Menu
in ,

IMF: UU HPP Tingkatkan Penerimaan Negara 1,5 Persen

UU HPP Tingkatkan Penerimaan Negara

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memproyeksi, langkah pemerintah Indonesia mereformasi perpajakan lewat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tingkatkan penerimaan negara hingga 1,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dalam jangka menengah. Mayoritas tambahan penerimaan itu berasal dari perubahan ketentuan pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

“Dalam penilaian staf, reformasi dapat menghasilkan peningkatan pendapatan setidaknya 1 persen pada tahun 2026 dan sebesar 1 hingga 1,5 persen dalam jangka menengah,” kata IMF dalam laporan Indonesia: 2022 Article IV Consultation, yang dikutip Pajak.com (25/3).

Secara spesifik, IMF menyebut UU HPP tingkatkan penerimaan negara dan perubahan ketentuan PPN berpotensi memberi tambahan penerimaan 0,6 persen–0,8 persen terhadap PDB. Seperti diketahui, ketentuan PPN, meliputi kenaikan tarif menjadi 11 persen mulai April 2022 dan 12 persen paling lambat 2025 pengurangan fasilitas pembebasan PPN; serta menyiapkan tarif PPN final, yakni 1 persen–3 persen.

Sumber tambahan penerimaan lainnya antara lain, perubahan terkait ketentuan administratif yang akan menyumbang tambahan penerimaan negara sebesar 0,5 persen. Kemudian, pembatalan penurunan Pajak Penghasilan (PPh) badan menjadi tetap 22 persen menyumbang 0,2 persen. Sekilas informasi, semula pemerintah akan menurunkan tarif PPh badan menjadi 20 persen pada tahun ini.

Kendati demikian, IMF menganalisis, potensi peningkatan penerimaan ini masih lebih rendah dari yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai berbagai belanja prioritas. Definisi kebutuhan itu adalah untuk membuka potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan membangun penyangga fiskal terhadap risiko guncangan di masa depan.

“Langkah-langkah dalam undang-undang baru juga tidak mungkin untuk sepenuhnya menutup kesenjangan antara rasio pajak terhadap PDB Indonesia dengan negara-negara berkembang lainnya atau rekan-rekan di ASEAN (Association of Southeast Asian Nations),” tambah IMF.

Di sisi lain, IMF menganalisis, beberapa aturan dalam UU HPP cenderung memiliki efek merugikan, salah satunya Program Pengungkapan Sukarela (PPS).

“Program Pengungkapan Sukarela memang bisa menghasilkan tambahan penerimaan dalam jangka pendek, tetapi dalam praktiknya amnesti pajak tersebut seringkali mengurangi kepatuhan sukarela. Karena hal itu menciptakan ekspektasi amnesti di masa depan, yang mengakibatkan kerugian jangka panjang yang lebih besar daripada keuntungan jangka pendek,” kata IMF.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada Oktober 2022 lalu telah merilis hasil analisis, bahwa UU HPP akan meningkatkan penerimaan perpajakan tahun 2022 hingga Rp 139,3 triliun. UU HPP juga diprediksi akan memberikan dampak terhadap penerimaan perpajakan secara berkelanjutan.

Kenaikan bukan hanya dari sisi nominal, tetapi juga rasio pajak terhadap PDB. Rasio pajak terhadap PDB pada 2022 diproyeksi naik dari target 8,44 persen menjadi 9,22 persen; lalu menjadi 9,29 persen pada tahun 2023; meningkat 9,53 persen pada tahun 2024; dan menjadi 10,12 persen pada 2025.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version