in ,

Eksistensi Pajak Orang Kaya di Indonesia

Eksistensi Pajak Orang Kaya
FOTO: IST

Eksistensi Pajak Orang Kaya di Indonesia

Eksistensi pajak orang kaya di Indonesia. Pajak orang kaya menjadi isu yang cukup ramai dibahas akibat terbitnya UU HPP. Sebagaimana diketahui, UU HPP menetapkan klaster baru tarif pajak penghasilan progresif untuk orang pribadi sebagai bagian dari reformasi perpajakan, yakni tarif 35% untuk orang pribadi berpenghasilan diatas Rp5 Milliar.

Klaster baru ini menjadi klaster yang ditujukan untuk para orang kaya atau yang bisa juga disebut sebagai High Net Worth Individuals (HNWI), dan mulai berlaku sejak 1 Januari 2022 lalu.

Saat ini populasi HNWI di Indonesia, dengan kriteria memiliki kekayaan USD1 Juta dan lebih besar berjumlah 82.012 orang. Merujuk laporan Kementerian Keuangan, jumlah Wajib Pajak yang memenuhi klaster ini hanya sebesar 0,1% dari total Wajib Pajak.

Meski begitu, akumulasi kekayaan dari klaster ini sangatlah besar Jumlah ini pun diproyeksikan akan terus naik sekitar 60% dalam jangka waktu 5 tahun ke depan. Proyeksi ini menandakan adanya potensi perpajakan yang seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik untuk dapat menunjang pembangunan negeri ini.

Selama ini, masih terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi DJP berkaitan dengan topik eksistensi pajak orang kaya ini. Yang pertama adalah kurang optimalnya pengawasan terhadap para HNWI. Hingga saat ini, DJP memiliki sebuah unit kerja yang khusus mengelola Wajib Pajak orang kaya di Indonesia, yakni KPP Wajib Besar Empat. Namun kelemahannya, unit ini merupakan unit yang tersentralisasi di satu kantor demi mengawasi orang – orang kaya yang letaknya tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Pengawasan yang kurang optimal inilah yang menyebabkan kontribusi PPh HNWI kurang maksimal. Wajib Pajak HNWI, yang umumnya dari kalangan nonkaryawan ataupun pengusaha, hanya menyumbang 0,96% dari total penerimaan pajak Di sisi lain, PPh orang pribadi karyawan menyumbang jauh lebih besar yakni sebesar 11%. Dari sini terlihat bahwa beban pajak masih lebih banyak ditanggung oleh para karyawan, dan asas keadilan pajak belum terlaksana dengan baik.

Baca Juga  Airlangga Tawarkan Peluang KEK ke Investor Singapura

Untuk itu, DJP perlu melakukan langkah – langkah optimalisasi pengawasan Wajib Pajak HNWI. Pemanfaatan big data dengan baik menjadi krusial di era ini, ditambah dengan analisis data perpajakan yang mumpuni. Dengan adanya core-tax system yang sedang diusahakan oleh DJP, dan pemanfaatan aplikasi CRM, dapat dilakukan analisis kepatuhan Wajib Pajak orang kaya di berbagai wilayah.

Selain itu, para AR di kantor pajak di berbagai wilayah harus memiliki skill yang mumpuni untuk  mampu mengetahui pola bisnis dari para wajib pajak orang kaya yang umumnya memiliki proses bisnis yang kompleks dan majemuk.

Integrasi data dengan kerja sama dengan pihak ketiga juga menjadi hal yang penting. DJP tak bisa hanya mampu menggunakan data internal untuk mengawasi dan menggali potenis para Wajib Pajak HNWI, apalagi hanya mengandalkan KPP Wajib Pajak Besar Empat.

Diperlukan pertukaran data dari Instansi, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak lain (ILAP) yang sekiranya memuat informasi yang belum dapat diakses oleh DJP. Dari pertukaran data inilah, nantinya proyeksi atau potensi dapat dibandingkan dengan realisasi, sehingga ditemukan gap yang dapat ditindaklanjuti.

Permasalahan lainnya adalah terkait dengan kewajaran jumlah pajak yang terealisasi dari para Wajib Pajak HNWI. Jumlah pajak yang dibayar ini terkait dengan kompleksitas proses bisnis dari para wajib pajak ini. Biasanya para crazy rich ini memiliki kerajaan bisnis yang luas dan majemuk, dan biasanya tak bisa dipahami dan dilihat dengan kasat mata.

