Menu
in ,

Evaluasi Pemberian “Tax Holiday” dan “Tax Allowance”

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah mengevaluasi beragam insentif fiskal yang telah diberikan kepada investor atau dunia usaha, antara lain berupa tax holiday dan tax allowance. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan, pihaknya akan mengkaji besaran insentif pajak yang diterima investor terhadap realisasi dan dampaknya kepada negara. Kemenkeu berupaya memastikan efektivitas belanja perpajakan (tax expenditure) di tahun ini.

“Kami pastikan (tax holiday dan tax allowance) itu menciptakan lapangan kerja. Kami juga akan lihat komitmennya (investor) dengan yang dijanjikan—berapa lapangan kerja dan nilai investasinya. Ini akan kami awasi ke depannya,” jelas Febrio dalam webinar Indonesia Macroeconomic Updates 2022 bertajuk Dinamika Ekonomi Global dan Domestik Terkini, (4/4).

Sekilas informasi, tax holiday merupakan insentif yang diberikan kepada perusahaan yang melakukan penanaman modal baru pada industri pionir atau industri yang memiliki keterkaitan luas; memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi; memperkenalkan teknologi baru; serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. Fasilitas yang ditawarkan tax holiday berupa pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan sebesar 100 persen, jika nilai modal baru yang ditanamkan paling sedikit Rp 500 miliar. Pengurangan tarif itu berlaku selama 5 hingga 20 tahun—tergantung pada nilai modal baru yang ditanamkan.

Sementara, tax allowance diberikan kepada perusahaan yang memenuhi kriteria, yakni memiliki nilai investasi yang tinggi; berorientasi ekspor; memiliki penyerapan tenaga kerja yang besar; dan punya kandungan lokal yang tinggi. Fasilitas yang diberikan, antara lain pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari jumlah nilai penanaman modal berupa aktiva tetap berwujud untuk kegiatan usaha utama; kompensasi kerugian yang lebih lama dari lima tahun, tetapi tidak lebih dari 10 tahun.

Febrio mengungkapkan, sebenarnya realisasi insentif pajak untuk investor tidak terlalu besar dari rata-rata jumlah belanja perpajakan sebesar Rp 250 triliun per tahunnya. Insentif pajak justru banyak dinikmati oleh rumah tangga dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Artinya, asumsi sementara, tax holiday dan tax allowance tidak terlalu memiliki banyak peminat. Seperti diketahui, untuk memperoleh insentif pajak itu, investor atau dunia usaha harus mengajukan kepada pemerintah melalui Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

“Kami mempunyai data dari 2016 sampai sekarang. Dari Rp 250 triliun, rata-rata belanja setiap tahun, paling tidak Rp 60 triliun sampai Rp 70 triliun buat UMKM dan 50 persen nya untuk rumah tangga, seperti bahan kebutuhan pokok dan transportasi umum—itu tidak kita kenakan pajak,” tambahnya.

Meski demikian, ekonom Chatib Basri menilai, pemerintah harus terus mengevaluasi belanja perpajakan secara berkala. Sebab rata-rata alokasi tax expenditure terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 1,6 persen setiap tahunnya. Jangan sampai belanja perpajakan, khususnya yang diberikan kepada investor atau dunia usaha tidak memberikan multiplier effect terhadap perekonomian.

Tax insentif dari dunia usaha output-nya harusnya dipantau terus. Dikasih apa? atau apa kemudian hasilnya?. Kalau mau harus one on one. Kemudian, (disampaikan), ‘Anda (investor) jangan sampai ada layoff (pemutusan hubungan kerja)’,” kata Chatib.

Sebelumnya, kepada Pajak.com, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengungkapkan, pihaknya memang telah mengajukan pembahasan mengenai tax allowance dan tax holiday untuk investor ke Kemenkeu. Usulan ini dilakukan agar pemberian insentif fiskal dapat memberi manfaat yang adil, baik bagi investor maupun negara.

“Kami usulkan (pembahasan) karena dalam pembahasan kajian kami, ada bagian (tax allowance/tax holiday) yang tidak perlu lagi dilakukan. Contoh, jenis usaha yang dulunya pionir karena dulunya belum ada, sekarang perusahaan bukan pionir lagi—sudah banyak. Kita juga pikir perusahaan ini BEP (break even point) nya lama, ternyata dia juga perusahaan BUT (bentuk usaha tetap), punya bisnis khusus, empat tahun sudah BEP. Jadi ngapain kita kasih tax allowance atau tax holiday puluhan tahun? Jangan pengusaha mau menang sendiri,” kata Bahlil.

Kendati demikian, ia berpandangan, tax allowance dan tax holiday masih penting diberikan karena menjadi salah satu daya tarik bagi investor asing maupun domestik.

“Setiap negara berkompetisi untuk bagaimana mendapat FDI (foreign direct investment), setiap negara mengeluarkan jurusnya. Pertama, investor akan melihat infrastruktur. Kedua, bagaimana perizinan. Ketiga, insentif tax allowance dan tax holiday. Pertanyaanya, apakah (tax allowance dan tax holiday) masih optimal? Jawabannya, masih—masih penting untuk dilakukan. Tapi jangan sampai investor dikasih, tapi negara enggak dapat apa-apa,” jelas Bahlil.

Meskipun pemberian tax holiday dan tax allowance merupakan kewenangan penuh Kemenves/BKPM, namun Bahlil tetap merasa perlu berkoordinasi dengan Kemenkeu.

“Kalau kita bicara ekosistem pajak, Kemenves/BKPM itu seperti hulunya. Kalau enggak bagus, macet hilirnya. Tugas kementerian kita, bagaimana mengecek investor-investor berkualitas, selanjutnya baru dioptimalkan manfaatnya oleh pajak (Direktorat Jenderal Pajak). Tapi investasi itu jangan dihitung saat dia (investor) baru berpikir, jangan diobok-obok dulu. Makanya, ekosistem investasi itu adalah mempromosikan—permudah dia masuk dan investasi ke Indonesia, kita kawal terus perizinan dan insentifnya, kita kawal sampai mereka produksi. Karena multiplier effect investor itu ketika produksi,” kata Bahlil.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version