Menu
in ,

INDEF: Kebijakan Perpajakan 2022 Blunder

Pajak.com, Jakarta – Kerangka ekonomi makro tahun 2022 telah disampaikan pemerintah. Pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp 1.823,5 triliun-Rp 1.895,4 triliun, sedangkan belanja negara sebesar Rp 2.631,8 triliun-Rp 2.775,3 triliun dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2022. Di tahun depan pertumbuhan dipatok 5,2-5,8 persen dengan beragam strategi dan kebijakan, salah satunya reformasi perpajakan.

Kepada Pajak.com, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menyampaikan beberapa hal terkait rencana kebijakan pemerintah itu. Pertama, pemerintah beberapa kali dalam pidato kerangka ekonomi makro menyebutkan terkait kebijakan countercylical ditengah pandemi, tetapi rencana kebijakan pajak bertolak belakang.

“Kebijakan revisi KUP (Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan) dan Tata Cara Perpajakan, termasuk rencana kenaikan PPN (pajak pertambahan nilai) justru blunder bagi upaya pemulihan ekonomi,” kata Bhima melalui telepon, pada Jumat (21/5).

Terkait rencana pemerintah soal tax amnesty (TA) jilid II, Bhima saat ini tak ingin berkomentar. Sebab sebelumnya ia tegas mengatakan, pemerintah telah mengeluarkan banyak insentif perpajakan untuk dunia usaha, sehingga TA jilid II tidak relevan ditetapkan kembali.

Kedua, INDEF menilai pertumbuhan ekonomi overshoot 5,2-5,8 persen di 2022, padahal situasi ekonomi menghadapi beberapa tantangan. Mulai dari kebijakan pajak yang agresif dan berisiko menurunkan tingkat konsumsi sebagai kontributor terbesar perekonomian.

Ketiga, pemerintah menargetkan rasio utang berada di level 43,7-44,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), padahal kondisi itu hampir dipastikan sulit tercapai. Sebagai perbandingan posisi rasio utang per Maret 2021 sudah 41,6 persen, naik signifikan dari Maret 2020 di 32,1 persen. Artinya, naik hampir 10 persen dalam satu tahun terakhir.

“Ya tergantung strateginya. Kalau pemerintah berani memajaki orang kaya lebih tinggi maka rasio pajak akan naik dan target 8 persen bisa tercapai, pendapatan naik, utang turun. Tapi, dalam konteks di Indonesia, selama ini kontribusi pajak orang kaya di Indonesia masih rendah,” kata Bhima.

Berdasarkan data Forbes, 50 orang paling kaya di Indonesia tahun 2019 memiliki total kekayaan mencapai Rp 1.884,4 triliun. Sementara realisasi pajak penghasilan (PPh) 21 per November 2019 mencapai Rp 133,1 triliun—meliputi seluruh masyarakat dari beragam kelas pendapatan. Drai total itu rata-rata kontribusi orang kaya terhadap total penerimaan pajak sebesar 0,8 persen atau Rp 1,6 triliun.

Empat, crowding out effect menjadi risiko yang disampaikan, namun upaya untuk mencegah perebutan dana di pasar tidak tercermin dalam rencana pemerintah di tahun 2022.

“Fakta bahwa investor dan perbankan lebih tertarik menaruh uang di SBN (surat berharga negara) karena mendapatkan imbal hasil yang tinggi sangat berdampak pada ketersediaan likuiditas di sektor riil,” kata Bhima.

Seperti diketahui, per Desember 2020 dana perbankan yang dimasukkan dalam obligasi negara mencapai Rp 1.497,05 triliun atau meroket hampir 2,5 kali lipat. Porsi dana perbankan di SUN pun naik menjadi 38,77 persen.

Kelima, terkait efektivitas belanja. INDEF menilai, pemerintah pusat terkesan menitikberatkan masalah pada lambatnya serapan dana pemerintah daerah yang diketahui masih mengendap Rp 100 triliun di bank daerah pada 2020. Pemerintah pusat juga selalu menyoroti soal porsi belanja pegawai daerah yang dinilai jumbo. Padahal masalah utama juga terletak pada pemerintah pusat.

“Sepanjang 2021 belanja pemerintah pusat juga masih gemuk di birokrasi yakni belanja pegawai sebesar Rp 420 triliun atau 21 persen persen (dari porsi belanja negara) dan belanja barang Rp 358 triliun atau 18 persen,” kata Bhima.

Keenam, risiko taper tantrum. Menurut Bhima, sangat disayangkan pemerintah tidak memerhatikan hal itu. Padahal, taper tantrum pernah terjadi pada 2013 dan sangat berimbas di Indonesia.

Sebagai informasi, taper tantrum merupakan efek pengumuman kebijakan moneter Amerika Serikat. Tahun 2013, The Fed mengeluarkan regulasi quantitative easing, yakni mengurangi penyaluran kredit untuk negara berkembang, termasuk Indonesia. Implikasinya, nilai tukar rupiah negara fragile five melemah. Fragile five adalah istilah untuk lima negara yang tergantung pada investasi asing sekaligus rentan terguncang akibat gejolak ekonomi dunia yakni, India, Indonesia, Brazil, Afrika Selatan, dan Turki.

“Keluarnya dana asing sangat berdampak pada pelemahan ekonomi domestik. Imbas kepada stabilitas kurs rupiah akan membuat harga barang-barang impor termasuk bahan baku industri naik signifikan,” jelas Bhima.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version