih tersedia ruang yang cukup besar untuk mengoptimalkan pemungutan PPN di Indonesia. C-efficiency PPN Indonesia masih berkisar di 63,58 persen. Artinya, Indonesia baru bisa mengumpulkan 63,58 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut. Hal ini dikarenakan masih terdapat barang dan jasa yang belum tercatat ke dalam sistem pajak serta masih banyaknya fasilitas PPN yang diberikan. Sekilas informasi, c-efficiency ratio berbeda dengan efficiency ratio. C-efficiency ratio tidak menggunakan seluruh PDB sebagai komponen perhitungan. Akan tetapi, menggunakan komponen konsumsi dalam PDB saja.

“Indikator ini dirasa lebih tepat untuk menggambarkan potensi penerimaan PPN yang sebenarnya. Perubahan UU PPN juga diperlukan lantaran tingginya tax expenditure (belanja perpajakan) yang didominasi oleh fasilitas PPN. Di 2019 saja fasilitas PPN tercatat mendominasi tax expenditure hingga 65 persen,” jelasnya,

Ia optimistis, perubahan tarif PPN akan menjadi salah satu pendorong pertumbuhan PPN dalam negeri. Adapun kontribusi PPN dalam negeri sepanjang Januari-Juni 2022 naik 32,2 persen, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan 11,6 persen pada periode yang sama tahun lalu. Setoran PPN dalam negeri pada April tumbuh 59,4 persen dan sempat melambat ke 27,3 persen di Mei, tetapi kembali melesat pada bulan lalu hingga 61,6 persen.

Sementara menurut Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo, penyesuaian tarif PPN sangat dibutuhkan untuk memperluas basis pemajakan, baik melalui pengaturan kembali barang dan jasa nonobjek pajak maupun pengurangan pengecualian dan fasilitas PPN, termasuk pengaturan kembali rincian kriteria fasilitas. Namun, ia memastikan, pemerintah akan tetap memerhatikan kepentingan masyarakat dan dunia usaha.

“Selama ini seluruh lapisan ekonomi masyarakat harus menanggung beban PPN yang sama, semestinya yang mengonsumsi barang atau jasa lebih banyak atau lebih eksklusif harus diatur secara terpisah agar tercipta keadilan dalam pemungutan pajak. Penyesuaian tarif PPN juga mencerminkan prinsip gotong royong, yaitu yang mampu membayar lebih besar dan yang tidak mampu dibantu. Sedangkan, masyarakat berpenghasilan rendah atau pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) terus mendapat dukungan,” jelas Prastowo.

Pada muaranya, kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsolidasi fiskal dan reformasi perpajakan untuk mendukung penerimaan pajak yang optimal dan berkesinambungan. Secara simultan, penyesuaian tarif diharapkan dapat meningkatkan rasio pajak.

“Sejak sistem PPN diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1984, belum pernah terjadi penyesuaian tarif. Padahal, data OECD Revenue Statistic menunjukkan, 37 negara telah menaikkan tarif PPN dalam satu dekade terakhir,“ sebut Prastowo.

Selain itu, bila dibandingkan dengan negara lain, tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah yang rata-rata sebesar 15,4 persen. Misalnya, Filipina (12 persen), Tiongkok (13 persen), Arab Saudi (15 persen), Pakistan (17 persen), dan India (18 persen).

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version