Menu
in ,

Kemenkeu: Rencana Kenaikan PPN di Tahap Diskursus

Kemenkeu: Rencana Kenaikan PPN di Tahap Diskursus

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terus menuai penolakan. Banyak yang menilai, kenaikan PPN kurang tepat di tengah kondisi Covid-19 seperti saat ini. Sebab, masyarakat sedang mengalami krisis karena minim pendapatan.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Byarwati bahkan mempertanyakan keberpihakan pemerintah terhadap rakyat. Menurut Anis, kenaikan PPN bisa berdampak ke segala lapisan masyarakat, khususnya masyarakat menengah bawah. Daya beli masyarakat bakal terpukul dan membahayakan industri ritel.

Sebelumnya, dalam sebuah konferensi video, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN-RI), Rizal E. Halim menilai, kenaikan tarif PPN bisa langsung menekan daya beli masyarakat. Sebab, kenaikan tarif biasanya langsung dibebankan kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga barang. Harga barang tersebut akan semakin menekan daya beli. Bahkan, kenaikan tarif itu pun dinilai bisa menyebabkan kenaikan inflasi semu. Artinya, inflasi tersebut terjadi bukan lantaran kenaikan permintaan, melainkan lantaran harga barang.

Situasi tersebut juga disebut bakal berimbas kepada tertekannya pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, menurut Rizal, kenaikan tarif pajak yang berimbas kepada harga barang akan menekan konsumsi masyarakat.

Kementerian Keuangan pun buka suara terkait polemik rencana kenaikan PPN. Staf khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, rencana kenaikan PPN tersebut masih dalam tahap diskursus. Menurutnya, pemerintah masih akan terus menghimpun masukan dari berbagai pihak.

“Proses perumusan masih panjang, bahkan dengan parlemen secara formal juga belum dimulai. Pemerintah akan membahas dengan DPR dan seluruh stakeholders. Jadi implementasi pun belum ada gambaran yang cukup jelas,” ujar Prastowo dikutip dari Tempo.co, Kamis (13/5/2021),

Prastowo mengatakan, Pemerintah Indonesia dihadapkan pada kewajiban untuk menyiapkan kebijakan yang berkelanjutan ketika pandemi usai. Untuk itu sejumlah strategi dan rencana kebijakan telah disiapkan.

“Kemenkeu, dalam hal ini DJP dan BKF melakukan benchmarking dengan tren kebijakan negara lain terlebih dahulu,” kata Prastowo.

Prastowo menegaskan, pemerintah tidak akan membebani masyarakat saat pandemi masih meliputi Indonesia maupun dunia. Namun, pemerintah punya tugas untuk menyiapkan payung dan format kebijakan sesegera mungkin. Termasuk membahas bagaimana Indonesia memiliki sumber pembiayaan yang berkelanjutan. Selain tarif PPN tunggal, Prastowo mengatakan pemerintah juga mendiskusikan skema multitarif. Skema ini dinilai membuka ruang pengenaan tarif di bawah 10 persen untuk barang atau jasa kebutuhan masyarakat.

Sementara itu, pengamat perpajakan Darussalam menilai, kebijakan pemerintah menaikkan PPN sudah tepat. Menurutnya, pada konteks kebutuhan fiskal di masa pemulihan dan pascapandemi, setiap negara berupaya untuk tetap menjamin penerimaan.

“Survei yang dilakukan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) per awal April lalu juga memperlihatkan bahwa saat ini berbagai negara telah mulai membuat terobosan dalam rangka optimalisasi dan pemulihan penerimaan,” kata Darussalam.

Darussalam menjelaskan, PPN sebagai pajak berbasis konsumsi adalah jenis pungutan yang relatif tahan guncangan di kala krisis. Ini terlihat pada pengalaman krisis tahun 2008. “Oleh karena itu, upaya meningkatkan penerimaan dari pos PPN di saat pemulihan pascapandemi justru kebijakan yang sangat tepat,” jelasnya. Ia menyebut, selama satu dekade terakhir terdapat tren peningkatan tarif PPN secara global. Hal tersebut umumnya dalam rangka kian sulitnya mengoptimalkan penerimaan dari pajak penghasilan (PPh).

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version