Untuk menghadapi para crazy rich dengan proses bisnis ini, fiskus harus dapat memahami aliran penghasilan. Aliran penghasilan menjadi hal yang harus dipahami dan diperhatikan untuk dapat benar – benar menghitung potensi pajak dari klaster ini, kemudian dibandingkan dengan realisasi pajaknya sehingga ditemukan apakah ada tax gap atau tidak.

Baca Juga  Tahapan Pendahuluan Sebagai Syarat Mutlak Penerapan PKKU

Kewajaran dan kelaziman biaya juga perlu dipahami darimana asalnya, apakah terdapat hubungan istimewa di dalamnya. Aliran penghasilan ini juga dapat digunakan untuk menentukan passive income yang mungkin juga berasal dari luar negeri dan belum diinvestasikan, sehingga seharusnya dikenai pajak.

Permasalahan ketimpangan juga tak kalah penting. Bagaimana pajak menjalankan fungsinya untuk redistribusi pendapatan belum berjalan secara optimal. World bank mencatat, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh 20% masyarakat Indonesia, sedangkan 80% sisanya merasa tertinggal.

Selain itu rasio gini per Maret 2022 lalu berada di angka 0,384, naik dari September 2021 yang sebesar 0,381. Data World  Inequality Report 2022 menyebutkan 10% orang Indonesia memiliki pendapatan yang setara dengan 48% total pendapatan seluruh populasi dalam setahun.

Penetapan klaster baru PPh progresif sejatinya sudah tepat untuk mengurangi rasio gini yang menggambarkan tingkat ketimpangan pendapatan. Namun basis pajak dari klaster ini harus dapat diperluas dan digaet dengan efektif serta efisien, apalagi jumlahnya yang sangat sedikit. Untuk dapat memperluas basis pajak klaster ini, diperlukan kesadaran pajak dari para Wajib Pajak HNWI. Bagaimana cara menumbuhkan kesadaran pajak dari kalangan ini?

Bantuan publik dan masyarakat sangat dibutuhkan di sini. Di jaman media sosial ini, banyak dari orang kaya yang mengekspos kekayaannya di media sosial demi memenuhi kebutuhan pengakuan dan aktualisasi diri.

DJP dapat membidik basis pajak baru dari orang – orang kaya yang gemar bermain media sosial ini, sekaligus beserta relasinya yang umumnya sesama kalangan orang kaya. DJP juga dapat menawarkan reward kepada masyarakat yang mau menjadi bagian dari skema whistleblowing atas para orang kaya baru yang viral di media sosial.

Kemudian pemberian reward dan punishment untuk para HNWI juga bisa menjadi langkah yang bisa ditempuh. Reward yang bisa diberikan diantaranya adalah bantuan menaikkan citra di mata masyarakat. Dengan citra yang baik di masyarakat, para orang kaya ini bisa eksis di media sosial, sekaligus dapat membantu keberlangsungan usahanya.

Baca Juga  Jelang Lebaran, DJP Imbau Wajib Pajak Tidak Berikan Parsel

Membangun hubungan yang baik dengan para orang kaya berbasis kerja sama, keterbukaan, dan transparansi ini menjadi langkah yang krusial, karena kepercayaan para orang kaya terhadap DJP akan meningkat. Lebih lanjut, dengan kepercayaan yang meningkat, para orang kaya yang populer di media sosial ini tak akan segan mengkampanyekan kepatuhan pajak kepada masyarakat, sekaligus membantu DJP memperluas basis pajak dari kalangan orang kaya.

Punishment yang bisa diberikan mungkin dapat diberikan dalam bentuk psikologis, yakni dengan memviralkan crazy rich lain yang patuh pajak, untuk kemudian dibandingkan dengan crazy rich yang tidak patuh pajak. Punishment ini akan membentuk citra yang buruk di mata masyarakat atasnya, hingga kemudian ia terdorong untuk kembali memperbaiki citranya dengan membayar pajak dan mau kooperatif dengan DJP untuk memperluas basis pajak klaster 35%.

Pajak orang kaya harus mendapat perhatian yang cukup dari DJP. Hal ini supaya asas keadilan pajak dan redistribusi pendapatan dapat terwujud dengan baik. Pajak sebagai alat yang penting bagi pembangunan negara harus mampu dijalankan dengan efektif dan efisien. Kita sebagai masyarakat juga harus membantu terwujudnya iklim perpajakan yang kondusif demi kejayaan negara ini. Orang bijak taat pajak!

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *