Menu
in ,

Kenaikan PPN 11 Persen Diimbangi Pelonggaran Tarif PPh

Kenaikan PPN 11 Persen

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Dirjen Pajak Suryo Utomo menjelaskan, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen telah diimbangi dengan pelonggaran tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk orang pribadi dan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Ia memastikan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) diterbitkan berdasarkan asas keadilan.

Dalam UU HPP, tarif PPh orang pribadi 5 persen kini berlaku atas Wajib Pajak (WP) dengan penghasilan hingga Rp 60 juta. Sebelumnya, tarif itu berlaku kepada WP berpenghasilan hingga Rp 50 juta. Kemudian, UU HPP juga membuat omzet UMKM sampai dengan Rp 500 juta tidak kena pajak.

“Artinya, kebijakan itu memberikan ruang bagi Wajib Pajak untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Nah, apakah (kenaikan PPN) memberatkan? Kenaikan PPN jangan dilihat semata-mata PPN saja. Coba tadi dilihat (kebijakan) PPh, ada pelonggaran-pelonggaran. Karena UU HPP, kan, tujuannya menghadirkan keadilan. Dimana yang penghasilannya banyak, bayarnya lebih banyak. Bagi yang penghasilan sedikit, bayarnya sedikit. Yang bayarnya kurang, pemerintah hadir memberikan perlindungan,” jelas Suryo dalam webinar bertajuk Memaknai Kebijakan Baru PPN, (5/4).

Dengan demikian, ia meminta masyarakat tidak khawatir atas kenaikan tarif PPN 11 persen. Pasalnya, mayoritas bahan pokok dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat masih dibebaskan PPN. Sebagai informasi, barang dan jasa tertentu yang tetap dibebaskan PPN, antara lain barang kebutuhan pokok yang terdiri dari beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan gula. Kemudian, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa sosial, jasa asuransi, jasa keuangan, jasa angkutan umum, dan jasa tenaga kerja juga dibebaskan PPN.

“Kalau hanya persen melihat PPN saja, sebetulnya barang untuk kebutuhan masyarakat banyak tetap di-secure. Kenaikan harga yang terjadi saat ini di masyarakat tidak hanya disebabkan oleh satu komponen barang namun terdapat faktor komponen pembentuk harga lainnya. Kalau kita biasanya, enggak ada naik tarif (PPN), pas waktu mau puasa harga barang juga naik—beras dan cabai,” ujar Suryo.

Di sisi lain, ia kembali mengingatkan, pembahasan Rancangan UU HPP telah dilakukan secara komprehensif bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akademisi, dan asosiasi pengusaha pada tahun lalu. Dengan demikian, rancangan itu dapat secara resmi menjadi UU pada Oktober 2021 berkat kesepakatan bersama.

“Basisnya clear, kita ingin ciptakan suatu sistem atau rezim perpajakan yang solid dalam rangka mendukung APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan berikan keadilan. Saat didiskusikan penyusunan waktu memang sepakat kita letakkan mulai di 1 April. Cuma (tiba-tiba), kan, ada konflik Ukraina dan Rusia. Itu suatu coincidence yang kita juga tidak pernah predict ada konflik,” ungkap Suryo.

Kendati begitu, ia memastikan, pemerintah akan terus mengevaluasi implementasi UU HPP secara berkala, khususnya terkait dampak kenaikan PPN menjadi 11 persen terhadap barang dan jasa. Sebab sejatinya, kebijakan fiskal harus menyesuaikan kondisi masyarakat agar dapat mendorong pemulihan ekonomi secara berkelanjutan.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version