IKPI Soroti Fragmentasi Fiskal, Usulkan Badan Penerimaan Negara sebagai Solusi Masa Depan
Pajak.com, Jakarta – Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld, menegaskan pentingnya pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) sebagai solusi strategis dalam mengatasi fragmentasi fiskal di Indonesia.
Dalam pemaparannya yang berjudul “Badan Penerimaan Negara: Reformasi Fiskal, Efisiensi, dan Integrasi”, Vaudy menyoroti kelemahan serius dalam struktur fiskal nasional yang dinilai masih tersebar (fragmentatif). Menurutnya, saat ini terdapat banyak instansi yang memiliki kewenangan dalam mengumpulkan penerimaan negara, baik dari sisi perpajakan maupun non-pajak.
Instansi tersebut di antaranya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), serta kementerian atau lembaga lainnya yang mengelola penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
“Fragmentasi fiskal menyebabkan tumpang tindih kebijakan, lemahnya koordinasi, serta inefisiensi dalam pengelolaan penerimaan negara. Badan Penerimaan Negara dapat menjadi solusi institusional untuk menyederhanakan struktur, meningkatkan akuntabilitas, dan mengintegrasikan sistem penerimaan negara secara menyeluruh,” tegas Vaudy dalam pembukaan diskusi panel nasional bertajuk “Masa Depan Fiskal Indonesia: Apakah BPN Solusinya?” di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, dikutip Pajak.com pada (2/6/25).
Ia menegaskan bahwa pembentukan BPN sudah tercantum dalam Program Prioritas RPJMN 2025–2029 sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025, dengan target meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 23 persen.
Menurut Vaudy, saat ini terdapat lebih dari 20 instansi yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pengumpulan penerimaan negara, termasuk di sektor strategis seperti sumber daya alam, pendidikan, transportasi, dan pelayanan publik. Struktur yang tersebar ini dinilai menimbulkan fragmentasi kebijakan dan data yang berpotensi menimbulkan inefisiensi serta kebocoran penerimaan negara.
Dalam forum tersebut, Vaudy juga memaparkan berbagai model institusional yang telah diterapkan di negara lain. Model Government Department seperti yang diterapkan Indonesia saat ini dinilai kurang memiliki otonomi manajerial dan strategis.
Sementara itu, model Semi-Autonomous Revenue Authority (SARA) yang digunakan di Kenya dan Tanzania memiliki otonomi terbatas tetapi lebih fokus pada tata kelola. Model Autonomous Revenue Authority (ARA) yang diterapkan di Malaysia dan Afrika Selatan memberikan keleluasaan tinggi dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan sumber daya.
Sedangkan model Integrated Revenue Authority (IRA) seperti di Singapura, Korea Selatan, dan Australia menggabungkan seluruh jenis penerimaan negara, termasuk pajak, bea cukai, dan PNBP ke dalam satu institusi. Vaudy menyarankan agar Indonesia mempelajari model-model ini dan menyesuaikannya dengan kebutuhan pemerintah.
Lebih jauh, Vaudy menekankan bahwa pembentukan BPN bukan hanya soal kelembagaan, tetapi juga mencakup peningkatan efisiensi dan efektivitas penerimaan negara, penguatan akuntabilitas dan transparansi, integrasi data lintas sektor, konsistensi kebijakan fiskal, serta fleksibilitas dalam strategi penerimaan negara.
Jika dirancang dan diimplementasikan dengan baik, BPN akan membawa dampak positif jangka panjang, antara lain peningkatan rasio pajak, penyederhanaan proses pelaporan dan pembayaran, penguatan pengawasan dan penegakan hukum fiskal, peningkatan kualitas layanan bagi Wajib Pajak, serta mendukung pengambilan kebijakan fiskal berbasis data dan evidence-based.
“BPN akan membuka peluang pembaruan fiskal menyeluruh, dengan sistem pengumpulan penerimaan negara yang lebih modern, efisien, dan adaptif terhadap perkembangan ekonomi digital,” tutup Vaudy.
Comments