Menu
in ,

Pajak Perseroan Sebagai Cikal Bakal Pajak Penghasilan

Pajak Perseroan

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Sebagaimana kita tahu, pajak merupakan iuran wajib kepada negara yang dibayarkan oleh Wajib Pajak yang bersifat memaksa, berdasarkan norma-norma hukum dan tanpa mendapat balas jasa secara langsung. Tentunya, pajak yang dibayarkan mendatangkan banyak manfaat, utamanya untuk pembangunan negara. Nah, di Indonesia cukup banyak jenis pajak yang patut kita ketahui, salah satunya adalah Pajak Perseroan (PPs) atau corporation tax.

Apa itu Pajak Perseroan atau PPs? Benarkah PPs merupakan cikal bakal PPh yang kita kenal saat ini? Menilik sejarahnya, PPs adalah pajak yang dikenakan terhadap laba perseroan atau perusahaan dan mulai diberlakukan pada tahun 1925. Kala itu, Indonesia masih dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, dan pengenaan PPs mulanya diberlakukan untuk perusahaan-perusahaan perkebunan yang banyak didirikan di Indonesia.

Jenis pajak ini juga adalah hasil reformasi pajak yang dilakukan Panitia Pajak Perseroan Hindia Belanda. PPs 1925 ini melakukan beberapa perubahan atas ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) 1920. Adapun PPh 1920 berlaku bagi semua penduduk, baik pribumi maupun nonpribumi.

Sistem pajak ini juga berlaku bagi perusahaan. Selain asas unikasi, PPh 1920 juga memperkenalkan sistem worldwide income, yang menerapkan PPh untuk semua penghasilan kepada Wajib Pajak dalam negeri, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri.

Sementara beberapa hal yang diubah pada PPs adalah perseroan dan badan-badan usaha dikenakan pajak tersendiri, dengan tarif sebesar 10 persen. Pajak ini juga membuka kemungkinan surtax setiap waktu dan pajak dikenakan atas laba neto usaha.

Ordonansi Pajak Perseroan ini sebagian besar mengadopsi prinsip akuntansi modern—seperti prinsip taat asas, metode penyusutan, dan penilaian aktiva. Peraturan ini juga memperbaiki prinsip worldwide income, dengan memberi batasan jumlah hari untuk tetap disebut Wajib Pajak dalam negeri.

Pada ketentuan awal, PPs hanya dikenakan kepada perusahaan-perusahaan yang didirikan di Indonesia, tetapi pemerintah yang berkuasa pada waktu itu mulai mengenakan kepada perorangan maupun karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut. Kebijakan yang mulai berlaku pada 1932 itu dikenal dengan Ordonansi Pajak Pendapatan. Ordonansi atau peraturan pemerintah ini mengatur pajak pendapatan bagi orang Indonesia maupun bukan penduduk Indonesia.

Kebijakan itu pun kemudian diubah pada tahun 1935 menjadi Ordonansi Pajak Upah. Kebijakan ini mengharuskan majikan atau pemilik perseroan memotong upah atau gaji pegawai dengan tujuan untuk membayar pajak atas gaji yang diterima. Masa Ordonansi PPs pun berakhir di tahun 1983 saat pemerintah Indonesia menggaungkan reformasi perpajakan untuk pertama kalinya.

Namun, beberapa aturan dan tata cara pengenaan PPs tetap dipakai pada pajak yang baru. Perubahan yang masih sempat dipakai adalah pengenaan tarif progresif dari 20 persen menjadi 45 persen.

Setelah masa reformasi perpajakan yang melahirkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), PPs kini telah menjelma menjadi PPh yang dikenakan kepada orang pribadi, perusahaan atau badan hukum lainnya atas penghasilan yang didapatkan.

Untuk badan usaha, pajak ini harus dibayarkan atas penghasilan kena pajak perusahaan yang meliputi penjualan, pemasaran, serta pendapatan; dikurangi harga pokok penjualan (HPP), penelitian dan pengembangan, beban umum dan administrasi, depresi, juga biaya operasional lainnya.

Teranyar, istilah pajak perseroan perorangan muncul dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang diartikan sebagai Perseroan Terbatas yang memenuhi kriteria untuk usaha mikro dan kecil dan didirikan oleh satu orang. Wajib Pajak Perseroan Perorangan juga termasuk dalam subjek pajak badan.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version