in ,

Jurus Jitu Menaklukan Koreksi Pajak Masukan Konfirmasi “Faktur Berbeda“

Koreksi Pajak Masukan
FOTO: IST

Jurus Jitu Menaklukan Koreksi Pajak Masukan Konfirmasi “Faktur Berbeda“

Jurus Jitu Menaklukan Koreksi Pajak Masukan Konfirmasi “Faktur Berbeda“. Pajak Masukan merupakan komponen penting dalam sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia. Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP), memahami Pajak Masukan secara menyeluruh, termasuk pengertian, aturan, dan cara menghitungnya, menjadi krusial dalam menjalankan kewajiban perpajakan dengan tepat.

Berdasarkan Pasal 1 butir 24 Undang-Undang nomor 42 Tahun 2009 (“UU PPN”), pengertian Pajak Masukan (VAT In) adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak (JKP) dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak. Singkatnya, Pajak Masukan adalah pajak yang dikenakan pada saat Pengusaha Kena Pajak (PKP) membeli barang dan/atau jasa kena pajak.

Dalam proses jual-beli, yang memiliki kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan PPN adalah penjual/pedagang. Namun, pihak yang berkewajiban untuk membayar PPN-nya adalah pembeli/konsumen. Pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 197/PMK.03/2013 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK nomor 164 Tahun 2023, bahwa suatu perusahaan atau seorang pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila transaksi penjualannya melebihi jumlah Rp 4,8 Miliar dalam satu tahun. Dalam PPN yang terutang atas sebuah transaksi jual-beli, terdapat istilah Pajak Keluaran (VAT Out) yaitu pajak yang dikenakan ketika PKP menjual barang dan/atau jasa kena pajak.

Pengkreditan Pajak Masukan adalah hak Wajib Pajak (WP) untuk mengurangi pajak terutang dengan jumlah Pajak Masukan yang telah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang digunakan untuk kegiatan usaha dan/atau keperluan lainnya yang berhubungan dengan usaha.

Selain harus berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, syarat lain agar Wajib Pajak dapat melakukan pengkreditan Pajak Masukan adalah Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9) UU PPN. Pasal 13 ayat (5) UU PPN itu sendiri menjelaskan Faktur Pajak harus mencantumkan keterangan tentang penyerahan BKP/JKP, contohnya nama, alamat, NPWP PKP penjual dan pembeli, jenis barang, serta nilai PPN. Sementara Pasal 13 ayat (9) UU PPN mengatur Faktur Pajak harus memenuhi syarat formal yaitu di isi secara lengkap, jelas, dan benar dan memenuhi syarat material yaitu berisi keterangan yang sebenarnya.

Baca Juga  Kanwil DJP Jaksel II - IBI Kosgoro 1957 Integrasikan MBKM Mandiri dan Program Relawan Pajak

Tidak jarang kekeliruan dalam administrasi terjadi dalam dunia usaha. Contohnya seperti faktur pajak keluaran yang dilaporkan oleh pihak penjual berbeda dengan faktur pajak masukan yang dilaporkan oleh lawan transaksi yaitu pembeli. Hal ini biasanya terjadi karena pihak penjual melakukan revisi atau penggantian faktur pajak yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti penggantian nama barang atau jasa, kuantiti barang, jumlah atau nominal dalam faktur pajak, dsb. Namun atas faktur pajak yang diganti tersebut tidak diberitahukan kepada lawan transaksi, sehingga menyebabkan faktur pajak yang dilaporkan oleh pihak pembeli menjadi berbeda dengan faktur pajak yang telah direvisi oleh pihak penjual.

Situasi tersebut dapat menjadi mimpi buruk bagi pihak pembeli ketika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan proses pemeriksaan pajak. Bagi para pengusaha, proses pemeriksaan pajak bagaikan ujian akhir semester. Di momen inilah kepatuhan dan keakuratan pelaporan pajak diuji. Dari hasil pemeriksaan tersebut, pengusaha akan mendapatkan “rapot nilai” dari DJP.

Dilihat dari sisi pembeli, pembeli telah melaporkan Pajak Masukan atas pembelian BKP dan/atau JKP untuk kegiatan usahanya. Pihak pembeli pun sudah yakin semua bukti pendukung lengkap dan sah, seperti invoice, faktur pajak, dan bukti pembayarannya telah sesuai. Namun tiba-tiba Pemeriksa menyatakan PM tersebut tidak dapat dikreditkan karena terdapat perbedaan antara yang pembeli laporkan dengan data yang tercantum dalam konfirmasi faktur dari penjual BKP dan/atau JKP.

