Eks Dirjen Pajak: “Tax Amnesty” Harus Disertai Penguatan Sistem, Bukan Pemutihan Berulang
Pajak.com, Jakarta – Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak periode 2017–2019 Robert Pakpahan menilai, pelaksanaan tax amnesty mesti disertai dengan penguatan sistem, bukan sekadar pemutihan berulang yang berisiko merusak integritas sistem perpajakan.
“Tax amnesty pada dasarnya adalah pengampunan yang diberikan kepada Wajib Pajak tidak patuh. Jadi, urgensi program ini sangat bergantung pada masih tingginya ketidakpatuhan di tengah masyarakat,” ujar Robert dalam diskusi panel bertajuk “Tax Amnesty: Efektifkah Mengakselerasi dan Mendongkrak Penerimaan Pajak?” di Gedung IKPI, Jakarta Selatan, dikutip Pajak.com pada Senin (16/6/25).
Tiga Pilar Evaluasi: Kepatuhan, Profil Ekonomi, dan Kematangan Sistem
Dalam paparannya, Robert menekankan tiga pilar utama yang perlu menjadi dasar evaluasi jika pemerintah kembali menerapkan tax amnesty.
Pertama, tingkat kepatuhan pajak. Ia menyoroti bahwa tax ratio Indonesia per akhir 2023 hanya 11,49 persen termasuk penerimaan dari cukai dan sumber daya alam. Jika hanya dari pajak pusat, angkanya lebih rendah lagi, yaitu 10,31 persen. Angka ini masih jauh dibandingkan negara-negara lain dan mencerminkan masih lemahnya kepatuhan.
Ia juga menyoroti studi Bank Dunia tahun 2021 yang menunjukkan adanya tax gap signifikan yaitu potensi pajak yang tidak tertagih dari Corporate Income Tax mencapai Rp269 triliun dan dari Value Added Tax sekitar Rp418 triliun total mendekati Rp700 triliun hanya dari dua jenis pajak.
Meskipun tingkat pelaporan SPT tahunan sudah mencapai 86,9 persen untuk Wajib Pajak yang wajib lapor, ia mengingatkan bahwa pelaporan belum tentu mencerminkan kepatuhan menyeluruh terutama dalam aspek pembayaran dan kejujuran isi laporan.
Kedua, profil ekonomi nasional. Robert menyoroti struktur ekonomi Indonesia yang didominasi oleh UMKM. Dari total PDB nasional sebesar Rp22.100 triliun pada 2024, sekitar 60 persen atau Rp13.000 triliun berasal dari sektor UMKM, yang sebagian besar bergerak di sektor informal dan memiliki tarif pajak rendah serta banyak pengecualian.
Ia juga menyebut bahwa dari sekitar 64 juta pelaku UMKM, hanya 2,2 juta yang melaporkan SPT dengan omset di bawah Rp4,8 miliar. Ini menunjukkan jurang besar antara pelaku usaha dan kepatuhan administratif, menandakan potensi besar ketidakpatuhan dari sektor ini.
“Kalau yang besar dan menengah harusnya sudah ikutan tax amnesty sebelumnya. Tapi dari profil ekonomi ini, yang kecil dan informal itu yang belum banyak tersentuh,” jelasnya.
Ketiga, kematangan administrasi perpajakan. Dengan sistem informasi keuangan yang makin terbuka, akses ke data perbankan, dan penerapan teknologi seperti Coretax, seharusnya otoritas pajak sudah cukup memiliki perangkat untuk meningkatkan kepatuhan tanpa perlu pengampunan kembali.
“Kalau administrasinya sudah cukup matang dari pelayanan, registrasi, hingga pengawasan, seharusnya tidak perlu lagi tax amnesty. Cukup gunakan sistem yang ada,” tegas Robert.
Meski begitu, Robert mengakui bahwa kondisi di lapangan bisa berbeda. Jika ketidakpatuhan masih tinggi dan sektor informal mendominasi, tax amnesty bisa dimaknai sebagai alat transisi menuju sistem yang lebih patuh. Namun, ia mengingatkan bahwa program ini harus menjadi langkah luar biasa, bukan kebiasaan.
“Tax amnesty seharusnya menjadi langkah luar biasa. Harus disertai penguatan sistem, bukan sekadar pemutihan yang diulang terus,” tutupnya.
Comments