Menu
in ,

INDEF: Target Penerimaan Perpajakan 2022 Tidak Realistis

INDEF: Target Penerimaan Pajak Tahun 2022 Tidak Realistis

FOTO: IST

Pajak.com, JakartaEkonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov menilai, penerimaan perpajakan yang ditargetkan mencapai Rp 1.506,9 triliun atau tumbuh sebesar 9,5 persen di tahun 2022 itu tidak realistis. Pasalnya, sebelum pandemi saja penerimaan perpajakan rata-rata tumbuh 2,9 persen per tahun (2014-2018). Bahkan, di tahun 2019 penerimaan perpajakan hanya tumbuh 1,9 persen.

“Kita harus melihat secara objektif. Kita yang sekarang ini masih terengah-engah menghadapi pandemi. Kalau bisa dikatakan kita baru akan memasuki fase recovery. Dalam teori, di tengah kita menghadapi suatu bencana misalnya, ada yang disebut fase rehabilitasi. Jadi dalam perekonomian pun tidak mungkin dalam fase resesi, langsung recovery secara normal seperti sebelum pandemi. Sekarang kita lihat, ambisi pemerintah tahun depan 9,5 persen, sedangkan tahun-tahun sebelumnya rata-rata 2,9 persen. Apakah realistis? bukannya kita mematahkan optimisme pemerintah,” kata Abra dalam webinar bertajuk Merespons Pidato Kenegaraan dan Nota Keuangan APBN 2022, pada (17/8).

Alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro ini menekankan, estimasi yang terlampau tinggi akan berimplikasi terhadap belanja negara yang semakin naik dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kian melebar. Sebab target penerimaan perpajakan nantinya tidak bakal tercapai.

Selain itu, indikator yang membuat INDEF menilai target penerimaan pajak tahun 2022 tidak realistis adalah rasio perpajakan dan rendahnya tax buoyancy—hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan penerimaan pajak.

“Kita lihat tax ratio kita sebelum pandemi sudah rendah, 9,7 persen di tahun 2019, berlanjut di tahun 2022 sebesar 8,3 persen. tax buoyancy masih di bawah 1, menandakan perekonomian belum efektif menghasilkan pajak,” jelas Abra.

Ia mencatat, ekspektasi pemerintah menetapkan target penerimaan pajak karena dipicu oleh proyeksi akan meningkatnya realisasi pajak penghasilan (PPh) sebesar 10,7 persen, baik dari objek badan usaha maupun individu. Bandingkan dengan target pertumbuhan penerimaan PPh tahun 2021, hanya dipatok 3,6 persen.

“Ini buah simalakama, pemerintah ingin menggenjot pertumbuhan ekonomi, implikasinya ke perpajakan. Padahal untuk membiayai pertumbuhan ekonomi atau belanja-belanja tahun depan, pemerintah akan mengejar-mengejar pajak masyarakat—lebih agresif. Pemerintah harus juga mengukur secara jernih, apakah sektor-sektor perekonomian atau individu sudah betul-betul recovery tahun depan,” ungkapnya.

Kemudian, target pajak pertambahan nilai (PPN) yang dipatok 10,1 persen. Abra menilai, pemerintah hingga saat ini belum mampu menjelaskan strategi yang akan digunakan untuk mencapai target itu. Sehingga menurutnya, target masih belum realistis.

“Apakah memakai skenario dasar, artinya tidak ada penambahan objek pajak untuk PPN atau tahun depan itu sudah dimasukkan pula sumber-sumber penerimaan baru yang saat ini tengah dibahas di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Pemerintah belum menjelaskan,” tambahnya.

Di sisi lain, ia pun menyoroti masih tingginya belanja perpajakan. Pada tahun 2019 belanja perpajakan mencapai Rp 272,1 triliun dan di tahun 2020 sebesar Rp 234,9 triliun.

“Perlu juga diperhatikan, di tengah pemerintah menggenjot penerimaan, insentif melalui belanja perpajakan masih cukup tinggi,” kata Abra.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version