Atas perbedaan faktur pajak yang dilaporkan tersebut, DJP akan mempertanyakan alasan perbedaan pelaporan tersebut, kemudian DJP melakukan verifikasi ke sistem. Apabila benar terjadi perbedaan faktur pajak yang dilaporkan pembeli dan penjual, maka DJP akan menetapkannya sebagai temuan pemeriksaan pajak yaitu Koreksi Pajak Masukan atas Faktur Pajak dengan Konfirmasi Faktur Berbeda. Koreksi demikian dapat dianggap oleh DJP sebagai Faktur Pajak yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9) UU PPN, sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan oleh pembeli.

Baca Juga  Banyak Kendala, DJP Jamin Implementasi “Core Tax” Tak Pengaruhi Penerimaan Negara

Tujuan dilakukannya konfirmasi faktur pajak adalah untuk mendapatkan keyakinan bahwa:

  • Faktur Pajak tersebut diterbitkan oleh Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  • Faktur Pajak tersebut diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak sehubungan dengan adanya penyerahan BKP dan atau JKP yang terutang Pajak Pertambahan Nilai;
  • Faktur Pajak tersebut telah dilaporkan PKP penerbit sebagai Pajak Keluaran pada SPT Masa PPN.

Kerapkali Wajib Pajak menomor duakan peraturan dalam memberikan penjelasan. Padahal selain bukti pendukung yang kuat, DJP juga akan mempertimbangkan dasar peraturan yang digunakan oleh Wajib Pajak dalam memberikan penjelasan. Apabila kedua hal tersebut telah dijalankan, pastinya DJP juga akan mempertimbangan dan meyakini bahwa faktur pajak yang menjadi sengketa telah sesuai ketentuan, sehingga Faktur Pajak Masukan yang menjadi sengketa dapat dikreditkan oleh PKP pembeli.

Lantas, bagaimana jika kita sebagai pembeli sudah melaporkan faktur pajak normal, namun penjual melaporkan faktur pajak pengganti. Sementara kita sebagai pembeli tidak mengetahui adanya faktur pajak pengganti. Apakah faktur pajak masukan kita masih dapat dikreditkan? Tentunya bisa dong!

Pada Pasal 9 ayat 9b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah stdtd Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan menegaskan:

Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemeberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini.

Baca Juga  Hong Kong Kaji Kenaikan PPh untuk Orang Kaya Berpendapatan di Atas Rp 10 M

Dari aturan tersebut menerangkan apabila Faktur Pajak Masukan yang sudah dilaporkan oleh PKP pembeli dan dilakukan konfirmasi oleh Pemeriksa atau DJP melalui aplikasi sistem informasi perpajakan yang diketahui jawaban konfirmasinya “faktur berbeda”, Faktu Pajak Masukan yang dilaporkan oleh PKP pembeli masih bisa dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan, seperti berhubungan dengan kegiatan usaha dan telah dibayarkan PPN-nya.

Selanjutnya, apa yang bisa kita lakukan untuk menghadapi koreksi DJP tersebut? Berikut tips and trick untuk keluar dari labirin ini:

  • Meminta penjelasan dari DJP
  • Wajib Pajak memiliki hak untuk bertanya detail temuan pemeriksa mengenai perbedaan data yang ditemukan dan dasar koreksi pemeriksa
  • Mencari tahu peraturan yang dapat menunjang pendapat anda
  • Apabila anda telah mengetahui dasar koreksi pemeriksa, cobalah untuk mencari tahu lebih dalam peraturan yang dapat memperkuat penjelasan anda
  • Mencocokkan data
  • Teliti kembali data yang anda laporkan dengan data dalam konfirmasi faktur yang telah ditemukan pemeriksa atau DJP
  • Siapkan bukti pendukung
  • Kumpulkan bukti valid yang mendukung penjelasan anda, seperti Invoice, Faktur Pajak Normal, Faktur Pajak Pengganti, bukti bayar, rekening koran dan lampiran pendukung lainnya.
  • Menyiapkan argumentasi yang kuat
  • Berikan penjelasan yang kuat kepada DJP disertai dengan dasar aturan yang berlaku.

Kesimpulan:

Jadi dalam hal ini walaupun pemeriksa mengkoreksi Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan karena faktur pajak berbeda antara yang dilaporkan PKP pembeli dan PKP penjual, selama PKP pembeli dapat membuktikan bahwa Pajak Masukan tersebut telah dibayar dan berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, maka Pajak Masukan tersebut dapat diperhitungkan atau dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Tentunya disertai dengan dasar hukum yang sesuai ketentuan perpajakan berlaku dan bukti pendukung yang valid dalam memberikan penjelasan kepada pemeriksa pajak.

 

Pandangan dan opini dalam artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan atau kebijakan PAJAK.COM.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *